Presiden Iran Hassan Rouhani melakukan kunjungan resmi ke Irak untuk pertama kalinya minggu ini. Kunjungan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kerja sama antara dua negara tetangga yang sama-sama dipimpin oleh pemerintahan Syiah ini. Kunjungan Rouhani juga untuk memperkuat pengaruh Iran atas Irak, terutama setelah kunjungan Presiden Donald Trump ke Irak bulan Desember lalu.
Presiden Iran melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya ke Irak minggu ini. Perjalanan itu dilakukan seiring Hassan Rouhani menghadapi tekanan yang terus meningkat di Iran sehubungan penarikan administrasi Trump dari perjanjian nuklir yang kini kocar-kacir.
Perjalanan Hassan Rouhani—disebut sebagai “bersejarah dan mulia” oleh menteri luar negerinya—dimaksudkan untuk memperkuat ikat antara kekuatan Syiah pemerintahan Iran-Irak yang dipimpin oleh Syiah. Irak ini telah menjadi sekutu kuat Iran.
Hal itu juga adalah tanggapan Iran atas kunjungan dadakan Donald Trump pada bulan Desember ke Irak. Dalam kunjungannya itu, Trump mengatakan pasukan AS harus tetap berada di Irak untuk mengawasi Iran. Irak dan Iran berbagi perbatasan sepanjang 1.400 kilometer.
Di bulan Desember itu, Trump diam-diam mendatangi Irak pada malam hari, tanpa berhenti di Baghdad, untuk menyapa para tentara Amerika Serikat di pangkalan yang terletak tidak jauh dari ibu kota Ira. Di sana ia memuji pasukan AS atas perjuangan mereka melawan ISIS.
Rouhani kemudian mengejek kunjungan Trump, menyatakan bahwa terbang ke Irak dalam selubung gelapnya malam berarti “kekalahan” untuk AS. Rouhani bertanya kepada Presiden AS itu kenapa ia tidak melakukan “kunjungan resmi dan terbuka.”
“Anda harus berjalan di jalan-jalan Baghdad … untuk mencari tahu bagaimana warga akan menyambut Anda,” ujar Rouhani saat itu.
Kunjungan Rouhani ke Irak akan memberikan suatu kesempatan untuk mencapai “pemahaman seriu” antara kedua negara tetangga tersebut, ujar Menlu Iran Mohammad Javad Zarif kepada kantor berita resmi Iran, IRNA, dari Baghdad. Zarif berada di ibu kota Irak itu untuk menyiapkan kunjungan tiga hari Rouhani yang akan dimulai pada hari Senin.
Seelah bertemu dengan Zarif, Menteri Luar Negeri Irak Mohammad Ali al-Hakim mengatakan dalam konferensi pers bahwa delegasi Irak dan Irak merundingkan serangkaian MoU yang akan ditandatangani pada hari Senin di bidang minyak dan gas, transportasi darat, rel kereta api, pertanian, industri, kesehatan dan bank sentral.
“Kami harap kesepakatan ini akan menghasilkan rekonstruksi Irak.”
Al-Hakim juga mengatakan, kedua negara mendiskusikan konflik Suriah dan akses Suriah ke Liga Arab, tanpa memberi penjelasan lebih lanjut.
Rouhani, yang telah melakukan kunjungan pribadi ke Irak sebelum menjabat presiden, telah merencanakan kunjungan resmi pada tahun 2016 tapi kemudian dibatalkan untuk alasan “eksekutif” yang tidak dijelaskan.
Kali ini Rouhani, yang tengah menjalani masa jabatan keduanya, secara khusus tengah berada di posisi yang rentan karena krisis ekonomi yang terus menyerang mata uang Iran. Hal itu telah menyakiti warga Iran dan menajamkan kritik untuk secara terbuka menyerukan pengunduran diri presiden itu.
Tehran memandang kehadiran pasukan AS di Irak sebagai ancaman—satu hal yang juga bisa mengecilkan pengaruh Iran di Baghdad.
Zarif menyiratkan hal tersebut pada hari Minggu (10/3), mengaakan bahwa negara manapun yang mencoba mengintervensi hubungan baik Iran-Irak akan “sendirinya akan kehilangan kesempatan itu.”
Iran juga mengangap Irak sebagai jalan pintas menembus sanksi AS yang kembali diberlakukan Trump tahun lalu setelah menarik AS keluar dari perjanjian nuklir tahun 2015 yang melibatkan Iran dan kekuatan-kekuatan terbesar dunia.
Tahun lalu, ekspor Iran ke Irak mencapai angka $9 miliar. Tehran berharap bisa meningkatkan angka itu menjadi $13 miliar, dan angka perdagangan kedua negara mencapai angka $20 miliar. Kunjungan turis-turis religius juga mendatangkan hampir $5 miliar dalam satu tahun, seiring turis dari kedua negara saling mengunjungi situs-situs suci Siah di kedua negara.
Di bawah mantan diktator Saddam Hussein, Irak mengobarkan perang delapan tahun melawan Iran di tahun 1980-an. Konflik itu menewaskan sampai satu juta orang dari kedua pihak.
Keterangan foto utama: Presiden Iran Hassan Rouhani (kanan) dengan Menteri Luar Negeri Mohammad Javad Zarif (kiri). (Foto: AP/Vahid Salemi)