Konflik Natuna
Berita Politik Indonesia Hari Ini

70 Tahun Hubungan China-Indonesia: Rumit dan Saling Menguntungkan

Presiden Xi Jinping dan Presiden Joko Widodo di Hangzhou pada bulan September. (Foto: AP)
Berita Internasional > 70 Tahun Hubungan China-Indonesia: Rumit dan Saling Menguntungkan

April 2020 menandai dekade ketujuh dari hubungan diplomatik antara Indonesia dan China. Walau Indonesia memandang China sebagai mitra ekonomi vital, ketegangan di Laut China Selatan dan sentimen anti-China di dalam negeri masih mempengaruhi hubungan kedua negara.

Penulis lepas Sylvie Tanaga (33 tahun) telah belajar bahasa Mandarin sejak kecil. Pelajaran pertamanya diadakan diam-diam di gereja di Bandung karena mantan Presiden Indonesia Suharto selama puluhan tahun melarang orang Tionghoa Indonesia untuk mengekspresikan budaya mereka secara terbuka.

Kakek dari pihak ayah Sylvie dan kakek-nenek dari pihak ibunya lahir di China sebelum bermigrasi ke Indonesia. Hal itu menginspirasi keluarganya untuk memastikan Sylvie terus belajar bahasa Mandarin.

Ketertarikannya dengan China dan urusan China-Indonesia berlanjut hingga dewasa. Pada Agustus 2019, ia memulai beasiswa pemerintah selama setahun untuk belajar Mandarin di Hainan Normal University, meskipun sejak bulan lalu ia mengambil kelas online dari rumah karena pandemi COVID-19.

Baca Juga: Corona di Indonesia: China Jadi Juru Selamat, Apa Peran Australia?

“Ketika saya belajar di China, para guru menyarankan kami untuk belajar bahasa Mandarin dengan rajin sehingga lebih mudah bagi kami untuk mendapatkan pekerjaan atau berbisnis dengan orang China,” kata Sylvie.

Indonesia bulan ini menandai peringatan ke-70 tahun hubungan bilateral dengan China. Meskipun Soeharto menangguhkan hubungan diplomatik dengan China sejak 1967 hingga 1990, hubungan itu telah membaik sejak saat itu. Walau hubungan antara pemerintah China dan Indonesia tetap rumit, banyak orang Indonesia seperti Sylvie melihat China sebagai mitra ekonomi yang vital.

Menurut laporan South China Morning Post, investasi China di Indonesia mencapai US$4,7 miliar dengan 2.130 proyek tahun lalu, menjadikannya investor terbesar kedua di Nusantara setelah Singapura. Angka itu merupakan 16,8 persen dari total investasi asing di Indonesia, menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Indonesia.

Pada 2019, wisatawan China merupakan kelompok pengunjung asing terbesar kedua di Bali, pusat pariwisata Indonesia, terhitung 26,9 persen dari total pengunjung, menurut angka dari Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai.

Hu Zhiyong, peneliti di Institute of International Relations di Shanghai Academy of Social Sciences menuturkan, hubungan China-Indonesia telah menunjukkan “kerja sama persahabatan yang menyeluruh” dalam hal kemitraan ekonomi serta pertukaran budaya, ilmiah, dan teknologi.

Menurut Evan A. Laksmana, ilmuwan politik dan peneliti senior di lembaga penelitian Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta, dari sudut pandang Indonesia, masalah yang melibatkan China dapat dengan mudah menjadi “masalah politik domestik utama” karena hal-hal kecil sekalipun bisa menjadi “masalah China” yang besar. “Jadi China secara keseluruhan selalu lebih banyak hadir di benak para pembuat kebijakan.”

Duta Besar Indonesia untuk China Djauhari Oratmangun pada 2019 mengatakan, dengan bekerja sama dengan China, Indonesia akan mampu meningkatkan ekonomi digitalnya menjadi US$100 miliar pada 2025.

Pandangan itu dianut oleh para pemimpin bisnis seperti Calvin Neonardi, keturunan Tionghoa Indonesia generasi ketiga yang merupakan Direktur Indonesia China Business Council dan Wakil Sekretaris Jenderal Indonesia Guangdong Association Federation.

Dia menyoroti berbagai perusahaan China seperti Tencent dan Alibaba, yang memiliki South China Morning Post, memiliki saham besar di Gojek dan Tokopedia, dua perusahaan unicorn terbesar di Indonesia.

“Ini hanyalah puncak gunung es. Saya dapat melihat bahwa sejumlah besar inovasi di sektor ini akan terus menarik investasi dan teknologi China,” tegas Calvin Neonardi. “Ini jalan dua arah, di mana kita akan belajar banyak dari China secara ekonomi dan finansial. Banyak orang Indonesia percaya China mewakili masa depan, karena kekayaan ekonomi Indonesia akan secara tak terelakkan semakin terikat dengan China.”

Ibrahim Almuttaqi, kepala Program Studi ASEAN di lembaga penelitian The Habibie Center di Jakarta dan penulis Jokowi’s Indonesia and the World, menyebut China saat ini adalah “mitra ekonomi utama” Indonesia seperti Amerika Serikat atau Jepang di masa lalu.

Teuku Rezasyah, dosen Hubungan Internasional di Universitas Padjadjaran di Bandung, mengatakan peningkatan hubungan antara China dan Indonesia dapat dilihat dalam infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, kereta api, dan pertambangan, karena China “membawa teknologi tinggi dan tenaga kerja besar” ke Indonesia.

Konflik Natuna

Presiden Joko Widodo (kiri) berjabat tangan dengan Presiden China Xi Jinping, dalam upacara penyambutan untuk Belt and Road Forum, di Pusat Konferensi Internasional di Danau Yanqi, utara Beijing, pada tanggal 15 Mei 2017. (Foto: AFP/Roman Pilipey/Pool)

Tantangan pandemi COVID-19

Presiden China Xi Jinping pada 2 April 2020 menegaskan China siap mendukung dan membantu Indonesia dalam mengatasi pandemi virus corona COVID-19.

“China bersedia bekerja sama dengan Indonesia untuk terus memperdalam kerja sama dalam membangun sabuk dan jalan, dan memajukan pengembangan kemitraan strategis komprehensif mereka,” katanya menurut kantor berita negara Xinhua, merujuk pada Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI), rencana infrastruktur global China.

Pendiri Alibaba Jack Ma melalui yayasan Jack Ma Foundation dan Alibaba Foundation telah menyumbangkan 2 juta masker, 150.000 alat uji, 20.000 set alat pelindung diri (APD), dan 20.000 pelindung wajah ke Indonesia serta tiga negara lain di Asia Tenggara.

Namun, pandemi telah menunjukkan penurunan investasi China dan kedatangan wisatawan China di Indonesia.

Evan Laksmana dari CSIS mengatakan, dengan masalah COVID-19, sebagian besar proyek besar (termasuk yang dilakukan dengan China), akan “ditunda setidaknya dua atau tiga tahun” karena prioritasnya adalah mitigasi dan sistem kesehatan masyarakat.

“Jadi saya tidak yakin kita memiliki ruang fiskal yang cukup untuk terlibat dalam proyek-proyek besar, entah itu khusus Inisiatif Sabuk dan Jalan atau secara umum.”

Meskipun mengalami kemunduran saat ini, Hu dari Shanghai Academy of Social Sciences menuturkan Indonesia adalah negara “penting” dalam Inisiatif Sabuk dan Jalan. “Pemerintah Indonesia sangat mendukung inisiatif China dan secara aktif terhubung dengannya.”

Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Pandjaitan pada Maret 2019 mengatakan Indonesia akan mengusulkan 28 proyek senilai US$91,1 miliar kepada investor China. Proyek-proyek sebelumnya di bawah rencana itu termasuk kereta api berkecepatan tinggi senilai US$6 miliar yang menghubungkan Jakarta dan Bandung yang akan selesai pada 2021 dan pembangkit listrik tenaga batu bara senilai US$1,8 miliar di Provinsi Banten yang sedang dibangun oleh Shenhua Energy milik pemerintah China.

Almuttaqi dari The Habibie Center mengatakan, Inisiatif Sabuk dan Jalan “agak lambat untuk lepas landas” di Indonesia.

“Ada tantangan birokrasi dan logistik yang dihadapi semua investor di Indonesia, seperti menyelesaikan masalah pertanahan dan mendapatkan izin yang diperlukan.”

Baca Juga: Virus Corona, Bencana bagi Perusahaan Indonesia yang Bisnis dengan China

Sentimen anti-China

Terlepas dari hubungan diplomatik yang kuat antara China dan Indonesia, ketegangan di Laut China Selatan dan kontroversi tentang perlakuan terhadap Muslim Uighur di wilayah paling barat China Xinjiang menambah sentimen anti-China yang masih melekat yang dirasakan oleh sebagian orang Indonesia.

Pemerintah pusat Indonesia pada Desember 2019 mengajukan protes diplomatik terhadap China atas dugaan penangkapan ikan ilegal oleh kapal-kapal China di dalam zona ekonomi eksklusif Indonesia di luar Kepulauan Natuna. Sementara itu, China menegaskan perairan itu berada dalam klaim sembilan garis putusnya di Laut China Selatan yang disengketakan.

Sebagai negara dengan penduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia, Indonesia di masa lalu telah menyuarakan dukungannya untuk Rohingya dan Palestina. Namun, mengenai masalah persekusi minoritas Muslim Uighur, sikap resmi pemerintah tidak akan mengganggu penanganan pemerintah China atas etnis minoritas, yang dianggap sebagai urusan internal China.

Pada Desember 2019, ratusan Muslim Indonesia memprotes di depan Kedutaan Besar China di Jakarta karena masalah ini, mendesak pemerintah pusat untuk menekan pemerintah China.

Rezasyah dari Universitas Padjadjaran menyatakan, pemerintah pusat secara pribadi telah mengangkat kekhawatirannya tentang masalah ini, daripada mengkritik China secara terbuka seperti pemerintah beberapa negara Barat.

“Cara mengekspresikan kritik ini sesuai dengan budaya China dan lebih baik dipahami oleh China karena tidak mempermalukannya, sehingga memungkinkan memperoleh informasi yang lebih baru.”

Menurut Evan Laksmana dari CSIS, akan ada dampak politik dan ekonomi jika Indonesia mengangkat masalah ini. Ia menambahkan, masyarakat internasional kemudian akan menunjuk pada perjuangan untuk penentuan nasib sendiri di wilayah Papua yang senantiasa bergejolak.

Dia mengatakan hasilnya bisa mirip dengan apa yang terjadi dengan Timor Timur, yang memilih kemerdekaan dari Indonesia pada 1999 karena “kemampuan orang Timor untuk mengangkat masalah ini ke kancah internasional.”

Almuttaqi dari The Habibie Center mengatakan, diamnya Indonesia atas masalah ini “telah ditafsirkan oleh beberapa orang bahwa bangsa ini telah dibeli oleh pengaruh ekonomi China.”

Sentimen anti-China di Indonesia telah melonjak setelah pecahnya pandemi COVID-19. The Institute for Policy Analysis of Conflict menunjukkan, banyak retorika di media sosial murni menyuarakan ujaran kebencian rasis.”

“Retorika itu dibangun di atas dasar sejarah yang panjang dan berperan dalam masalah politik di berbagai bagian masyarakat, tentang ketergantungan pemerintah Presiden Joko Widodo pada China dalam hal pembangunan infrastruktur dan investasi asing, terutama di sektor ekstraktif,” menurut laporan itu, yang dirilis pada April 2020.

Laporan itu menambahkan, “jumlah pekerja China meningkat secara dramatis setelah undang-undang pertambangan baru disahkan pada 2009, menyebabkan kemarahan lokal atas perbedaan upah, mempersepsikan mempekerjakan orang asing lebih dari penduduk lokal, bentrokan budaya, polusi, dan korupsi.”

South China Morning Post mencatat, Kementerian Tenaga Kerja Indonesia telah menuturkan kepada media lokal, terdapat 40.357 pekerja asing dari China di Tanah Air pada 3 Februari 2020. Para ahli mengatakan, permusuhan beberapa orang Indonesia terhadap China dapat berdampak pada etnis minoritas Tionghoa di negara ini.

“Kenyataan sederhananya adalah banyak orang (termasuk elit politik di tingkat lokal atau nasional) tidak mengetahui fakta orang Tionghoa di Indonesia terpisah dari China sebagai pemerintah dan rakyat China, atau mereka lebih suka untuk menyamakan mereka secara politis,” ucap Evan.

Menurut Evan Laksmana dari CSIS, beberapa hal perlahan telah berubah di tingkat masyarakat. Ia mencatat lebih banyak orang Tionghoa Indonesia yang kini aktif di politik dan terlibat dalam pekerjaan amal, meskipun polarisasi dalam beberapa tahun terakhir mungkin menghambat kemajuan di bidang-bidang tersebut.

Sementara itu, penulis Bandung Sylvie Tanaga, juga meyakini China telah melakukan pekerjaan yang hebat, mengingat bagaimana negara itu telah berubah dari negara miskin yang ditinggalkan kakek neneknya menjadi salah satu negara adidaya seperti sekarang.

Sylvie masih menyaksikan adanya sentimen anti-China di Indonesia, tetapi mencatat semuanya terlihat lebih jelas selama persidangan mantan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang berlatar belakang etnis Kristen-Tionghoa atas dugaan penistaan agama dan dijatuhi hukuman penjara pada 2017.

Untuk saat ini, diskriminasi tampaknya tidak kentara, ujar Sylvie.

“Menjadi bangga dengan pencapaian China hanya karena saya keturunan Tionghoa sementara menutup mata terhadap kenyataan di Indonesia, bagi saya itu juga merupakan tindakan rasisme.”

 

Penerjemah: Fadhila Eka Ratnasari

Editor: Aziza Fanny Larasati

Keterangan foto utama: Presiden Xi Jinping dan Presiden Joko Widodo. (Foto: AP)

70 Tahun Hubungan China-Indonesia: Rumit dan Saling Menguntungkan

BERLANGGANAN

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top