Ketika virus corona menyebar ke seluruh Indonesia, kekhawatiran masyarakat Tionghoa akan diskriminasi etnis jauh lebih lebih besar, ketimbang compang-campingnya mutu kesehatan di negeri ini.
Ketika novel virus corona menyapu Indonesia, kekhawatiran tak hanya melulu soal kualitas fasilitas kesehatan, melainkan diskriminasi yang meluas di negara yang telah lama berjuang dengan sentimen anti-China itu.
“Media sosial jadi lebih menyeramkan daripada COVID-19” kata Endar, pemilik Ho Teh Tiam, toko teh tradisional Tiongkok di Medan, Sumatera Utara, dilansir dari South China Morning Post.
Endar yang merupakan etnis Tionghoa, berujar sentimen anti-China yang dia lihat di media sosial begitu membabi buta. Bahkan, di platform seperti Instagram, warganet tak segan-segan menyerukan pengusiran pekerja China di Tanah Air.
“Itulah yang benar-benar kita takuti. Kejahatan kebencian itu bisa menjamur dari media sosial. Kita harus mencoba dan menyelesaikan ini bersama. Kita harus fokus pada masalah sebenarnya: virus,” tambahnya.
Serangan bernada rasisme dan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa telah meningkat di seluruh dunia sejak ditemukannya corona baru di Kota Wuhan, China pada Desember 2019. Namun, sentimen anti-China ini berlipat-lipat kadar bahayanya, mengingat Indonesia punya sejarah panjang diskriminasi etnis China.
Jamak diketahui, orang China-Indonesia menjadi sasaran pembersihan anti-komunis yang terjadi pada 1960-an di bawah pemerintahan mantan presiden Suharto dan mengakibatkan lebih dari 500.000 kematian. Selama rezim Orde Baru Soeharto, kelas sastra dan bahasa Tionghoa dilarang, seperti juga perayaan tradisional Tiongkok dan Tahun Baru Imlek. Pengaruh China di Indonesia selalu dikaitkan dengan komunisme dan karenanya bertentangan dengan ideologi negara. Partai Komunis Indonesia (PKI) sendiri dibubarkan dan dilarang pada 1966.
Ketegangan rasial terus berkobar secara berkala, termasuk pada 1998 ketika kerusuhan rasial, yang berasal dari Kota Medan, melanda negara itu, lalu menewaskan lebih dari 1.000 orang, termasuk banyak etnis China. Kerusuhan menyebabkan jatuhnya Soeharto setelah 32 tahun berkuasa dan ambruk setelah krisis keuangan 1998. Masalahnya, sentimen anti-China tetap terawat. Bahkan, warga Indonesia menuduh etnis ini telah menimbun kekayaan dan merebut pekerjaan dari banyak orang Indonesia “asli” yang hidup dalam kemiskinan.
Pada tahun-tahun sejak itu, provokasi yang menyasar orang Tionghoa-Indonesia telah menyebar secara masif di media sosial, termasuk pada 2016 ketika sekelompok cabai dari Tiongkok diidentifikasi secara keliru sebagai “senjata biologis”.
Dengan munculnya COVID-19, ketegangan ini muncul kembali, dengan seruan di Twitter agar ada fatwa untuk melarang orang Tionghoa masuk ke Indonesia. Seruan-seruan ini sebagian adalah pengaktifan kembali sentimen anti-Cina yang telah lama berakar di Indonesia.
Di Indonesia sendiri, terhitung sejak 16 Maret 2020, MUI menyatakan, umat Islam tidak lagi harus menghadiri salat di masjid-masjid lokal di daerah-daerah dengan risiko penularan yang tinggi. Menurut MUI, salat Jumat masih wajib di tempat-tempat dengan risiko rendah penularan, meskipun Kamis malam, Gubernur Jakarta Anies Baswedan, mengatakan semua masjid dan gereja di ibu kota akan ditutup selama dua minggu.
Respons lamban
Indonesia, yang menampung lebih dari 260 juta orang, telah dikritik secara luas karena terlalu lambat dalam tanggapannya terhadap corona. Bahkan, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menghubungkan ketiadaan kasus corona di Indonesia beberapa minggu yang lalu dengan “kekuatan doa”. Tak lama setelah itu, Indonesia telah mencatat 450 infeksi dan 38 kematian. Pemerintah yakin 700.000 orang bisa terinfeksi.
Para tenaga medis di RS Slawi, tegal terpaksa mengenakan jas hujan sebagai ganti APD saat merawat pasien corona. (Foto: Radar Tegal)
Upaya untuk mendorong social distancing untuk memperlambat penyebaran virus telah mendapat tanggapan beragam, terutama di kalangan komunitas agama.
Minggu ini, sebuah pertemuan keagamaan di Sulawesi Selatan dibatalkan pada menit terakhir setelah 8.000 peziarah Muslim telah tiba di kota Gowa. Kelompok yang sama, Jamaah Tabligh, telah mengadakan acara serupa di Kuala Lumpur, Malaysia, dari 27 Februari hingga 1 Maret yang dihadiri oleh 16.000 jemaah, 500 di antaranya dinyatakan positif terkena virus di Malaysia saja. Pada 19 Maret, ratusan peziarah menghadiri penahbisan Siprianus sebagai Uskup baru Ruteng di Nusa Tenggara Timur.
Didorong jumlah kasus yang makin masif, pada Kamis, Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengatakan dia telah mengeluarkan instruksi untuk pengujian dan alat uji yang lebih cepat.
“Saya menuntut tes cepat dilakukan di seluruh negeri untuk deteksi dini infeksi,” katanya dalam sebuah pernyataan singkat di Istana Presiden.
Pengujian itu dilakukan lewat metode swab, dengan mengambil cairan hidung dan bisa dilakukan di setiap laboratorium Indonesia Biosafety Level 2. Sebab, ada kekhawatiran bahwa peningkatan dalam tes juga akan menyebabkan semakin banyak pasien yang melakukan tes positif. Sehingga, rumah sakit dan petugas kesehatan yang tak siap, makin kewalahan menanganinya.
Risiko bagi pekerja
Menurut para ahli di lapangan, Indonesia sekarang berlomba untuk menebus waktu yang hilang setelah gagal menerapkan inisiatif-inisiatif pengujian dan pengelompokkan sosial sejak dini, terutama di daerah-daerah di luar ibu kota Jakarta.
Dr Ade Rahmaini, kepala tim koordinasi COVID-19 di Rumah Sakit Adam Malik Medan, mengatakan ruang isolasi di rumah sakit sekarang penuh dan pasien sedang menunggu untuk dirujuk ke rumah sakit lain di seluruh provinsi.
“Kami memiliki 11 ruang isolasi dan dua pasien lagi sedang menunggu rujukan rumah sakit,” katanya kepada SCMP.
“Kami masih memiliki peralatan pelindung yang memadai dan telah ditawari sumbangan lebih dari LSM dan penduduk lokal,” ujarnya lagi.
Medan memiliki populasi lebih dari dua juta orang. Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi, telah berjanji 1.000 ruang isolasi akan disiapkan di seluruh Sumatera Utara dalam beberapa minggu mendatang.
Namun, Direktur Amnesty Indonesia Usman Hamid, mengatakan petugas kesehatan berisiko di banyak daerah termasuk di Tasikmalaya, Jawa Barat, terpaksa menggunakan jas hujan plastik alih-alih hazmat.
“Kemarin, Amnesty Indonesia mengeluarkan pernyataan bersama dengan asosiasi dokter, perawat, dan petugas kesehatan lainnya,” katanya.
“Kami mendesak pemerintah untuk memberi mereka peralatan perlindungan pribadi yang memadai dan berkualitas, informasi, pelatihan, dan dukungan psikososial. Tidak ada mekanisme yang efektif sejauh ini untuk menjamin dukungan bagi keluarga petugas kesehatan atau orang lain yang telah meninggal atau menjadi sakit sebagai konsekuensi dari paparan COVID-19. Ini semua membuat banyak orang dalam bahaya.”
Penerjemah dan editor: Purnama Ayu Rizky
Keterangan foto utama: Para penumpang transportasi umum di Indonesia mengenakan masker usai Indonesia positif corona. (Foto: Nikkei Asian Review)
Sentimen Anti-China Lebih Seram daripada COVID-19 di Indonesia