Mengapa Yerusalem Sama Sekali Bukan Ibu Kota Israel
Timur Tengah

Mengapa Yerusalem Sama Sekali Bukan Ibu Kota Israel

Pemandangan kota Yerusalem. (Foto: Shutterstock/Leonid Amstibovitsky)
Berita Internasional > Mengapa Yerusalem Sama Sekali Bukan Ibu Kota Israel

Status Yerusalem tetap menjadi salah satu poin utama dalam upaya menyelesaikan konflik Palestina-Israel. Masyarakat internasional, termasuk AS, secara resmi menganggap Yerusalem Timur sebagai wilayah yang diduduki. Selain itu, tidak ada negara di dunia yang mengakui bagian Yerusalem sebagai ibu kota Israel, kecuali Rusia. Secara hukum, inilah alasan mengapa Yerusalem sama sekali bukan ibu kota Israel.

Oleh: Zena Tahhan , Farah Najjar (Al Jazeera)

Pemandangan kota Yerusalem - By Leonid Amstibovitsky

Pemandangan kota Yerusalem. (Foto: Shutterstock/Leonid Amstibovitsky)

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menyebut Yerusalem ibu kota Israel pada hari Rabu (6/12), dan memulai proses perpindahan kedutaan besar negaranya dari Tel Aviv ke kota tersebut.

Langkah tersebut memicu kecaman global dari para pemimpin dunia.

Israel menduduki Yerusalem Timur pada akhir Perang 1967 dengan Suriah, Mesir dan Yordania; bagian barat kota suci itu telah diduduki Israel dalam perang Arab-Israel 1948.

Pendudukan Israel di Yerusalem Timur secara efektif menempatkan seluruh kota di bawah kendali Israel secara de facto. Yurisdiksi Israel dan kepemilikan Yerusalem, bagaimanapun, tidak diakui oleh masyarakat internasional, termasuk Amerika Serikat.

Status Yerusalem tetap menjadi salah satu poin utama dalam upaya menyelesaikan konflik Palestina-Israel.

Posisi masyarakat internasional

Di bawah Rencana Pemisahan PBB 1947 untuk membagi Palestina historis antara negara-negara Yahudi dan Arab, Yerusalem diberikan status khusus dan dimaksudkan untuk ditempatkan di bawah kedaulatan dan kontrol internasional. Status khusus didasarkan pada kepentingan religius Yerusalem terhadap tiga agama Abraham (Islam, Kristen dan Yahudi).

Dalam perang tahun 1948, setelah rekomendasi PBB untuk membagi Palestina, pasukan Zionis menguasai bagian barat kota tersebut dan mendeklarasikan wilayah tersebut sebagai bagian negaranya.

Selama perang tahun 1967, Israel merebut bagian timur Yerusalem, yang berada di bawah kendali Yordania pada saat itu, dan mulai secara efektif mendudukinya dengan memperluas undang-undang Israel, yang menempatkan Yerusalem langsung di bawah yurisdiksinya, dalam sebuah pelanggaran hukum internasional.

Pada tahun 1980, Israel mencanangkan “Hukum Yerusalem,” yang menyatakan bahwa “Yerusalem, secara lengkap dan bersatu, adalah ibu kota Israel,” dengan demikian meresmikan aneksasi Yerusalem Timur.

Sebagai tanggapan, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 478 pada tahun 1980, yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut “tidak sah secara hukum.”

Masyarakat internasional, termasuk AS, secara resmi menganggap Yerusalem Timur sebagai wilayah yang diduduki. Selain itu, tidak ada negara di dunia yang mengakui bagian Yerusalem sebagai ibu kota Israel, kecuali Rusia, yang mengumumkan pengakuannya atas Yerusalem Barat sebagai ibu kota Israel awal tahun ini.

Sampai sekarang, semua kedutaan besar negara-negara lain berbasis di Tel Aviv.

Namun, pada hari Rabu, Presiden AS Donald Trump mengumumkan pengakuan AS atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan mengarahkan departemen negara bagian untuk memulai proses panjang untuk memindahkan kedutaan AS dari Tel Aviv ke kota tersebut, menurut keterangan pejabat senior Gedung Putih.

Aneksasi ilegal Israel terhadap Yerusalem Timur melanggar beberapa prinsip di bawah hukum internasional, yang menguraikan bahwa penjajah yang melakukan pendudukan tidak memberi mereka kedaulatan di wilayah yang didudukinya.

Nasib Warga Palestina di Yerusalem

Meskipun telah terjadi aneksasi oleh Israel secara de facto di Yerusalem Timur, orang-orang Palestina yang tinggal di sana tidak diberi kewarganegaraan Israel.

Saat ini, sekitar 420.000 warga Palestina di Yerusalem Timur memiliki kartu identitas “penduduk permanen.” Mereka juga memiliki paspor Yordania sementara tanpa nomor identifikasi nasional. Ini berarti bahwa mereka bukan warga Yordania penuh—mereka memerlukan ijin kerja untuk bekerja di Yordania dan tidak memiliki akses terhadap layanan dan manfaat pemerintah seperti pengurangan biaya pendidikan.

Warga Palestina di Yerusalem pada dasarnya tanpa kewarganegaraan, terjebak dalam limbo hukum—mereka bukan warga negara Israel, juga bukan warga Yordania atau Palestina.

Israel memperlakukan orang-orang Palestina di Yerusalem Timur sebagai imigran asing yang tinggal di sana sebagai ‘penduduk tambahan’ yang diserahkan kepada mereka oleh Yerusalem, namun tidak memberi merek hak-hak dasar, meskipun telah lahir di sana. Mereka diharuskan memenuhi persyaratan tertentu untuk mempertahankan status kependudukan mereka dan hidup dalam ketakutan terus-menerus bahwa suatu saat rumah mereka akan dirampas.

Setiap orang Palestina yang telah tinggal di luar batas-batas wilayah Yerusalem untuk jangka waktu tertentu, baik di luar negeri atau bahkan di Tepi Barat, berisiko kehilangan hak mereka untuk tinggal di sana.

Mereka yang tidak dapat membuktikan bahwa “pusat kehidupan mereka” ada di Yerusalem dan mereka telah tinggal di sana selama bertahun-tahun, dan kehilangan hak mereka untuk tinggal di kota kelahiran mereka. Mereka harus menyerahkan puluhan dokumen termasuk akta, kontrak sewa dan slip gaji. Mendapatkan kewarganegaraan dari negara lain juga akan menyebabkan pencabutan status mereka.

Sementara itu, setiap orang Yahudi di seluruh dunia menikmati hak untuk tinggal di Israel dan untuk mendapatkan kewarganegaraan Israel di bawah Hukum Kembali Israel.

Sejak 1967, Israel telah mencabut status 14.000 warga Palestina, menurut kelompok hak asasi manusia B’Tselem.

Pemukiman Ilegal Israel

Proyek permukiman Israel di Yerusalem Timur, yang ditujukan untuk mengkonsolidasikan kendali Israel atas kota tersebut, juga dianggap ilegal menurut hukum internasional.

PBB telah menegaskan dalam beberapa resolusi bahwa proyek pemukiman tersebut bertentangan langsung dengan Konvensi Jenewa Keempat, yang melarang negara penjajah memindahkan penduduknya ke wilayah-wilayah yang didudukinya.

Ada beberapa alasan di balik ini: untuk memastikan bahwa pendudukan bersifat sementara dan untuk mencegah negara yang menduduki untuk membangun populasinya dalam jangka panjang melalui pemerintahan militer; untuk melindungi penduduk sipil yang dijajah kehilangan sumber daya mereka; untuk mencegah apartheid dan perubahan dalam susunan demografis wilayah ini.

Namun, sejak 1967, Israel telah membangun lebih dari selusin kompleks perumahan bagi orang-orang Yahudi Israel, yang dikenal sebagai Settlement, beberapa di tengah lingkungan Palestina di Yerusalem Timur.

Sekitar 200.000 warga Israel tinggal di Yerusalem Timur di bawah perlindungan tentara dan polisi, dengan kompleks pemukiman tunggal terbesar yang menampung 44.000 orang Israel.

Permukiman yang dibentengi seperti itu, yang sering tersebar di antara rumah orang-orang Palestina, melanggar kebebasan bergerak, privasi dan keamanan orang-orang Palestina.

Meskipun Israel mengklaim Yerusalem sebagai ibu kota yang tak terbagi, kenyataannya bagi mereka yang tinggal di sana tidak demikian adanya.

Sementara orang-orang Palestina hidup dalam kondisi seperti apartheid, orang Israel menikmati kenyamanan yang normal, dijamin oleh negara mereka.

Mengapa Yerusalem Sama Sekali Bukan Ibu Kota Israel

BERLANGGANAN

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top