Pagar besi yang memisahkan tentara Israel dengan pengunjuk rasa Palestina di Gaza telah menjadi obyek perhatian terbaru dalam konflik beberapa generasi antara masyarakat Arab dan Yahudi di daerah itu. Dalam beberapa minggu, setidaknya 60 orang Palestina tewas di dekatpagar Gaza, sementara ribuan terluka. Lalu apa arti pagar pembatas tersebut, dan apa tujuan pendiriannya?
Oleh: Megan Specia, Rick Gladstone (The New York Times)
Pagar besi yang meliuk-liuk yang membelah Jalur Gaza dari Israel, telah menjadi titik fokus terbaru dalam konflik beberapa generasi antara masyarakat Arab dan Yahudi di daerah itu.
Di sepanjang pagar Gaza ini setidaknya 60 orang Palestina tewas dan ratusan lainnya terluka pada Senin (14/5), ketika ribuan orang berkumpul untuk melakukan protes terhadap apa yang mereka sebut garis demarkasi yang ditegakkan secara sewenang-wenang oleh penjajah. Ketika para pengunjuk rasa bergegas menuju pagar Gaza—beberapa melemparkan batu atau bom api buatan sendiri—tentara Israel menembakkan peluru hidup, yang dikatakan militer Israel dilakukan sebagai upaya terakhir.
Apa awal mula dan tujuan pagar itu dalam memisahkan Gaza—daerah kantong pantai Mediterania sepanjang 25 mil, lebar lima mil, yang merupakan tempat tinggal hampir dua juta orang Palestina? Apakah pagar Gaza tersebut diakui sebagai perbatasan internasional? Dan bagaimana Israel membenarkan kekuatan yang mematikan untuk menghentikan sebagian besar orang Palestina yang tidak bersenjata agar tidak melanggar pagar itu? Berikut ini dasar-dasarnya:
Pagar apa itu?
pagar Gaza itu sebenarnya adalah dua penghalang paralel yang dibangun oleh Israel: sebuah kawat berduri yang kuat di Gaza dan pagar besi setinggi 10 kaki, yang dipenuhi sensor pengintai di sepanjang garis demarkasi Israel. Sebuah zona penyangga terbatas selebar lebih dari 200 meter berada di antara mereka. Israel telah memperingatkan bahwa orang-orang yang berada di zona tersebut tanpa otorisasi, berisiko menjadi sasaran kekuatan mematikan.
Pasukan Israel maju melawan pasukan Mesir pada awal Perang Arab-Israel tahun 1967. (Foto: Kantor Berita Pemerintah Israel/Micha Han)
Bagaimana sejarahnya?
Seperti bagian lain dari Tanah Suci, sejarah Gaza membentang kembali pada zaman kuno. Awalnya itu adalah pemukiman Kanaan, dan berganti-ganti kepemimpinan oleh Israel, Mesir, Romawi, dan Ottoman (Turki Utsmani), antara lain. Inggris merebut wilayah itu selama Perang Dunia I.
Batas-batas Gaza dibentuk dalam perjanjian gencatan senjata tahun 1949 antara Mesir dan Israel, yang menghentikan konflik tersebut setelah pembentukan negara Israel pada tahun 1948. Selama perang Arab-Israel pada periode itu, ratusan ribu orang Palestina dipaksa meninggalkan rumah mereka atau melarikan diri—banyak yang ke Gaza—dan mereka beserta keturunan mereka telah diklasifikasikan sebagai pengungsi oleh PBB.
Mesir menduduki Gaza sampai Perang Arab-Israel tahun 1967, ketika Israel merebut wilayah itu.
Pagar Gaza-Israel pertama didirikan pada tahun pada 1994 sebagai cara untuk mengontrol gerakan Palestina setelah Kesepakatan Oslo—perjanjian yang bertujuan mengakhiri konflik antara Israel dan Palestina, dan mendirikan negara Palestina.
Israel mundur dari Gaza pada tahun 2005, mengosongkan semua permukiman Israel, dan menyingkirkan tentaranya. Tetapi Israel mempertahankan kendali atas batas wilayah utara dan timur—Mesir mengontrol penyeberangan selatan, yang dikenal sebagai Rafah—dan Israel mengendalikan pendekatan udara dan laut. Sebagian besar makanan, bahan bakar, dan aliran bantuan Gaza lainnya, mengalir melalui penyeberangan yang dikendalikan Israel.
Seperti masyarakat Israel, masyarakat Mesir dalam beberapa tahun terakhir membatasi pergerakan orang dan barang yang masuk dan keluar dari Gaza. Baik Israel maupun Mesir memberlakukan blokade di Gaza, setelah Hamas—organisasi militan Palestina yang tak mengakui hak Israel untuk berdiri—mengambil alih kendali di sana lebih dari satu dekade lalu.
Perampasan di Gaza terus memburuk. Sebagian besar penduduknya bergantung pada bantuan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa dan kelompok luar lainnya, dan ketidakmampuan warga untuk bebas pergi telah menciptakan apa yang disebut oleh para pembela hak asasi manusia sebagai penjara terbuka.
Mengapa konflik mulai bergejolak sekarang?
“March of Return”—sebutan oleh masyarakat Palestina untuk menyebut kampanye protes yang dimulai pada bulan Maret—dimaksudkan oleh para pendirinya untuk mempublikasikan kesadaran global bahwa sekitar dua pertiga dari penduduk Gaza dianggap sebagai pengungsi Palestina.
Israel menuduh Hamas—yang oleh Israel, Amerika Serikat (AS), dan beberapa negara lain anggap sebagai organisasi teroris—mengeksploitasi “Great March of Return” untuk menyerang Israel secara fisik.
“Hamas telah menggunakan ‘protes non-kekerasan’ untuk berusaha menggulingkan perbatasan Israel dan membunuh warga sipilnya, dan Hamas lah yang bertanggung jawab atas pertumpahan darah baru-baru ini,” Komite Urusan Publik Israel Amerika—sebuah kelompok lobi berpengaruh di Amerika Serikat—mengatakan pada Rabu (16/5), dalam melawan kritik terhadap perilaku Israel.
Tentara Israel berpatroli di pagar penghalang yang baru dibangun pada tahun 1994. (Foto: The LIFE Images Collection/Getty Images/David Rubinger)
Jadi apakah pagar itu adalah perbatasan yang legal?
Pagar itu tidak diakui seperti perbatasan antara dua negara yang berdaulat. Walau Israel telah mendirikan apa yang dianggap sebagai zona penyangga defensif di dalam Gaza untuk alasan keamanan, namun Israel belum mengubah garis gencatan senjata tahun 1949 asli yang menggambarkan wilayah itu.
Pendukung solusi dua negara untuk konflik Israel-Palestina memperkirakan Gaza sebagai bagian dari negara Palestina di masa depan. Tetapi untuk sekarang, status Gaza sangat rumit.
“Gaza bukan negara Palestina,” kata David Makovsky, seorang ahli di Institut Washington untuk Kebijakan Timur Dekat. “Sebagian masalahnya adalah, tidak ada orang yang menginginkan Gaza.”
Walau Mesir secara teoritis dapat berbuat lebih banyak untuk meringankan penderitaan penduduk Gaza, namun Makovsky berkata, “Mesir melihatnya sebagai situasi politik yang buruk.”
Para pejabat hak asasi manusia Palestina dan PBB mengatakan bahwa Israel tetap berkuasa di Gaza, sehingga tunduk pada kewajiban tertentu untuk melindungi warga sipil di bawah hukum internasional, karena Israel mengerahkan kontrol efektif atas sebagian besar perbatasan darat, udara, dan laut Gaza.
Israel telah menolak argumen itu, dan menegaskan bahwa mereka secara sukarela meninggalkan Gaza 13 tahun yang lalu.
“Titik politiknya adalah bahwa setiap pihak dari konflik ini memiliki narasi mereka sendiri tentang status Jalur Gaza dan peran Israel,” kata Tamara Cofman Wittes, seorang rekan senior di Pusat Kebijakan Timur Tengah Brookings Institution. “Argumennya bukan apakah ini adalah perbatasan. Argumennya adalah apakah Israel menduduki Gaza.”
Pendukung Hamas di Hebron merayakan hasil pemilu tahun 2006, yang dimenangkan oleh kelompok militan tersebut. Baik Israel maupun Mesir memberlakukan blokade sesudahnya. (Foto: Reuters/Stoyan Nenov)
Israel menganggap upaya para pengunjuk rasa Palestina untuk mendekati pagar sebagai ancaman terhadap kedaulatannya, dan telah menggambarkan tanggapannya terhadap protes-protes ini sebagai pembelaan sah atas perbatasan Israel. Pihak berwenang Israel telah menjatuhkan selebaran di Gaza, yang memperingatkan warga Palestina untuk tidak mendekati pagar.
“Pasukan Pertahanan Israel bertekad untuk melindungi masyarakat Israel dan kedaulatannya, dari upaya Hamas dalam terorisme di bawah alasan kerusuhan,” tulis selebaran itu—sebuah posisi yang ditegaskan kembali oleh Ronen Manelis, juru bicara Pasukan Pertahanan Israel. “Bangsa yang berdaulat tidak bisa membiarkan ini,” katanya.
Pertanyaan apakah para pengunjuk rasa mengancam kedaulatan Israel, adalah bagian dari perselisihan yang lebih luas, para akademisi Timur Tengah mengatakan.
Nadia Abu El-Haj, Wakil Direktur Pusat Studi Palestina di Universitas Columbia, berpendapat bahwa tindakan Israel di seberang pagar menunjukkan bahwa itu bukanlah perbatasan.
“Perbatasan menyiratkan tempat di mana otoritas satu negara berakhir dan yang lainnya dimulai,” kata Dr. Abu El-Haj. “Israel tidak pernah mengakui pagar sebagai batas otoritasnya. Melalui penutupan dan serangan militer, Israel mendukung otoritas kedaulatannya atas wilayah tersebut.”
Tentara Israel menembakkan gas air mata ke arah demonstran Palestina di dekat pagar perbatasan pada bulan Maret. (Foto: Associated Press/Tsafrir Abayov)
Apakah kekuatan mematikan di pagar tersebut dapat dibenarkan?
Meskipun pemerintah Israel telah membenarkan penggunaan kekuatan mematikan oleh militer, namun banyak kelompok pemantau internasional—termasuk Human Rights Watch dan Amnesty International—yang telah mengecamnya. Sejumlah negara di Perserikatan Bangsa-Bangsa telah meminta penyelidikan independen atas kematian tersebut.
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dari Israel mengatakan bahwa mempertahankan pagar perbatasan dengan kekuatan yang mematikan itu diperlukan.
“Saya tidak tahu ada tentara yang akan melakukan sesuatu yang berbeda jika Anda harus melindungi perbatasan Anda dari orang-orang yang mengatakan, ‘Kami akan menghancurkan Anda, dan kami akan membanjiri negara Anda,'” Netanyahu mengatakan pada CBS News.
Orang-orang Israel lainnya mengatakan bahwa jika ribuan orang Palestina yang marah melanggar pagar Gaza, hasilnya akan jauh lebih berdarah.
Militer Israel mempertahankan bahwa pihaknya hanya menargetkan mereka yang menghasut kekerasan, dan telah berusaha untuk menggunakan penghalang non-mematikan—termasuk drone yang menjatuhkan gas air mata—untuk melawan protes tersebut.
Para pejabat Amerika telah mendukung tindakan Israel. Heather Nauert, juru bicara Departemen Luar Negeri, mengatakan bahwa “Israel memiliki hak untuk membela diri,” sementara Nikki R. Haley, Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB, mengatakan bahwa Israel telah menanggapi dengan “penahanan diri.”
Para pejabat hak asasi manusia PBB telah membantah pandangan itu. Michael Lynk—pelapor khusus tentang hak asasi manusia di wilayah Palestina yang diduduki—mengatakan bahwa pembunuhan pada Senin (14/5) mencerminkan “penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh Israel”, dan menyebutnya “tidak mengejutkan.”
Lynk mengatakan bahwa pengunjuk rasa tampaknya tidak menimbulkan ancaman yang kredibel terhadap pasukan militer Israel di sisi Israel. Di bawah hukum kemanusiaan, katanya, pembunuhan demonstran tak bersenjata bisa menjadi kejahatan perang, dan dia menambahkan bahwa “kekebalan hukum atas tindakan ini bukanlah pilihan.”
Jodi Rudoren berkontribusi melaporkan.
Keterangan foto utama: Tentara Israel pada Selasa (15/5) di sisi pagar Israel, antara Israel dan Gaza. (Foto: Agence France-Presse/Getty Images/Thomas Coex)