Revolusi Iran
Sejarah

Seluk-beluk Revolusi Iran: Kebangkitan Politik Islam Melawan Barat

Protes selama Revolusi Iran tahun 1978, mewakili perjuangan yang lebih luas di seluruh wilayah untuk memilih antara model pemerintahan sekuler atau pemerintahan Islam. (Foto: Wikimedia Commons)
Berita Internasional > Seluk-beluk Revolusi Iran: Kebangkitan Politik Islam Melawan Barat

Revolusi Iran adalah peristiwa dahsyat yang tidak hanya mengubah Iran sepenuhnya, tetapi juga memiliki konsekuensi luas bagi dunia. Revolusi Iran menunjukkan kebangkitan politik Islam di seluruh dunia Muslim. Kesuksesan Iran menunjukkan bahwa mendirikan negara Islam bukan hanya mimpi. Adalah mungkin untuk melawan Barat—para raja/diktator yang menjadi teman-teman Barat—dan menang.

Baca juga: 40 Tahun Revolusi Iran: Mimpi Buruk yang Belum Berakhir

Untuk memahami apa yang menyebabkan terjadinya Revolusi Iran, pertama-tama kita harus mempertimbangkan konflik yang sedang berlangsung antara para pendukung model pemerintahan sekuler versus pemerintahan Islam dalam masyarakat Muslim.

Semuanya dimulai dengan penjajahan Inggris atas India pada tahun 1858, yang mempercepat keruntuhan peradaban Islam klasik. Pada awal abad ke-20, hampir seluruh dunia Muslim dijajah oleh kekuatan Eropa.

Kekaisaran Ottoman (Turki Utsmani)—perwakilan terakhir dari peradaban Islam klasik—runtuh setelah Perang Dunia Pertama pada tahun 1918. Jadi, paruh pertama abad ke-20 terjadi perjuangan negara-negara Muslim untuk mendapatkan kembali kemerdekaan mereka, Mehmet Ozalp memaparkan dalam tulisannya di The Conversation.

Adalah elit sekuler-nasionalis—yang berpendidikan dari Barat yang pertama kali memimpin gerakan-gerakan ini—yang mendapatkan kontrol politik dan kepemimpinan negara masing-masing. Para pemimpin ini ingin meniru lompatan progresif Eropa yang terjadi setelah berkurangnya cengkeraman Kekristenan pada masyarakat dan politik. Mereka percaya bahwa masyarakat Muslim akan maju jika Islam direformasi dan pengaruhnya terhadap masyarakat berkurang melalui pemisahan agama dan negara (sekuler).

Reformasi kunci yang ditegakkan oleh Republik Turki baru yang sekuler, misalnya, adalah untuk menghapus Kekhalifahan Utsmaniyah (pemimpin agama dan politik yang dianggap sebagai penerus Nabi Muhammad) dari posisinya pada tahun 1924, yang mengirimkan gelombang kejut ke seluruh dunia Muslim.

Hal ini menyebabkan munculnya gerakan-gerakan revivalis Islam akar rumput alternatif yang dipimpin oleh para ulama, yang percaya bahwa keberadaan Islam dalam bahaya.

Gerakan-gerakan ini bersifat non-politis pada awalnya, dan memperoleh dukungan massa pada saat umat Muslim membutuhkan pelipur lara spiritual dan dukungan sosial. Pada waktunya, mereka mengembangkan visi Islam untuk masyarakat dan menjadi semakin aktif dalam lanskap sosial dan politik.

Dampak Perang Dingin

Pada akhir Perang Dunia Kedua, negara-negara Muslim sebagian besar telah lolos dari kendala penjajahan Barat, tapi kemudian menjadi korban Perang Dingin.

Iran dan Turki adalah negara kunci di mana upaya ekspansi Soviet diintensifkan. Sebagai tanggapan, Amerika Serikat (AS) memberikan kedua negara dengan dukungan ekonomi dan politik sebagai imbalan atas keanggotaan mereka di blok Barat yang demokratis. Turki dan Iran menerima dukungan ini dan menjadi demokratis pada tahun 1950 dan 1951.

Sesaat setelah itu, National Front besutan Mohammad Mossadegh menjadi pemerintah Iran pertama yang terpilih secara demokratis pada tahun 1951. Mossadegh adalah pemimpin modern, cenderung sekuler dan progresif, yang mampu mendapatkan dukungan luas baik dari elit sekuler maupun ulama Iran.

Presiden AS Harry S Truman (kiri) dan Perdana Menteri Iran Mohammad Mossadegh, 1951. (Foto: Nara.gov/Wikimedia Commons)

Naiknya dia ke tampuk kekuasaan terbantu oleh makin meningkatnya ketidaksukaan terhadap Shah (raja) Reza Pahlavi, yang berkuasa secara monarki, dan kemarahan Iran atas eksploitasi ladang minyak mereka.

Walau ladang minyak Persia digunakan oleh Inggris dan Rusia untuk menyelamatkan diri dari serangan Nazi selama Perang Dunia Kedua dan sangat membantu meningkatkan ekonomi Inggris, namun Iran hanya menerima 20 persen dari keuntungannya.

Mossadegh mengambil langkah berani untuk mengatasi masalah ini, dengan menasionalisasi Anglo-Iranian Oil Company (AIOC) yang sebelumnya dimiliki Inggris. Upaya tersebut tidak berhasil menguntungkannya, karena memicu sanksi ekonomi dari Inggris dan AS. Sanks-sanksi tersebut pada gilirannya melumpuhkan ekonomi Iran.

Pada tahun 1953, ia digantikan dalam kudeta militer yang diselenggarakan oleh CIA dan Intelijen Inggris. Shah kembali ke tampuk kekuasaan dan Perusahaan Minyak Anglo-Iran menjadi BP, British Petroleum, dengan pembagian keuntungan 50-50.

Tidak hanya intervensi ini merendahkan Iran dengan rasa penghinaan yang pahit, pengkhianatan, dan kelumpuhan, dampaknya juga bergema di negara-negara Muslim yang lebih luas.

Baca juga: Arab Saudi dan Bahrain Tambahkan Garda Revolusi Iran ke Daftar Teroris

Hal itu mengirim pesan bahwa pemerintah yang terpilih secara demokratis akan digulingkan jika tidak sesuai dengan kepentingan Barat. Narasi ini terus menjadi wacana dominan para aktivis Islam hingga hari ini, yang digunakan dalam menjelaskan peristiwa-peristiwa dunia yang mempengaruhi massa Muslim.

Melihat lebih dekat pada perkembangan di Iran antara tahun 1953 dan 1977, Shah sangat bergantung pada AS dalam upayanya memodernisasi tentara, masyarakat Iran, dan membangun ekonomi melalui apa yang ia sebut Revolusi Putih.

Meskipun program ekonominya membawa kemakmuran dan industrialisasi ke Iran dan inisiatif pendidikan meningkatkan tingkat melek huruf, namun semua ini harus dibayar mahal. Kekayaan tidak terdistribusi secara merata, ada perkembangan kelas bawah petani yang bermigrasi ke pusat-pusat kota, dan penindasan politik berskala besar.

Para cendekiawan agama yang kecewa merasa khawatir atas pengadopsian gaya hidup Barat dari atas-ke-bawah, karena meyakini Islam telah sepenuhnya dihapus dari masyarakat, imbuh Mehmet Ozalp.

Revolusi Iran—Apa yang Terjadi?

Para pembangkang di Iran akhirnya menanggapi penindasan politik Shah dengan kekerasan. Dua kelompok militan, Marxis Fadaiyan-e Khalq dan Mujahidin-e Khalq yang berhaluan Islam sayap kiri, mulai melakukan serangan terhadap para pejabat pemerintah pada tahun 1960-an.

Oposisi yang lebih berkelanjutan dan tidak menentang langsung berasal dari kalangan pemuka agama yang dipimpin oleh Ayatollah Khomeini dan kalangan intelektual yang dipimpin oleh Ali Shari’ati.

Shari’ati—seorang intelektual berpendidikan Prancis—terinspirasi oleh revolusi Aljazair dan Kuba. Dia menyerukan perjuangan aktif untuk keadilan sosial dan bersikeras pada keunggulan warisan budaya Islam alih-alih model Barat untuk masyarakat. Dia mengkritik para ulama Syi’ah karena terjebak dalam doktrin diamisme politik mereka yang telah berusia berabad-abad—yang dipandang sebagai penghalang signifikan terhadap semangat revolusioner.

Rintangan itu dihancurkan oleh Ayatollah Khomeini, yang menjadi terkenal karena perannya yang blak-blakan dalam protes tahun 1963, dan sebagai hasilnya, dia diasingkan. Khotbah-khotbahnya yang direkam yang secara terbuka mengkritik Shah, diedarkan secara luas di Iran.

Para demonstran memegang foto Khomeini selama Revolusi Iran, 1978. (Foto: Wikimedia Commons)

Dipengaruhi oleh gagasan baru tentang negara Islam—di mana Islam dapat diimplementasikan sepenuhnya, sehingga mengakhiri imperialisme Barat kolonial—Khomeini berpendapat bahwa itu adalah kewajiban umat Islam untuk mendirikan pemerintahan Islam berdasarkan Alquran dan contoh dari Nabi Muhammad, menurut laporan The Conversation.

Dalam bukunya Wilayat-i Faqih: Hukumat-i Islami (Islamic Government: Guardianship of the Jurist), Khomeini menegaskan bahwa dengan tidak adanya Imam yang sebenarnya (satu-satunya pemimpin yang sah dari garis keturunan Nabi Muhammad dalam teologi Syiah), para ulama adalah wakil mereka yang ditugasi untuk memenuhi kewajiban berdasarkan pengetahuan mereka tentang kitab suci Islam. Gagasan ini adalah inovasi penting yang memberi peluang kepada para ulama untuk terlibat dalam politik.

Dengan kondisi yang matang, protes berkelanjutan yang dikompori oleh pengikut Khomeini makin meluas, mencakup semua kota besar. Protes besar ini memuncak dalam revolusi pada 1 Februari 1979, ketika Khomeini dengan penuh kemenangan kembali ke Iran.

Khomeini kembali ke Iran pada tahun 1979. (Foto: Wikimedia Commons)

Dampak Revolusi Iran

Revolusi Iran adalah peristiwa dahsyat yang tidak hanya mengubah Iran sepenuhnya, tetapi juga memiliki konsekuensi luas bagi dunia.

Ini menyebabkan perubahan besar dalam Perang Dingin dan geopolitik global. AS tidak hanya kehilangan sekutu strategis kunci terhadap ancaman komunis, tetapi juga mendapatkan musuh baru, tutur Mehmet Ozalp.

Didorong oleh perkembangan di Iran, Uni Soviet menyerbu Afghanistan pada tahun 1979. Ini diikuti oleh meletusnya perang Iran-Irak tahun 1980, yang dirancang untuk menjatuhkan rezim teokratis Iran yang baru.

AS mendukung Saddam Hussein dengan senjata dan pelatihan, dan membantunya meraih kekuasaannya di Irak.

Pengaruh Revolusi Iran di Zaman Sekarang

Dua konflik ini dan serangkaian peristiwa yang terjadi sesudahnya—invasi Saddam Hussein ke Kuwait pada tahun 1991, dua Perang Teluk, kemunculan Al-Qaeda, dan serangan teroris 11 September di World Trade Center, dan perang berikutnya terhadap teroris—membentuk geopolitik selama tiga dekade terakhir, dan terus membentuk geopolitik hingga saat ini.

World Trade Center diserang, pada 11 September 2001. (Foto: Shutterstock/Ken Tannenbaum)

Revolusi Iran juga secara dramatis mengubah politik Timur Tengah. Ini memicu perang dingin sektarian regional antara Iran dan Arab Saudi. Revolusi tersebut menantang monarki Arab Saudi dan klaimnya untuk kepemimpinan dunia Muslim.

Perang dingin agama dan ideologis antara Iran dan Arab Saudi berlanjut hingga hari ini, dengan keterlibatan mereka dalam konflik Suriah dan Yaman.

Dampak lain dari Revolusi Iran adalah kebangkitan Islam politik di seluruh dunia Muslim. Kesuksesan Iran menunjukkan bahwa mendirikan negara Islam bukan hanya mimpi. Adalah mungkin untuk melawan Barat—para raja/diktator yang menjadi teman-teman Barat—dan menang.

Sepanjang tahun 1980-an dan 1990-an, partai-partai politik Islam muncul di hampir semua negara Muslim, yang bertujuan untuk mengislamkan masyarakat melalui instrumen negara, dinukil dari The Conversation.

Mereka menyatakan bahwa model sekuler telah gagal memberikan kemajuan dan kemerdekaan penuh, dan model Islam adalah satu-satunya alternatif. Bagi mereka, revolusi Iran adalah bukti bahwa itu bisa menjadi kenyataan.

Apakah Revolusi Iran Berhasil?

Dari perspektif ketahanan, revolusi tersebut masih bertahan. Revolusi itu telah berhasil bertahan empat dekade, termasuk melalui perang Iran-Irak selama delapan tahun, dan juga melalui sanksi ekonomi selama beberapa dekade.

Sebagai pembanding, upaya Taliban untuk mendirikan negara Islam hanya bertahan selama lima tahun.

Di sisi lain, Khomeini dan para pendukungnya berjanji untuk mengakhiri kesenjangan antara si kaya dan si miskin, dan memberikan kemajuan ekonomi dan sosial. Saat ini, ekonomi Iran dalam kondisi yang buruk, meskipun ada pendapatan dari minyak yang menahan ekonomi dari jurang kehancuran.

Orang-orang tidak puas dengan tingkat pengangguran yang tinggi dan hiper-inflasi. Mereka hanya memiliki sedikit harapan bagi nasib ekonomi untuk berubah.

Premis terpenting dari Islamisme—membuat masyarakat lebih religius melalui kekuatan politik—juga gagal memberikan hasil yang diinginkan. Meskipun 63 persen orang Iran lahir setelah revolusi, namun mereka tidak lebih religius daripada sebelum revolusi.

Meskipun masih ada dukungan signifikan untuk rezim saat ini, namun sebagian besar warga Iran menginginkan lebih banyak kebebasan, dan meremehkan aturan agama yang dipaksakan dari atas. Ada protes yang tumbuh yang menuntut reformasi ekonomi, sosial, dan politik, serta mengakhiri Republik Islam, dilansir dari The Conversation.

Baca juga: Garda Revolusi Iran Luncurkan Rudal ke Suriah atas Serangan Parade Militer

Kebanyakan masyarakat Iran menyalahkan kegagalan revolusi tersebut akibat sanksi AS yang tidak pernah berakhir. Meskipun Iran berdagang dengan Eropa, China, dan Rusia, namun mereka percaya bahwa Barat tidak ingin Iran berhasil dengan segala cara.

Pada akhirnya, geopolitik dunia adalah bisnis kompetitif yang digerakkan oleh kepentingan nasional, Mehmet Ozalp menyimpulkan. Tantangan di hadapan masyarakat Muslim adalah untuk mengembangkan model-model yang menyelaraskan Islam dan dunia modern dengan cara yang menarik dan memberikan kontribusi bagi kemanusiaan, alih-alih dipandang sebagai ancaman.

Kondisi sosial dan politik yang keras dan kekuatan waktu memiliki kemampuan luar biasa untuk menguji dan melancarkan ideologi. Walau perjuangan antara model sekuler dan model Islam untuk masyarakat terus berlanjut di Iran dan dunia Muslim yang lebih besar, namun ada kemungkinan bahwa Iran akan berkembang sebagai masyarakat moderat di abad ke-21.

Penerjemah dan editor: Aziza Fanny Larasati

Keterangan foto utama: Protes selama Revolusi Iran tahun 1978, mewakili perjuangan yang lebih luas di seluruh wilayah untuk memilih antara model pemerintahan sekuler atau pemerintahan Islam. (Foto: Wikimedia Commons)

Seluk-beluk Revolusi Iran: Kebangkitan Politik Islam Melawan Barat

BERLANGGANAN

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top