Sanksi Amerika terhadap Iran
Militer

Sanksi dan Ancaman AS Tak Akan Usik Rezim Iran

Berita Internasional > Sanksi dan Ancaman AS Tak Akan Usik Rezim Iran

Berapa pun sanksi yang djatuhkan AS tak akan mampu mengusik keteguhan rezim iran. Negara ini terbukti sebagai salah satu rezim paling tangguh di kawasannya. Bangsa Iran mampu membentuk lanskap politik mereka, yang harus dilakukan oleh komunitas internasional adalah menyediakan alat bagi mereka untuk meraih kesejahteraan.

Baca juga: Amerika Ramu Strategi Baru untuk Lemahkan Iran

Iran bisa disebut sebagai negara yang langganan diberi sanksi oleh AS, bahkan jauh sebelum Paman Sam dipimpin oleh Trump. Pada 1979, Presiden AS Jimmy Carter sudah memberi sanksi dengan pembekuan aset bank, emas dan properti milik Iran usai insiden penyanderaan warga AS.

Setelah Perang Teluk I terjadi antara Iran dan Irak, di 1984 AS juga memberi sanksi kembali. Di antaranya, melansir CNBC, melarang penjualan senjata ke negara tersebut.

Kala Trump menjadi Presiden AS, Iran diberi rentetan sanksi sejak November 2018. Mulai dari ekonomi dan perdagangan seperti jual beli minyak, sampai sanksi kepada pejabat penting Iran seperti Pemimpin Spiritual Ayatollah Khamenei dan Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif. Pun, sanksi juga diberikan kepada lembaga-lembaga negara, termasuk pasukan militer kebanggaan negara itu Garda Revolusi Iran (IRGC).

Akibat sanksi ini, mata uang Iran melemah tajam. Bukan hanya itu, perdagangan luar negeri terganggu, sedang inflasi tahunan negara itu meningkat. IMF pada Oktober 2019 bahkan memproyeksikan inflasi tahunan Iran akan mencapai 35,7 persen di 2019 dan 31 persen di 2020.

Sanksi terbaru yang konon akan dijatuhkan AS kepada Iran terkait pembalasan negara itu atas serangan drone yang menewaskan Qassem Soleimani. Sanksi dikabarkan tak hanya di bidang militer, tapi juga ekonomi.

Merespons ini, Susan Kurdli pernah menulis di Al-Jazeera pada 2018 bahwa sudah banyak pukulan yang mestinya bisa membuat Iran kian tersungkur. Sebut saja, jatuhnya nilai rial karena sanksi Amerika terhadap Iran, protes di jalanan yang menuntut perubahan rezim, sampai hukuman mati oleh Amerika Serikat (AS) untuk normalisasi perdagangan setelah AS menarik diri dari JCPOA, yang juga dikenal sebagai kesepakatan nuklir Iran, banyak sekali laporan berita yang merinci krisis “eksistensial” yang dihadapi rezim Iran saat ini.

Oleh karena itu, negara ini pasti sedang berada di ambang kehancuran. Benarkah?

Masalahnya adalah tidak satu pun dari krisis ini merupakan fenomena baru bagi rezim Iran. Sejak revolusi 1979, yang melengserkan Shah dan membentuk pemerintahan Islam, negara Iran telah terbukti menjadi salah satu rezim yang paling tangguh di kawasan itu.

Negara ini telah selamat dari berbagai krisis sosial, ekonomi dan politik, termasuk perang delapan tahun dengan tetangganya Irak—yang dimulai satu tahun setelah revolusi dan berakhir pada tahun 1988—sanksi sepihak oleh AS pada tahun 1979 dan diikuti oleh PBB pada 2006 dan Uni Eropa pada 2016, Gerakan Hijau 2009 di mana ratusan ribu orang mempertanyakan legitimasi Presiden Mahmoud Ahmadinejad, hanyalah beberapa dari banyak krisis yang telah terjadi di Iran.

Dalam hal ini, tekanan kuat oleh AS dan sekutu regionalnya seperti Arab Saudi dan Israel terhadap rezim ini tidak hanya mengancam wilayah yang secara politis sudah rapuh ini tetapi juga gagal mencapai tujuan mengenai kebijakan yang ingin diimplementasikan.

Faktanya, mengisolasi ekonomi Iran dan masyarakatnya justru menumbuhkan kecurigaan dari masyarakat Iran dan merusak niat baik politik yang akan membantu dalam negosiasi masa depan dengan negara ini.

Tidak hanya itu, tetapi isolasi yang berkepanjangan justru akan melegitimasi pendirian garis keras dalam pemerintahan Iran sembari menabur keraguan dalam agenda reformis yang, sejak di bawah pemerintahan presiden Mohammad Khatami tahun 1997, menyerukan normalisasi hubungan diplomatik dan perdagangan yang dengan negara lain di dunia dan diperpanjangnya kebebasan pribadi.

Meskipun Presiden saat ini, Hassan Rouhani, adalah seorang sentris, ia didukung oleh para reformis selama pemilihannya kembali pada 2017 dan ia telah memperbarui upaya untuk bergabung kembali dengan komunitas internasional, dengan pemerintahannya membawa penyelesaian untuk JCPOA.

Mengingat hal ini, memperkuat hubungan perdagangan dan investasi dengan Iran—bukannya memaksakan sanksi untuk mengisolasi dan melemahkan resim—akan meningkatkan sikap negosiasi dengan arus moderat dalam politik Iran serta memberikan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi di Iran dan sekitarnya.

Selain itu, kebijakan perdagangan internasional menunjukkan, peningkatan perdagangan dapat memiliki dampak positif pada demokratisasi, yaitu dengan menanamkan norma dan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan mempromosikan pelembagaan mereka.

Pendekatan ini tidak hanya menjamin kesejahteraan semua warga sipil; termasuk rakyat Iran, rakyat di kawasan itu dan di kawasan lain; tetapi juga akan memberi rakyatnya kesempatan untuk menuju demokrasi yang berkelanjutan secara organik, bukannya menambah ketidakstabilan di Timur Tengah.

Baca juga: Analisis: Tujuan Sebenarnya dari Sanksi AS Terhadap Iran

Masyarakat sipil Iran adalah masyarakat yang aktif dan canggih. Mereka memilih Mohammad Mosaddegh, seorang demokrat sekuler, pada 1951 dengan agendanya untuk merebut kembali sumber daya nasional.

Masyarakat sipil ini juga masyarakat yang menyatakan ketidakpuasan dengan aturan despotik dari Shah yang diberlakukan kembali melalui plot gabungan CIA-MI6 pada tahun 1953, yang akhirnya membuat rakyat memberontak dan menentang dia dan mengakhiri pemerintahannya.

Hari ini, rakyat Iran masih bergulat dengan rezim otokratis. Membuka saluran perdagangan dan investasi akan memungkinkan masyarakat sipil yang matang secara politik untuk secara bertahap mengubah sifat rezim ini. Caranya dengan memberdayakan warga sipil dan bisnis lokal, yang nantinya dapat memberikan tekanan pada pemerintah dan secara organik menuntut perubahan.

Bangsa Iran mampu membentuk lanskap politik mereka, yang harus dilakukan oleh komunitas internasional adalah menyediakan alat bagi mereka untuk meraih kesejahteraan.

 

Penerjemah: Nur Hidayati

Editor: Purnama Ayu Rizky

Keterangan foto utama: Wanita Iran berkumpul selama protes terhadap keputusan Presiden AS Donald Trump untuk keluar dari kesepakatan nuklir 2015 di Tehran pada 11 Mei 2018 (Foto: Reuters/Kantor Berita Tasnim)

Sanksi dan Ancaman AS Tak Akan Usik Rezim Iran

BERLANGGANAN

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top