Mengapa Sebut Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel Sangat Kontroversial
Timur Tengah

Mengapa Sebut Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel Sangat Kontroversial?

Berita Internasional > Mengapa Sebut Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel Sangat Kontroversial?

Pengakuan Presiden Donald Trump atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel memicu kerusuhan dan protes dari berbagai penjuru dunia. Namun, mengapa sebenarnya penyebutan Yerusalem sebagai ibu kota Israel sangat kontroversial?

Oleh: Oren Liebermann (CNN)

Mengapa Sebut Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel Sangat Kontroversial

Para peserta protes meneriakkan slogan dan melambaikan bendera saat protes yang dilakukan di dekat Kedutaan Besar Amerika di Amman, terhadap keputusan Presiden AS Donald Trump yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada tanggal 7 Desember 2017. (Foto: AFP Photo/Khalil Mazraawi)

Yerusalem (CNN)—Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai Ibu kota Israel pada Rabu (6/12), dan mengumumkan rencana untuk memindahkan Kedutaan Besar Amerika ke kota tersebut, yang membalikkan kebijakan luar negeri AS yang telah berlangsung selama tujuh dekade, dalam langkah yang diperkirakan akan meningkatkan ketegangan di wilayah tersebut, dan mengganggu prospek perdamaian.

Trump juga menandatangani sebuah surat yang secara resmi menunda kepindahan Kedutaan Besar Amerika dari Tel Aviv ke Yerusalem selama enam bulan, kata seorang pejabat Dewan Keamanan Nasional. Namun, pasukan keamanan Kementerian Luar Negeri Amerika berencana melakukan persiapan dalam menghadapi demonstrasi yang berpotensi menimbulkan kekerasan di Kedutaan Besar dan Konsulat Amerika.

Oren Liebermann, seorang jurnalis CNN yang berbasis di Yerusalem, menuntun kita untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.

Mengapa Menyatakan Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel adalah Masalah Besar?

Status terakhir Yerusalem selalu menjadi salah satu pertanyaan paling sulit dan sensitif dalam konflik Israel-Palestina. Selama bertahun-tahun, kebijakan Amerika adalah untuk menghindari menyatakan Yerusalem sebagai ibu kota Israel dengan tidak adanya kesepakatan damai antara Israel-Palestina, karena Palestina juga mengklaim Yerusalem sebagai ibu kota mereka. Dikatakan bahwa sebuah keputusan sepihak dapat merusak konsensus internasional dan menetapkan suatu masalah yang seharusnya diselesaikan melalui perundingan.

Mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel juga telah membuat Amerika Serikat melakukan langkah besar untuk memindahkan kedutaan besar dari Tel Aviv ke Yerusalem, yang akan dipandang sebagai langkah untuk menegaskan kedaulatan Israel atas kota tersebut.

Bagaimana Kedutaan Bisa Dipindahkan?

Secara teori, memindahkan Kedutaan Besar dari Tel Aviv ke Yerusalem bisa dilakukan secara sederhana. Sudah terdapat konsulat Amerika di Yerusalem—namun Amerika telah memutuskan menolak untuk sekadar mengganti nama, mengubah konsulat menjadi Kedutaan Besar di Yerusalem, dan Tel Aviv menjadi lokasi konsulat.

Justru, Trump mengarahkan Kementerian Luar Negeri “untuk memulai persiapan pemindahan Kedutaan Besar dari Tel Aviv ke Yerusalem.” Perintahnya, kata Trump, akan memungkinkan Kementerian Luar Negeri untuk mulai mempekerjakan arsitek dan kontraktor bangunan untuk membangun sebuah kedutaan yang akan menjadi “penghormatan yang luar biasa bagi perdamaian.”

Tapi tantangannya bukan sekadar logistik. Memindahkan kedutaan berisiko memicu krisis diplomatik dengan negara-negara Arab yang dapat memicu demonstrasi yang meluas di luar kantor-kantor diplomatik AS di negara-negara tersebut dan negara-negara lain. Terdapat kecaman yang meluas dari negara-negara Arab setelah keputusan Trump diumumkan.

Berikut Beberapa Sejarah

Rencana pemisahan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang disusun pada tahun 1947 menganggap Yerusalem sebagai “kota internasional” yang terpisah. Namun perang yang terjadi setelah deklarasi kemerdekaan Israel satu tahun kemudian membuat kota ini terbagi. Ketika pertempuran berakhir pada tahun 1949, perbatasan gencatan senjata—yang sering disebut Jalur Hijau karena digambar dengan tinta berwarma hijau—memutuskan bahwa Israel menguasai bagian barat, dan Yordania menguasai bagian timur, termasuk Kota Tua yang terkenal.

Kapan Itu Berubah?

Selama Perang Enam Hari pada tahun 1967, Israel menduduki Yerusalem Timur. Sejak saat itu, seluruh kota berada di bawah kekuasaan Israel. Kota ini menandakan “Hari Yerusalem” pada akhir Mei atau awal Juni. Tapi masyarakat Palestina, dan banyak masyarakat internasional, terus melihat Yerusalem Timur sebagai ibu kota negara Palestina di masa depan.

Siapa yang Tinggal di Yerusalem?

Sekitar 850 ribu orang tinggal di Yerusalem—37 persen adalah Arab dan 61 persen adalah Yahudi—menurut wadah pemikir independen, Jerusalem Institute. Populasi Yahudi mencakup sekitar 200 ribu Yahudi ultra-Ortodoks, dan sisanya dipisah antara Zionis religius dan Yahudi sekuler. Dari populasi Arab di kota itu, 96 persen adalah Muslim; 4 persen lainnya adalah umat Kristen.

Mayoritas penduduk Palestina tinggal di Yerusalem Timur. Meski pun terdapat beberapa lingkungan campuran di Yerusalem dimana orang Israel dan Arab tinggal, namun sebagian besar lingkungannya terpisah.

Apakah Terdapat Negara yang Pernah Memiliki Kedutaan Besar di Yerusalem?

Ya. Sebelum tahun 1980 sejumlah negara melakukannya, termasuk Belanda dan Kosta Rika. Namun pada bulan Juli tahun itu, Israel mengeluarkan sebuah undang-undang yang menyatakan bahwa Yerusalem sebagai ibu kota Israel yang bersatu. Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa menanggapi dengan sebuah resolusi yang mengecam pencaplokan Israel terhadap Yerusalem Timur, dan menyebutnya sebagai pelanggaran terhadap hukum internasional.

Jadi, Negara-Negara Memindahkan Kedutaan Besar Mereka dari Yerusalem?

Benar. Pada tahun 2006, Kosta Rika dan El Salvador adalah negara terakhir yang memindahkan kedutaan mereka dari Yerusalem, bergabung dengan negara-negara lain di seluruh dunia, yang membangun kedutaan mereka di Tel Aviv.

Bagaimana dengan Konsulat?

Beberapa negara mempertahankan konsulat mereka di Yerusalem, termasuk Amerika Serikat, yang memiliki konsulat di bagian barat kota tersebut. Negara lain—seperti Inggris dan Prancis, misalnya—memiliki sebuah konsulat di bagian timur Yerusalem, yang berfungsi sebagai perwakilan utama negara mereka di wilayah Palestina.

Mengapa Sebut Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel Sangat Kontroversial

Presiden Trump menandatangani sebuah memorandum setelah menyampaikan pernyataannya terkait Yerusalem. Keputusan tersebut juga merupakan hasil dari pertimbangan internal Amerika. (Foto: AFP)

Apa Posisi Amerika sebelum Pengumuman Trump?

Amerika tidak pernah memiliki Kedutaan Besarnya di Yerusalem. Kedutaan Amerika selalu berada di Tel Aviv, dengan kediaman Duta Besar mereka di Herzliya Pituach, sekitar 30 menit ke arah utara.

Kedengarannya Cukup Mudah…

Tunggu sebentar, ini akan menjadi lebih rumit. Pada tahun 1989, Israel mulai menyewa sebuah tanah di Yerusalem untuk sebuah kedutaan baru. Biaya sewa selama 99 tahun seharga $1 per tahun. Sampai hari ini, lahannya belum dikembangkan, dan masih menjadi lahan kosong.

Oke, Lanjutkan…

Pada tahun 1995, Kongres Amerika mengeluarkan sebuah undang-undang yang mengharuskan Amerika memindahkan Kedutaan Besar dari Tel Aviv ke Yerusalem. Para pendukung mengatakan bahwa Amerika harus menghormati pilihan Israel atas Yerusalem sebagai ibu kotanya, dan mengakui hal itu.

Jadi Mengapa Kedutaan Belum Dipindahkan, Sampai Sekarang?

Setiap Presiden sejak tahun 1995—Presiden Clinton, Bush, dan Obama—telah menolak untuk memindahkan Kedutaan Besar tersebut, dengan alasan kepentingan keamanan nasional. Setiap enam bulan sekali, para Presiden telah menggunakan wewenang mereka sebagai Presiden untuk menghindari pemindahan kedutaan tersebut.

Bagaimana Israel Menanggapi Hal Ini?

Pemerintah Israel telah memuji janji Trump untuk menindaklanjuti langkah pemindahan Kedutaan Besar tersebut. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu memuji Trump karena telah mengambil keputusan itu, dan menyebut langkah tersebut sebagai “langkah penting menuju perdamaian, karena tidak ada perdamaian yang tidak meliputi Yerusalem sebagai ibu kota Negara Israel.”

Wali Kota Yerusalem Nir Barkat—salah satu pendukung langkah pemindahan ini—mengatakan kepada CNN bahwa keputusan Trump adalah “hal yang benar untuk dilakukan, dan kami di Yerusalem dan Israel memuji Presiden itu.”

Netanyahu mengatakan bahwa dia berharap negara-negara lain akan mengikuti langkah Amerika dan memindahkan perwakilan mereka.

Dan Apa yang Dilakukan Palestina terhadap Hal Ini?

Pemimpin Palestina bersikeras bahwa sebuah kedutaan jika dipindahkan ke Yerusalem akan menjadi pelanggaran hukum internasional, dan merupakan sebuah kemunduran besar terhadap harapan perdamaian dunia.

Presiden Mahmoud Abbas telah berbicara kepada pemimpin dunia lainnya, termasuk Presiden Rusia Vladimir Putin dan Raja Yordania King Abdullah, untuk membantu memberi tekanan pada Trump untuk mengubah pikirannya. Organisasi Pembebasan Palestina mengatakan akan mempertimbangkan untuk mencabut pengakuannya terhadap Israel, dan membatalkan semua kesepakatan antara Israel dan Palestina, jika tindakan tersebut tetap dilakukan.

Setelah pengumuman tersebut, Mahmoud Abbas mengatakan bahwa hal ini akan memicu ekstremisme di wilayah tersebut. Hanan Ashrawi, anggota komite eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina, mengatakan bahwa hal ini berarti adanya “lonceng kematian dari proses perdamaian apa pun.”

Yang akan segera terjadi, terdapat kekhawatiran bahwa hal ini bisa memicu gelombang kerusuhan—bahkan mungkin demonstrasi jalanan dan kekerasan—di wilayah Palestina dan di seluruh negara-negara Islam.

 

Caroline Kenny dari CNN berkontribusi untuk artikel ini.

 

 

Mengapa Sebut Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel Sangat Kontroversial?

BERLANGGANAN

1 Comment

1 Comment

  1. novi

    February 15, 2019 at 4:55 pm

    dari ZAMAN sebelum masehi, seperti YERUSALEM memang ibu kota ISRAEL menurut ALKITAB

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top