Kendati digadang-gadang menjadi salah satu calon presiden (capres) di Pilpres 2024 mendatang, ada beberapa ganjalan yang membuat Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini harus menahan diri.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI-P Hasto Kristiyanto menerangkan pada Alinea, terlampau jauh jika Risma dikaitkan dengan Pilgub DKI ataupun Pilpres.
“Masih panjang pilkada. Kalau DKI kan kita telah komit akan diselenggarakan 2024. Jadi masih lama,” tutur Hasto di kantor DPP PDI-P, Diponogoro, Jakarta Pusat.
Meski demikian, ia memang tak menampik adanya kemungkinan itu. Pasalnya, menurut Hasto, Risma punya rekam jejak baik saat memimpin Surabaya. Namun, ia sendiri mengakui, PDIP masih akan memetakan kembali dari hasil survei-survei atas kualifikasi para kader.
Sebagai informasi, Risma adalah Ketua Bidang Kebudayaan DPP PDI-Perjuangan (PDI-P) yang sempat disebut beberapa kali soal jatah kursi menteri dari partai besutan Megawati ini. Menurut pandangan sejumlah ahli, masuknya nama Risma di jajaran petinggi DPP PDI-P digadang-gadang sebagai salah satu strategi PDI-P untuk menyiapkan dia bertarung di kontestasi elektoral Pilpres 2024.
Namun, saat dikonfirmasi ke Risma, ia menegaskan masih ingin fokus menyelesaikan amanahnya sebagai Wali Kota Surabaya. “Aku kan masih belum selesai jadi wali kota. Jadi, aku mau selesaikan dulu,” kata Risma.
Ia mengaku tidak pernah berpikir tentang peluang jabatan. Pasalnya, setiap jabatan selalu mengandung risiko yang menurutnya sangat berat. Seorang pemegang jabatan harus mampu berlaku adil dan amanah.
“Ya saya terus terang enggak pernah berpikir peluang untuk jabatan karena bagi saya itu saya pantang meminta jabatan karena di jabatan itu selalu terkandung risiko di mana saya harus adil, amanah, di mana saya harus kalau di agama fatonah dan sebagainya. Jadi itu berat karena itu saya enggak pernah membayangkan,” terangnya kepada Okezone.
Pengamat politik Ujang Komarudin berkomentar, “Risma memang sedang dipromosikan atau digadang-gadang oleh partainya untuk diangkat jadi capres. Bahkan konon sudah menyewa konsultan untuk pencitraan.”
Namun, imbuhnya, “Risma sepertinya akan sulit diangkat popularitas dan elektabilitasnya. Sebentar lagi dia beres jadi wali kota dan tak punya jabatan di pemerintahan. Jika itu terjadi, sulit untuk bisa tetap mengontrol popularitas dan elektabilitasnya.”
Selain itu, lanjutnya, ada sejumlah hal yang kemungkinan bakal digunakan lawan politik untuk memreteli peluang elektoral Risma. Salah satunya berkaitan dengan masalah hukum, yang notabene masih jadi isu yang kerap ditarik ke ranah politik jika ingin menghancurkan kredibilitas seseorang.
“Kalau tidak salah, Risma pernah berurusan dengan hukum. Saya kira ini bisa saja dipolitisasi nantinya,” kata dosen di Universitas Al Azhar Indonesia itu kepada JPNN.
Ganjalan lain juga diungkapkan pengamat politik Wasisto Raharjo Jati. Menurutnya, Tri Rismaharini cocok jadi Presiden Indonesia dengan syarat harus jadi gubernur dulu.
“Saya pikir Risma sendiri perlu jadi gubernur dulu sebelum jadi presiden. Bisa Gubernur Jakarta atau Jawa Timur. Seperti yang telah ditradisikan oleh Jokowi. Bagi siapa pun tokoh daerah yang ingin berkuasa di tampuk kekuasaan nasional, harus melewati jenjang kekuasaan dari level bupati atau kota, provinsi, dan negara,” urainya kepada Beritagar.
Kalau pemilihan presiden diadakan hari ini, ungkap Wasisto, bisa jadi Risma yang terpilih. Pasalnya, framing media yang membandingkan kapabilitas dalam mengelola kota masih tampak jelas.
Meski demikian, Direktur Eksekutif Indonesia Political Review ini melihat Risma sulit melaju dengan mulus nantinya.
Penulis: Anastacia Patricia
Editor: Aziza Larasati
Keterangan foto utama: Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. (Foto: humas.surabaya.go.id)