Perang Dingin
Global

Akankah Perang Dagang AS-China Berubah Jadi Perang Dingin Global?

Bendera China dan Amerika Serikat. (Foto: Reuters)
Berita Internasional > Akankah Perang Dagang AS-China Berubah Jadi Perang Dingin Global?

Jika Donald Trump dan Xi Jinping kian terseret ke dalam permusuhan berkelanjutan, dunia kelak akan membayar harganya. Apa pun yang terjadi, hubungan China-Amerika Serikat akan menjadi masalah geopolitik utama abad ini.

Baca juga: Hong Kong: Kuda Troya Perang Dingin Baru antara Amerika vs China

Beberapa tahun yang lalu, sebagai bagian dari delegasi barat ke China, Nouriel Roubini bertemu Presiden China Xi Jinping di Aula Besar Rakyat Beijing. Ketika berbicara kepada para delegasi, Xi berpendapat bahwa kebangkitan China akan berlangsung damai dan bahwa negara-negara lain, yaitu Amerika Serikat, tidak perlu khawatir dengan “jebakan Thucydides”.

Gagasan jebakan Thucydides dinamakan dari sejarawan Yunani Thucydides yang mencatat bagaimana ketakutan Sparta terhadap kebangkitan Athena membuat perang antara keduanya tak terhindarkan. Dalam bukunya tahun 2017 berjudul Destined for War: Can America and China Escape Thucydides’s Trap?, Graham Allison dari Universitas Harvard meneliti 16 persaingan sebelumnya antara kekuatan yang baru bangkit dan yang telah mapan.

Allison menemukan bahwa 12 persaingan di antaranya menyebabkan perang. Tidak diragukan lagi, Xi ingin para delegasi Barat tersebut fokus pada empat kasus lainnya.

Meskipun dengan adanya kesadaran timbal balik akan jebakan Thucydides dan pengakuan bahwa sejarah tidaklah memastikan apa-apa, China dan AS tampaknya telah turut terperosok ke dalamnya. Meskipun perang panas antara dua kekuatan utama dunia ini masih tampak mustahil, perang dingin lebih mungkin terjadi di antara keduanya, menurut analisis Nouriel Roubini dalam tulisannya di The Guardian.

Amerika Serikat menyalahkan China atas ketegangan saat ini. Sejak bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tahun 2001, China telah menuai manfaat dari sistem investasi dan perdagangan global, namun gagal memenuhi kewajibannya dan dengan bebas menghindari aturannya.

Menurut AS, China telah memperoleh keuntungan yang tidak adil melalui pencurian kekayaan intelektual, transfer teknologi paksa, subsidi untuk perusahaan domestik, dan instrumen kapitalisme negara lainnya.

UU Hong Kong

Presiden AS Donald Trump bertemu dengan Presiden China Xi Jinping pada awal pertemuan bilateral mereka di KTT G20 di Osaka, Jepang, 29 Juni 2019. (Foto: Reuters/Kevin Lamarque)

Pada saat yang sama, pemerintah China menjadi semakin otoriter dan mengubah China menjadi negara pengawasan ala Orwellian.

China menduga bahwa tujuan nyata Amerika Serikat adalah mencegah China bangkit lebih jauh atau memproyeksikan kekuatan dan pengaruh yang sah di luar negeri. Dalam pandangan mereka, masuk akal jika ekonomi terbesar kedua di dunia (berdasarkan PDB) tersebut akan berupaya memperluas kehadirannya di panggung dunia.

Para pemimpin China akan berargumen bahwa rezim mereka telah meningkatkan kesejahteraan materi bagi 1,4 miliar masyarakat China, jauh lebih banyak daripada yang dapat dilakukan sistem politik yang mengalami kebuntuan di Barat.

Terlepas dari sisi mana yang memiliki argumen yang lebih kuat, peningkatan ketegangan ekonomi, perdagangan, teknologi, dan geopolitik mungkin tidak terhindarkan. Apa yang bermula sebagai perang dagang kini tengah mengancam untuk meningkat menjadi keadaan permusuhan timbal balik yang permanen.

Hal ini tercermin dalam strategi keamanan nasional pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, yang menganggap China sebagai “pesaing” strategis yang harus dibatasi dalam semua lini.

Dengan demikian, Amerika Serikat secara tajam membatasi investasi asing langsung China di sektor-sektor sensitif dan melakukan tindakan lain untuk memastikan dominasi Barat dalam industri strategis seperti kecerdasan buatan dan 5G.

Hal ini menekan para mitra dan sekutu untuk tidak berpartisipasi dalam Inisiatif Sabuk dan Jalan, program besar China untuk membangun proyek infrastruktur di seluruh daratan Eurasia. Itu juga memicu peningkatan patroli Angkatan Laut AS di Laut China Selatan dan Timur, di mana China telah menjadi lebih agresif dalam menegaskan klaim teritorialnya yang meragukan.

Konsekuensi global dari perang dingin China-Amerika Serikat akan lebih parah daripada dampak Perang Dingin antara AS dan Uni Soviet. Jika Uni Soviet adalah kekuatan yang terus menurun dengan model ekonomi yang gagal, China akan segera menjadi ekonomi terbesar di dunia dan akan terus bertumbuh dari posisi itu.

Selain itu, Amerika dan Uni Soviet hanya melakukan sedikit perdagangan dengan satu sama lain, sementara China terintegrasi penuh dalam sistem perdagangan dan investasi global, dan khususnya sangat terkait dengan AS.

Baca juga: Sekutu Trump Bantu Hidupkan Kembali Perang Dingin

Dengan demikian, perang dingin skala penuh dapat memicu tahap baru deglobalisasi, atau setidaknya pembagian ekonomi global menjadi dua blok ekonomi yang tidak kompatibel. Dalam kedua skenario tersebut, perdagangan barang, jasa, modal, tenaga kerja, teknologi, dan data akan sangat dibatasi, dan dunia digital akan menjadi “splinternet,” di mana simpul Barat dan China tidak akan terhubung satu sama lain.

Seiring Amerika Serikat menjatuhkan sanksi pada ZTE dan Huawei, China akan berjuang untuk memastikan bahwa raksasa perusahaan teknologinya dapat memperoleh input penting di dalam negeri atau setidaknya dari mitra dagang ramah yang tidak bergantung pada AS.

Di dunia yang mengalami Balkanisasi ini, China dan Amerika Serikat akan mengharapkan semua negara lain untuk memihak, sementara sebagian besar pemerintah di dunia akan berusaha untuk menjaga hubungan ekonomi yang baik dengan kedua belah pihak. Lagi pula, banyak sekutu AS sekarang melakukan lebih banyak bisnis (dalam hal perdagangan dan investasi) dengan China, daripada yang mereka lakukan dengan Amerika.

Namun dalam ekonomi masa depan di mana China dan AS secara terpisah mengontrol akses terhadap teknologi penting seperti Kecerdasan Buatan dan 5G, kemungkinan besar jalan tengahnya tidak akan dapat terwujud. Setiap negara harus memilih dan dunia mungkin akan memasuki proses panjang deglobalisasi.

Apa pun yang terjadi, hubungan China-Amerika Serikat akan menjadi masalah geopolitik utama abad ini. Beberapa tingkat persaingan tidak terhindarkan. Namun, idealnya, kedua belah pihak harus mengelolanya secara konstruktif, memungkinkan untuk kerja sama dalam beberapa masalah dan persaingan yang sehat di bidang yang lain.

Akibatnya, China dan AS akan menciptakan tatanan internasional baru, berdasarkan pengakuan bahwa negara baru (yang tak terelakkan) harus mendapatkan peran dalam membentuk aturan dan institusi global.

Baca juga: Konflik Perang Dingin Baru Amerika-China: Tak Dapat Diprediksi

Jika hubungan itu dikelola dengan tidak tepat, dengan Amerika Serikat berusaha menggagalkan perkembangan China dan menghambat kebangkitannya, sementara China secara agresif memproyeksikan kekuatannya di Asia dan di seluruh dunia, akan terjadi perang dingin skala penuh dan perang panas (atau serangkaian perang proksi) tidak dapat terhindarkan, Nouriel Roubini menyimpulkan.

Pada abad ke-21, jebakan Thucydides tidak hanya akan memerangkap Amerika Serikat dan China, tetapi juga seluruh dunia.

 

Penerjemah: Fadhila Eka Ratnasari

Editor: Aziza Fanny Larasati

Keterangan foto utama: Bendera China dan Amerika Serikat. (Foto: Reuters)

Akankah Perang Dagang AS-China Berubah Jadi Perang Dingin Global?

BERLANGGANAN

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top