Seiring ketegangan meningkat, para pemimpin Iran tampaknya mempertimbangkan untuk menarik diri sepenuhnya dari kerangka nonproliferasi global.
Kampanye “tekanan maksimum” Washington terhadap Iran baru-baru ini mendorong masing-masing pihak ke dalam serangkaian tindakan dan langkah balasan yang meningkat.
Sejak Presiden ASDonald Trump menjabat, pemerintahannya berharap Iran akan menyerah dan membuat konsesi pada program nuklir, pengembangan rudal, dan kegiatan regionalnya.
Namun, tampaknya semakin besar kemungkinan Iran dapat memutuskan jalan terbaik ke depan adalah mengikuti contoh Korea Utara dan menarik diri dari Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT), yang telah lama dianggap sebagai landasan global untuk mencegah penyebaran senjata nuklir. (Tiga tahun setelah mundur pada 2003, Korea Utara menguji senjata nuklir pertamanya.)
Pandangan umum di Iran sampai baru-baru ini adalah menarik diri dari NPT akan membawa isolasi diplomatik lebih lanjut, mengarah pada peningkatan sanksi, dan menghadapi serangan militer AS terhadap fasilitas nuklir Iran.
Oleh karena itu, ini akan menjadi kontraproduktif dengan aspirasi kepemimpinan daerah Teheran yang lebih besar dan reintegrasi ke dalam komunitas internasional. Namun, peristiwa baru-baru ini telah menyebabkan Teheran mengevaluasi kembali ambisi-ambisi itu, tulis Mahsa Rouhi di Foreign Policy.
Pada tahun lalu, prospek menarik diri dari NPT telah berubah dari gagasan pinggiran di antara garis keras di Iran menjadi pilihan kebijakan nyata yang beresonansi di antara masyarakat Iran.
Iran masih menyatakan, mereka tidak mencari senjata nuklir, tetapi seperti yang diungkapkan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) pada 3 Maret, Iran hampir melipatgandakan cadangan uranium yang diperkaya rendah menjadi 1.021 kilogram (1,1 ton) sejak November 2019. Jumlah ini, jika lebih jauh diperkaya, akan cukup untuk bom nuklir, jika Iran memutuskan untuk melewati batas.
Hubungan diplomatik antara Iran dan pihak-pihak lain dalam kesepakatan nuklir Iran 2015 yang dengan cepat memburuk tidak membantu. Sejak Mei 2019 Iran telah mengurangi komitmennya, dan pada 5 Januari, Iran mengumumkan tidak akan lagi mematuhi pembatasan operasional pada cadangan uranium yang diperkaya rendah, kapasitas pengayaan, persentase pengayaan, jumlah bahan yang diperkaya, serta penelitian dan pengembangan.
Iran mulai memperkaya uranium hingga 4,5 persen, batas yang ditetapkan dalam kesepakatan nuklir tahun 2015 yang ditandatangani oleh mantan Presiden Amerika Serikat Barack Obama. (Foto: Reuters)
Sebagai tanggapan, tiga pihak yang tersisa dalam perjanjian tersebut (Prancis, Jerman, dan Inggris (dikenal sebagai E3)) memicu mekanisme penyelesaian sengketa kesepakatan. Iran mempermasalahkan hal ini, dengan alasan ia telah memicu mekanisme itu sendiri setelah Amerika Serikat menarik diri dari perjanjian itu pada 2018.
E3 dan Uni Eropa tidak setuju dan telah berusaha untuk membujuk Rusia dan China untuk berpihak pada mereka tentang masalah ini.
Langkah ini (jika semua langkah telah habis) pada akhirnya bisa merujuk ketidakpatuhan Iran kepada Dewan Keamanan PBB dan memicu berlakunya kembali sanksi-sanksi PBB dalam beberapa minggu.
Namun, selama tidak ada pihak yang menyatakan, Iran belum mengambil langkah-langkah untuk menyelesaikan perselisihan tersebut, Iran dapat tetap dibiarkan dalam waktu yang tidak terbatas di Komisi Gabungan (badan yang ditugaskan untuk mengawasi perjanjian tersebut).
Karena Iran belum mengambil langkah-langkah provokatif lebih lanjut, seperti memperkaya hingga 20 persen, pihak lain tampaknya tak akan memprovokasi Iran, lanjut Mahsa Rouhi.
Ini yang terbaik. Menteri luar negeri Iran Mohammad Javad Zarif telah menyatakan, jika sanksi Dewan Keamanan PBB diterapkan kembali, Iran dapat keluar tidak hanya dari kesepakatan nuklir tetapi juga NPT.
Bukan hanya prospek sanksi ekonomi PBB yang mengecewakan Iran, tetapi gagasan kembali jatuh di bawah ketentuan Bab VII Piagam PBB, yang memungkinkan Dewan Keamanan untuk mengambil tindakan militer dan nonmiliter untuk “memulihkan perdamaian dan keamanan internasional”.
Gagasan menarik diri dari NPT bukanlah hal baru, tetapi sekarang sedang dibahas secara luas di kalangan moderat, termasuk oleh Ketua Parlemen Iran Ali Larijani.
Pergantian dalam pemikiran strategis ini disebabkan oleh peningkatan sanksi AS, khususnya pada penjualan minyak dan apa yang Iran lihat sebagai kegagalan pihak lain untuk memberikan keringanan sanksi yang dijanjikan berdasarkan kesepakatan tersebut.
Dalam keadaan seperti ini, Iran semakin percaya mereka tidak akan mendapatkan apa-apa dari kesepakatan itu dan tidak akan rugi untuk menjadi nakal, karena negara mereka sudah diperlakukan sebagai orang buangan, Mahsa Rouhi memaparkan.
Ketegangan yang meningkat dengan Washington dan meningkatnya kemungkinan konflik menambah perasaan Iran mereka akan tetap disalahkan, apa pun yang terjadi.
Strategi Iran sejak 2003 dapat digambarkan sebagai lindung nilai nuklir: Negara ini telah mengembangkan kemampuan nuklir untuk mempertahankan opsi membangun senjata di masa depan seandainya ia memutuskan untuk melakukannya, sementara juga mengecilkan dan mengesampingkan oposisi internasional untuk membangun pengaruh negosiasi.
Namun, jumlah yang besar dari upaya Trump sejak 2018 untuk menghilangkan pendapatan minyak Iran tampaknya mengubah perhitungan untung-rugi Iran.
Ekonominya menyusut 9,5 persen tahun lalu dan diproyeksikan tetap datar di tahun mendatang. Investasi asing menurun dan ekspor minyak turun drastis. Mata uang Iran, rial, telah sangat terdepresiasi dan inflasi telah meningkat secara dramatis, meningkatkan biaya hidup masyarakat biasa di Iran.
Gejolak ekonomi, pada gilirannya, telah menciptakan situasi domestik yang tegang: Pada November 2019, protes nasional atas kenaikan tiba-tiba harga bensin memberikan tekanan baru pada pemerintah. Dampak buruk COVID-19, yang telah menghantam Iran dengan sangat keras, memperburuk kesuraman.
Seorang teknisi Iran di fasilitas konversi uranium di luar Kota Isfahan tahun 2007. Tahun 2015, Iran menyepakati untuk membatasi persediaan uranium tingkat energi. (Foto: Associated Press/Vahid Salemi)
Bagi pemerintah Iran, tekanan AS berpotensi menjadi ancaman nyata bagi kelangsungan hidupnya. Karena itu, pemerintah membutuhkan pengubah permainan. Merasa terpojokkan, Iran dapat mempertimbangkan menarik diri dari NPT sebagai satu-satunya pilihan yang tersisa untuk memastikan pertahanan diri.
Dalam arti tertentu, mereka jatuh ke logika fatalistik yang sama yang diterapkan oleh tokoh garis keras di Israel dan Amerika Serikat, yang berpendapat karena konflik dengan Iran tidak dapat dihindari di masa depan, yang terbaik adalah melemahkan musuh mereka dan menghadapi konflik apa pun sekarang daripada nanti.
Banyak elit politik merasa, mereka harus mengambil pertaruhan sekarang daripada setelah beberapa tahun dengan pendapatan minyak yang lebih terbatas.
Jika Iran memutuskan untuk menarik diri, itu bukan berarti keputusan untuk membuat senjata nuklir. Iran menganggap bergabung kembali dengan NPT akan menjadi tawar menawar yang berharga.
Selain itu, Iran dapat secara terbuka mempercepat program pengayaannya untuk tujuan membangun daya ungkit untuk negosiasi di masa depan. Namun, para pendukung penarikan menunjukkan, Iran telah menderita banyak konsekuensi internasional yang sama seperti Korea Utara (sanksi, status paria) tanpa manfaat apa pun.
Teheran sekarang menderita karena masalah yang hanya ditemui Pyongyang setelah menarik diri dari NPT. Jadi mengapa tidak membangun bom demi keamanan rezim dan prestise regional?
Bagaimanapun, Iran mematuhi perjanjian nuklir selama tiga tahun, hanya pada akhirnya akan diancam dengan putaran sanksi baru.
Beberapa suara garis keras di Teheran berpendapat, kemampuan senjata nuklir akan meningkatkan status regional Iran tidak seperti sebelumnya dan mungkin juga menjamin kelangsungan rezim, karena risiko menggulingkan pemerintah nuklir di wilayah yang sudah tidak stabil akan terlalu tinggi bagi Barat.
Singkatnya, mereka menyimpulkan, Iran yang bersenjata nuklir akan lebih unggul dalam komunitas internasional, tulis Mahsa Rouhi.
Namun, Iran sadar akan risiko mengikuti jalur Korea Utara. Terlepas dari eskalasi nuklirnya, Korea Utara belum mampu menegosiasikan keringanan sanksi nyata. Meninggalkan NPT kemungkinan akan menyatukan komunitas internasional (termasuk China dan Rusia) melawan Iran, dan dapat memprovokasi Amerika Serikat, Israel, dan setidaknya satu negara Teluk, atau kombinasi dari kekuatan-kekuatan ini, untuk melancarkan serangan militer terhadap fasilitas nuklirnya.
Serangan seperti itu (yang kemungkinan berkembang menjadi perang skala besar), akan menghancurkan kemampuan pengayaan nuklir Iran dalam waktu dekat, tetapi menjamin Iran akan terus membangun senjata nuklir di fasilitas rahasia.
Namun, jika dihadapkan dengan ancaman militer baru dari Amerika Serikat, dan jika E3 terus terbukti tidak mampu meredakan tekanan ekonomi yang meningkat dan sanksi potensial PBB, Iran kemungkinan akan mengambil langkah ini.
Pemerintah di Teheran berada di bawah tekanan internal yang sangat besar dari faksi garis keras dan dari masyarakat.
Pada musim panas 2021, presiden garis keras baru kemungkinan besar akan menjabat. Jika Iran belum mendapatkan keringanan sanksi signifikan pada saat itu, mungkin presiden baru tersebut akan berusaha mencapai untuk Iran status yang didambakan rekan satu negara—kemungkinan melalui negosiasi, dengan pertanyaan terbuka adalah apakah ini akan terjadi sebelum atau setelah Iran membangun senjata nuklir.
Dengan masa depan kesepakatan nuklir yang diragukan, sangat penting bagi Eropa, China, dan Rusia untuk mengambil tindakan tegas pada keringanan sanksi, serta reintegrasi diplomatik dan ekonomi.
Tindakan dan jaminan semacam itu akan meredakan situasi, mengurangi kemungkinan serangan militer, dan memperlambat pergeseran kebijakan Iran.
Tingkat keparahan COVID-19 di Iran memberi pihak-pihak yang tersisa dalam kesepakatan tersebut alasan kuat untuk memberikan keringanan sanksi dan bantuan di bidang kemanusiaan seperti mengirim pasokan medis.
Melakukan hal itu juga akan menunjukkan itikad baik dan memberi sinyal kepada Iran manfaat komunitas internasional. Ini juga dapat menetapkan fondasi yang lebih positif untuk diplomasi dan mendorong pengekangan pihak Iran untuk tidak melewati garis merah pada kegiatan nuklirnya.
Sangat penting, Iran bisa melanjutkan kepatuhannya terhadap Badan Energi Atom Internasional dan tetap menjadi pihak NPT, Mahsa Rouhi menyimpulkan. Itu agar pintu tetap terbuka untuk perjanjian di masa depan dan mencegah skenario perang terburuk atau Iran yang bersenjata nuklir.
Penerjemah: Aziza Fanny Larasati
Editor: Purnama Ayu Rizky
Keterangan foto utama: Fasilitas nuklir Natanz Iran tahun 2007. Sebagian karena bantuan sanksi yang diberikan berdasarkan kesepakatan, Iran telah mampu memperkuat dirinya. Fasilitas nuklirnya, terutama pusat sentrifugal di Natanz, dikelilingi oleh senjata anti-pesawat. (Foto: Associated Press/Hasan Sarbakhshian)
Akankah Iran Ikuti Korea Utara Langgar Non-Proliferasi Nuklir?