Pemakzulan Presiden AS
Amerika

5 Pelajaran dari Sejarah Pemakzulan Presiden AS

Presiden Donald Trump dan Presiden Richard Nixon, yang terpaksa mundur dari jabatannya setelah Skandal Watergate. (Foto: Getty Images)
Berita Internasional > 5 Pelajaran dari Sejarah Pemakzulan Presiden AS

Sejak Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat Nancy Pelosi mengumumkan dimulainya proses pemakzulan Trump, hal itu telah sangat memecah-belah rakyat Amerika. Amerika perlu belajar dari riwayat pemakzulan Presiden AS sebelumnya untuk mengetahui perbedaan pemaknaan pemakzulan selama ini, dan bagaimana seluruh cabang pemerintahan harus menyikapinya.

Baca juga: Kesepakatan dengan Ukraina Terungkap, Pemakzulan Trump Makin Dekat?

Oleh: Melanie Eversley (Forbes)

Ketika Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Amerika Serikat (AS) bergerak ke arah proses pemakzulan Trump, para sejarawan kembali mempelajari riwayat serupa dari masa lalu.

Dua presiden Amerika, Andrew Johnson dan Bill Clinton, telah dimakzulkan. Presiden ketiga AS yang terlibat dalam penyelidikan pemakzulan, Richard Nixon, mengundurkan diri sebelum pemakzulannya yang hampir pasti terjadi, karena berusaha menyembunyikan perannya dalam pencurian bahan kampanye Partai Demokrat.

Berikut ini hal-hal yang diajarkan dari perkembangan baru-baru ini mengenai pemakzulan, dan bagaimana kasus-kasus tersebut membantu membentuk tindakan para anggota legislatif Amerika saat ini.

1. Pemakzulan tergantung pada kemauan partai presiden yang menjabat untuk melawan presiden

Para pakar yang mempelajari kepresidenan Amerika Serikat mengatakan bahwa pengalaman Johnson, Nixon, dan Clinton mengajarkan AS bahwa politik partisan tidak boleh menjadi bagian dari proses pemakzulan, dan bahwa pemakzulan terutama tergantung pada kemauan partai presiden untuk melawan sang presiden.

2. Pemakzulan tidak hanya mencerminkan presiden, tetapi juga seluruh pemerintahan

Seorang pakar mengatakan bahwa pemakzulan juga mencerminkan tingkat ketidakjujuran dan penipuan dalam suatu pemerintahan.

“Kita fokus pada pemakzulan ketika apa yang kita hadapi adalah korupsi di eselon pemerintahan yang lebih tinggi,” tutur Douglas Brinkley, sejarawan kepresidenan dan profesor di Universitas Rice, kepada Fortune. “Apa yang terjadi dengan Trump adalah apa yang terjadi dengan (mantan Presiden AS) Warren Harding. Siapa pun yang menjadi bagian dari lingkaran dalam akhirnya terkontaminasi oleh sikap pemerintahan secara umum.”

Harding adalah Presiden Amerika Serikat dari tahun 1921 hingga kematiannya tahun 1923. Dia memimpin pemerintahan yang korup yang terkenal karena skandal Teapot Dome, yang melibatkan Departemen Dalam Negeri AS yang menyewakan cadangan minyak federal kepada perusahaan minyak swasta.

3. Hanya karena seorang presiden tidak disukai, bukan berarti pemakzulan pasti terjadi

Kongres AS mengajukan pasal tentang pemakzulan terhadap Presiden AS Lyndon Johnson, penerus Abraham Lincoln, setelah Johnson mencopot Menteri Perang AS Edwin Stanton. Johnson konon merupakan tokoh pro-Union tetapi tidak sepenuhnya mendukung Era Rekonstruksi pasca-Perang Sipil. Johnson sering menentang Kongres AS ketika anggota parlemen mengalihkan bantuan kepada warga kulit hitam Amerika yang terlantar.

Stanton, di sisi lain, mendukung hak-hak sipil dan telah ditunjuk oleh Lincoln. Kongres AS menyatakan bahwa ketika Johnson mencopot Stanton, ia melanggar hukum federal dengan gagal berkonsultasi terlebih dahulu dengan Senat AS.

Johnson dimakzulkan tanggal 24 Februari 1868, tetapi dibebaskan dalam sidang Senat AS. Dia bisa tetap menjabat dengan satu suara Senat.

Baca juga: 12 Kandidat Demokrat Suarakan Dukungan untuk Pemakzulan Trump

Selama persidangannya, Johnson bersikeras bahwa dia tidak melakukan kesalahan karena presiden sebelumnya telah menunjuk Stanton. Para pendukungnya menuduh mereka yang mendukung pemakzulan dimotivasi oleh politik—sesuatu yang telah dihindari oleh para anggota legislatif sejak saat itu.

“Banyak yang tidak menyukai Johnson karena pribadinya dan kebijakannya sehubungan dengan Rekonstruksi, tetapi para Bapak Pendiri Bangsa Amerika telah sepakat bahwa pemakzulan bukanlah upaya untuk mencopot seseorang yang tidak Anda setujui,” kata Timothy Naftali, penulis bersama Impeachment: An American History dan direktur utama Kebijakan Publik di New York University.

Opini ‘Pemakzulan Donald Trump Jauh Lebih Serius daripada Kasus Bill Clinton’

Sembilan belas tahun yang lalu, Dewan Perwakilan Rakyat AS mendukung pemakzulan Bill Clinton atas tuduhan berbohong di bawah sumpah dan menghalangi keadilan. (Foto: AFP/Getty Images/Tim Sloan)

4. Kesalahan tidak selalu mengarah pada pemakzulan

Presiden AS Bill Clinton dimakzulkan tanggal 19 Desember 1998 atas tuduhan sumpah palsu dan menghalangi keadilan terkait dengan perselingkuhannya dengan mantan pekerja magang Gedung Putih Monica Lewinsky. Clinton kemudian dibebaskan dalam sidang Senat AS, di mana anggota parlemen menyetujui bahwa perilaku Clinton salah tetapi tidak mencapai tingkat “kejahatan dan pelanggaran hukum berat (high crimes and misdemeanors).”

Proses pemakzulan Clinton terjadi pada saat ketegangan yang meningkat antara Partai Republik dan Demokrat, dengan anggota parlemen Partai Republik yang dipimpin oleh Ketua DPR AS Newt Gingrich.

“Clinton mengakhiri masa kepresidenannya dengan cukup populer,” kata Naftali. “Saya yakin orang-orang tidak menyalahkannya sebagai presiden karena berselingkuh. Saya pikir lawan-lawannya di Kongres AS mencoba menggunakan fakta bahwa ia telah melakukan kejahatan.”

Konsep pemakzulan terus berubah selama bertahun-tahun, kata Naftali. Sebagai contoh, kedua partai percaya sifat kejahatan itu penting dan mendapati Richard Nixon telah menipu atas pajaknya, tetapi memutuskan bahwa kejahatan itu tidak dapat dimakzulkan. Sementara itu, Clinton yang berbohong tentang aktivitas seksual dipandang layak untuk dilanjutkan ke proses pengadilan pemakzulan.

“Itu benar-benar tergantung pada iklim politik kebohongan,” kata Naftali.

5. Kerja sama bipartisan selama proses pemakzulan merupakan hal penting

Naftali mengatakan bahwa dia memandang sifat kerja sama bipartisan pada saat proses pemakzulan Nixon sebagai “isyarat yang sehat”. Ketika dia meneliti untuk bukunya, Naftali menemukan bahwa pemakzulan menjadi suatu kemungkinan karena kedua partai utama memutuskan untuk bekerja sama.

Baca juga: Pemakzulan Presiden: Rakyat Amerika versus Donald J. Trump

“Saya membaca berbagai riwayat,” kata Naftali. “Konservatif dan liberal bergabung bersama dan mengatakan bahwa Nixon harus dimakzulkan.”

Nixon akhirnya mengundurkan diri sebelum dia bisa dimakzulkan.

Apa yang membuat penyelidikan pemakzulan Trump berbeda?

Naftali menegaskan bahwa meski kasus Nixon dan Trump mungkin melibatkan dugaan ambisi politik, namun keduanya berbeda karena kasus Nixon bersifat dalam negeri, sementara kasus Trump terkait dengan kebijakan luar negeri.

Brinkley menambahkan bahwa kasus yang melibatkan Trump lebih terkait dengan kesehatan pemerintahannya. Brinkley menyoroti bahwa penyelidikan yang dilakukan oleh Penasihat Khusus Robert Mueller dan perkembangan lain dalam kepresidenan Trump, telah menggelincirkan karier politik banyak orang yang terkait dengan Gedung Putih.

“Sekarang, Amerika memiliki seorang presiden yang baru saja terlibat dalam pelanggaran yang dapat dimakzulkan,” kata Brinkley. “Hampir semua orang yang pernah bekerja untuk Donald Trump menyimpan cerita-cerita horor.”

Keterangan foto utama: Presiden Donald Trump dan Presiden Richard Nixon, yang terpaksa mundur dari jabatannya setelah Skandal Watergate. (Foto: Getty Images)

5 Pelajaran dari Sejarah Pemakzulan Presiden AS

BERLANGGANAN

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top