Virus Corona
Berita Politik Indonesia Hari Ini

Virus Corona: Indonesia Kesusahan, Mimpi Buruk bagi Kawasan

Personel Masyarakat Palang Merah Indonesia mengenakan pakaian pelindung selama operasi menyemprotkan cairan disinfektan di Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta Utara. Wisma atlet selama perhelatan Asian Games 2018 itu akan dialihfungsikan sebagai rumah sakit darurat untuk merawat pasien penyakit COVID-19. (Foto: The Jakarta Post/Seto Wardhana)
Berita Internasional > Virus Corona: Indonesia Kesusahan, Mimpi Buruk bagi Kawasan

Virus corona semakin merebak di Indonesia, dengan Jakarta sebagai episentrumnya. Indonesia yang sedang dilanda kesusahan seperti saat ini, akan menjadi mimpi buruk bagi negara-negara tetangga dan kawasan.

Pembuat peti mati di Jakarta telah melakukan shift ganda minggu ini. Pemakaman di kota dengan 10 juta orang itu naik 40 persen, dan beberapa dokter sudah harus membuat keputusan tentang pasien mana yang mendapatkan ventilator.

Namun Indonesia mengakhiri minggu ini dengan hanya 3.512 pasien COVID-19 yang dikonfirmasi dan jumlah kematian resmi 306 orang, sebagian kecil dari krisis kesehatan yang dihadapi Eropa dan AS sekarang.

Dengan salah satu tingkat tes COVID-19 terendah di dunia (hanya 73 per satu juta orang) dan pemerintah yang hingga kasus pertama yang terdeteksi pada 2 Maret masih berusaha memasarkan negaranya sebagai tujuan wisata bebas virus, tidak mengherankan tingkat infeksi di Indonesia sangat rendah, tulis Amanda Hodge di The Australian.

Baca juga: Idulfitri, Mudik, dan Lemahnya Perjuangan Indonesia Lawan COVID-19

Angka kematian COVID-19 di Indonesia berkisar sekitar 9 persen, sebuah tanda bahwa tingkat infeksi jauh lebih tinggi daripada angka resmi. Beberapa laboratorium yang mampu memproses uji coba COVID-19 melaporkan tumpukan ribuan antrean.

Pemodelan terbaru dari para peneliti Universitas Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia sekarang dapat memiliki satu juta pasien yang terinfeksi, dan bahwa lebih dari 120.000 orang akan meninggal pada akhir Mei jika pemerintah tidak memberlakukan lockdown dan swab massal secara nasional.

Ahli epidemiologi Universitas Indonesia Pandu Riono mengatakan, negara ini hanya memiliki 8.158 ventilator untuk populasi hampir 270 juta orang.

“Sudah beberapa dokter di Jakarta yang saya tahu harus memilih siapa yang diintubasi,” ucap Pandu kepada Inquirer. “Kami membutuhkan langkah-langkah yang jauh lebih agresif karena rumah sakit di Indonesia sangat terbatas.”

Negara-negara tetangga Indonesia telah menyaksikan dengan kekhawatiran yang meningkat, seiring pemerintah Indonesia secara konsisten memprioritaskan ekonomi di atas kesehatan masyarakat, dan gagal dalam persiapan menghadapi pandemi yang telah membuat sistem kesehatan yang jauh lebih kuat kewalahan.

Pemerintah daerah setempat mengerahkan Tim Crisis Center COVID-19 Kota Tasikmalaya menggunakan APD berupa jas hujan plastik menyemprotkan cairan disinfektan di berbagai tempat seperti Masjid Agung Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Rabu, 18 Maret 2020. (Foto: Antara Foto/Adeng Bustomi)

Sekarang Australia telah membuat keputusan luar biasa untuk menarik utusan utamanya, Gary Quinlan, dari misi luar negeri terbesarnya akhir pekan ini karena takut bahwa, dalam krisis saat ini, sistem kesehatan Indonesia tidak dapat memberikan bantuan yang menyelamatkan jiwa jika diperlukan.

Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia telah menekankan, diplomat karier berusia 69 tahun itu (yang memiliki kondisi kesehatan yang mendasarinya) akan melanjutkan perannya dari jarak jauh dari Canberra, dan bahwa Kedutaan Besar Australia untuk Indonesia akan terus berfungsi di bawah wakilnya, Allaster Cox, The Australian melaporkan.

Namun, langkah ini menggarisbawahi kekhawatiran mendalam atas kemampuan Indonesia untuk mengatasi krisis kesehatan masyarakat. Satu warga negara Australia diyakini telah meninggal di rumah sakit Jakarta akibat COVID-19. Yang lain beruntung selamat setelah tertular virus dan memasukkan dirinya ke salah satu rumah sakit swasta terbaik di Jakarta, hanya untuk menyaksikan dokter dan perawat unit perawatan intensif tanpa pakaian pelindung, dan pasien yang belum teruji sekarat karena gagal pernapasan.

Indonesia hanya memiliki dua tempat tidur ICU untuk setiap 100.000 orang dan empat dokter untuk setiap 10.000 orang. Para dokter itu meninggal pada tingkat yang mengkhawatirkan akibat COVID-19: setidaknya 26 dokter dan sembilan perawat sejauh ini karena kurangnya pakaian pelindung.

Peringatan Kedubes Australia bagi para ekspatriat untuk keluar dari Indonesia telah mengambil nada yang semakin mendesak.

“Pikirkan tentang kesehatan Anda dan keluarga Anda. Perawatan medis kritis di Indonesia jauh di bawah standar Australia,” desak Quinlan dalam pesannya baru-baru ini, dikutip The Australian.

“Pemerintah Australia tidak dapat menjamin Anda akses mendapatkan layanan medis atau jalan keluar yang aman jika situasi di Indonesia semakin buruk. Kembalilah ke Australia selagi masih bisa.”

Hanya sedikit yang meragukan potensi bencana kemanusiaan di Indonesia, tetapi ada kekhawatiran bahwa krisis kesehatan COVID-19 juga dapat menyebabkan krisis ekonomi dan keamanan.

“Indonesia berada pada posisi terburuk untuk membendung virus corona,” analis yang berbasis di London TS Lombard memperingatkan bulan ini, setelah membandingkan kesiapan ekonomi terbesar di Asia Tenggara ini dengan Thailand dan Filipina.

“Kombinasi langkah-langkah physical distancing yang kurang ketat dan layanan kesehatan yang lemah membuat Indonesia adalah yang paling kecil kemungkinannya dari tiga negara tersebut untuk menghentikan penyebaran virus corona dalam waktu dekat.”

“Ini berpotensi menjadi situasi yang jauh lebih berbahaya daripada hanya COVID-19, dan saya pikir itu juga dipikirkan oleh pemerintah Australia,” ucap Presiden Indonesia Institute Ross Taylor kepada The Australian.

“Selain berpotensi kehilangan ratusan ribu orang, ada juga kemungkinan ketidakstabilan sosial karena pengangguran massal dan orang-orang yang jatuh kembali ke dalam kemiskinan. Jika kami berakhir dengan malapetaka mutlak di depan pintu kami di Indonesia, apa kebijakan Australia tentang itu? Apakah kami akan membantu seperti yang kami lakukan setelah tsunami dan pemboman Bali, atau apakah kami mengatakan ‘maaf, kalian sendirian’?”

Inquirer mengetahui bahwa ada peningkatan keterlibatan menteri antara kedua pemerintah dalam beberapa pekan terakhir, seiring Australia mengkalibrasi ulang program pembangunan yang ada untuk membantu pemerintah Indonesia mempersiapkan diri menghadapi krisis.

Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo melihat peralatan medis di ruang IGD saat meninjau Rumah Sakit Darurat Penanganan COVID-19 di Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta, Senin, 23 Maret 2020. Dalam kunjungannya, Presiden Jokowi memastikan rumah sakit darurat itu siap digunakan untuk menangani 3.000 pasien positif corona. (Foto: Antara/Hafidz Mubarak/Pool)

Indonesia yang tidak stabil jelas merupakan bencana bagi Australia, lanjut Amanda Hodge. Jika krisis kesehatannya meluas menjadi krisis finansial (seperti yang diprediksi Bank Dunia baru-baru ini) tahun-tahun kerja membangun kemitraan efektif melawan terorisme, penyelundupan manusia, kejahatan lintas negara, dan dunia maya bisa berisiko.

“Di Asia, Indonesia adalah garis depan pertahanan terhadap penularan keuangan,” sekelompok akademisi Universitas Nasional Australia memperingatkan dalam blog Forum Asia Timur minggu ini.

“Krisis akan menyebar ke seluruh wilayah kami kecuali jika tindakan diambil untuk memantapkan sistem keuangan terhadap kenaikan arus keluar modal. Negara-negara Asia Tenggara membutuhkan kredit dan dukungan untuk mencegah krisis yang dalam dan berlangsung lama yang akan bergema di seluruh wilayah.”

Australia memberikan US$1 miliar kredit siaga kepada Indonesia pada 1997 selama krisis keuangan Asia, sekali lagi setelah tsunami Boxing Day 2004. Australia menawarkan US$650 juta selama krisis keuangan global 2008.

Namun dalam lima tahun terakhir, Australia telah memangkas bantuan ke Indonesia hingga setengah (dari US$610 juta per tahun menjadi US$298 juta pada 2019-2020) untuk membantu membayar kebijakan “peningkatan langkah Pasifik”.

Baca juga: Bagaimana COVID-19 Picu Rangkaian Krisis di Asia Tenggara

Pakar hukum Indonesia dari Universitas Melbourne, Tim Lindsey, mengatakan krisis virus corona harus “mengingatkan Australia mengapa Indonesia begitu penting”.

“Setelah ini selesai, Australia perlu melihat dengan sangat serius program bantuan yang tidak ada dan menjadikan kesehatan dan sistem pemerintahan Indonesia sebagai prioritas.”

Mantan Duta Besar Australia untuk Indonesia John McCarthy mengatakan, pemerintah Australia mungkin harus mempertimbangkan bantuan tambahan “tidak hanya karena alasan kemanusiaan tetapi juga karena alasan keamanan”.

“Ini adalah pertanyaan pemerintah yang menunjukkan kepemimpinan dan menjelaskan mengapa, bahkan pada saat kesulitan yang sangat besar di Australia, kami memiliki tanggung jawab tertentu untuk kawasan ini. Akan ada kebutuhan nyata untuk mencoba meningkatkan perekonomian Indonesia lagi dan kita harus memikirkan argumen stabilitas,” ungkapnya kepada Inquirer.

“Ada elemen nasionalis dan Islamis yang sangat kuat di Indonesia, dan jika pemerintah dipandang lemah dan negara lumpuh secara ekonomi, kekuatan-kekuatan semacam itu akan berada dalam posisi untuk mengambil keuntungan dari ketidakstabilan itu.”

Pinjaman Australia tahun 1997 tidak dapat mencegah runtuhnya rezim Suharto pada tahun berikutnya, ketika pasukan oposisi memanfaatkan krisis ekonomi untuk memicu kerusuhan mematikan di Jakarta yang menargetkan komunitas etnis minoritas Tionghoa di Indonesia.

Sekarang, lagi-lagi, ada tanda-tanda meningkatnya sentimen anti-China seiring jutaan orang miskin Indonesia kehilangan pekerjaan dan berjuang untuk mengisi perut, Amanda Hodge memaparkan.

“Salah satu temanya adalah bahwa orang Tionghoa Indonesia yang kaya telah melarikan diri ke Singapura untuk menghindari epidemi,” catat Institut Analisis Kebijakan Konflik (IPAC) yang berbasis di Jakarta, mengutip tulisan online yang menyebut orang Indonesia Tionghoa “pecundang dan pengkhianat yang menjijikkan”.

Sidney Jones dari IPAC mengatakan, potensi wabah kerusuhan lokal sangat tinggi, khususnya di sekitar bulan puasa Ramadan (mulai 23 April) dan Hari Raya Idulfitri.

“Hal yang harus dikhawatirkan pemerintah adalah kerusuhan pangan atau frustrasi massal karena ketidakmampuan untuk membeli barang, dan itulah sebabnya mereka berhati-hati untuk terus mengumumkan bahwa orang akan mendapatkan paket dan uang tunai,” imbuhnya kepada Inquirer.

Presiden Joko Widodo telah mengumumkan tiga paket bantuan sosial senilai US$40 miliar dan sedang mencari pinjaman dan memperluas jalur kredit dari lembaga-lembaga termasuk Federal Reserve New York dan Dana Moneter Internasional (IMF).

Pemerintah baru-baru ini membuka rumah sakit spesialis COVID-19 di wisma atlet Asian Games Jakarta, yang lain di bekas kamp pengungsi Vietnam di Pulau Galang, dan baru minggu ini mulai mendistribusikan tes swab PCR (polymerase chain reaction) setelah sebelumnya mengandalkan ketergantungan pada antibodi rapid test yang tidak dirancang untuk mendiagnosis infeksi saat ini.

Pada Jumat (10/4), pemerintah Jakarta akhirnya diberi wewenang untuk memberlakukan tindakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar).

Namun Jokowi menentang lockdown nasional menjelang mudik massal lebih dari 20 juta orang untuk Idulfitri, khawatir hal itu dapat memicu kekacauan yang serupa dengan yang terjadi di India, di mana lockdown telah menyebabkan penderitaan massal bagi jutaan orang yang hidup kesusahan.

Sebaliknya ia telah menawarkan insentif keuangan bagi mereka yang tetap di rumah, dan memperingatkan mereka yang pulang harus menghabiskan waktu dua minggu di karantina.

Kebijakan ini menyebabkan kebingungan dan kegelisahan massal, dan banyak masyarakat mengambil tindakan sendiri. Beberapa telah mendirikan penghalang plastik di pintu masuk ke desa mereka. Yang lain mencegah jenazah virus corona dimakamkan di pemakaman mereka.

Di rumah sakit-rumah sakit di Indonesia yang penuh sesak, para dokter dan perawat yang sudah kelelahan bersiap untuk meluasnya wabah ke sudut-sudut terpencil di kepulauan ini, di mana hanya ada sedikit kapasitas untuk menangani virus.

“Saya sangat khawatir tentang mudik. Kami sudah melewatkan banyak, banyak kasus (karena) fasilitas kami tidak dapat mendiagnosisnya,” ujar seorang dokter rumah sakit umum Jakarta, Andi Khomeini Takdir, kepada Inquirer.

“Ada pasien yang berjalan ke klinik yang bahkan tidak memiliki mesin sinar-X, dan mereka tercatat menderita batuk dan pilek.”

“Jika ada yang jatuh sakit di Jakarta, setidaknya rumah sakit lebih siap untuk merawatnya. Saya tidak bisa membayangkan skenario di desa-desa di mana satu-satunya fasilitas adalah puskesmas.”

 

Penerjemah dan editor: Aziza Fanny Larasati

Keterangan foto utama: Personel Masyarakat Palang Merah Indonesia mengenakan pakaian pelindung selama operasi menyemprotkan cairan disinfektan di Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta Utara. Wisma atlet selama perhelatan Asian Games 2018 itu akan dialihfungsikan sebagai rumah sakit darurat untuk merawat pasien penyakit COVID-19. (Foto: The Jakarta Post/Seto Wardhana)

Virus Corona: Indonesia Kesusahan, Mimpi Buruk bagi Kawasan

BERLANGGANAN

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top