Putus asa untuk memulai ekonominya, Kabul muak menunggu Beijing memanfaatkan kekayaan mineral negara.
Pengungkapan di Kabul pada 10 Desember atas dugaan jaringan spionase China telah mendorong Afghanistan untuk mengkalibrasi ulang hubungannya dengan China, tetangga raksasa yang haus sumber daya di timur.
Pejabat pemerintah Afghanistan mengatakan, negara tersebut telah mengakhiri kontrak minyak dan gas dengan China, dan sedang berusaha untuk menegosiasikan ulang persyaratan konsesi pertambangan besar-besaran yang hampir tidak aktif sejak ditandatangani oleh China lebih dari satu dekade lalu, lapor Foreign Policy.
Para pejabat Afghanistan mengatakan, mereka menangkap jaringan yang diduga merupakan jaringan spionase China yang beroperasi di Kabul, untuk memburu Muslim Uighur dengan bantuan jaringan Haqqani, sebuah kelompok teroris yang terkait dengan Taliban.
Seorang pejabat keamanan senior mengatakan, mata-mata itu telah beroperasi selama enam atau tujuh tahun. Otoritas Afghanistan telah bekerja sama dengan China di masa lalu dalam penahanan dan deportasi warga Uighur yang dicurigai melakukan aktivitas teroris, tetapi para pejabat mengatakan mereka terkejut dengan tindakan serupa yang dilakukan China.
“Apakah ini perilaku seorang teman?” tanya salah satu sumber. Sumber lain mengatakan, keberadaan sel China (yang dilaporkan secara luas oleh outlet berita India, meskipun tidak oleh media Afghanistan atau media internasional) diungkapkan kepada otoritas Afghanistan oleh intelijen India.
Penangkapan tersebut telah mendorong Kabul (yang berusaha untuk mengatur ekonominya, karena menghadapi masa depan yang tidak pasti dengan proses perdamaian yang sedang berlangsung) untuk menggunakan insiden tersebut sebagai “pengaruh” terhadap Beijing, menurut seorang pejabat, terutama dalam hal negosiasi ulang konsesi pertambangan jutaan dolar.
“Kami telah memberi tahu mereka: buat kemajuan dalam kontrak atau kami akan menerbitkan kembali tender. Sektor ini sangat penting bagi ekonomi Afghanistan dan inilah saatnya untuk bergerak,” ungkap salah satu pejabat kepada Foreign Policy.
“Kami ingin membuat kemajuan dalam proyek-proyek besar nasional. Sudah bertahun-tahun, kami telah memberikan (China) keamanan, dan kami perlu melihat imbalan dan keuntungan ekonomi.”
Tidak ada tenggat waktu yang ditetapkan untuk negosiasi ulang kontrak, meskipun pejabat tersebut mengatakan, China telah mengajukan “ikhtisar lima halaman tentang di mana mereka membuat kemajuan.”
Baik Kementerian Luar Negeri China maupun Kedutaan Besar di London tidak menanggapi permintaan komentar. Perusahaan pertambangan China Metallurgical Group Corporation (MCC) tidak bisa dihubungi Foreign Policy.
Taktik keras ini adalah cerminan rasa frustrasi pemerintah Afghanistan terhadap lambatnya pembangunan mineral di negara itu, dan kebutuhannya yang sangat mendesak akan sumber pendapatan baru, seiring Amerika Serikat, pasukan internasional, dan banyak donor internasional menarik taruhannya.
Afghanistan bergantung pada bantuan internasional untuk 40 persen dari produk domestik bruto, Bank Dunia mengatakan pada 2018. Tingkat bantuan diperkirakan akan berkurang setengahnya pada 2030, sehingga pemerintah harus mencari sumber pendanaan alternatif.
Afghanistan memiliki cadangan mineral yang sangat besar, termasuk batu bara, tembaga dan bijih besi, litium, dan uranium, serta emas, batu mulia, minyak, dan gas.
Sejak jatuhnya Taliban pada 2001, sektor ini telah dilihat sebagai tulang punggung potensial ekonomi pasca-perang, dan sampai sekarang. Tetapi beberapa penambang besar akan mengambil risiko bertualang ke negara yang dilanda perang itu, dan keputusan China untuk menghentikan pekerjaan di Mes Aynak merupakan indikasi keengganan Beijing untuk beroperasi dalam menghadapi ancaman pemberontak di situs tersebut.
Pemerintah Afghanistan memiliki harapan besar untuk deposit tembaga yang sangat besar di Mes Aynak, sekitar 40 km tenggara ibu kota. MCC milik negara China mencapai kesepakatan US$2,83 miliar untuk sewa selama 30 tahun di situs tersebut pada 2007, tetapi tidak berbuat banyak untuk mengembangkannya. MCC telah menghabiskan US$371 juta di situs tersebut, menurut angka yang diberikan oleh Kementerian Pertambangan dan Perminyakan.
Media Afghanistan melaporkan tahun lalu, ketidakaktifan di situs tersebut telah merugikan pemerintah sebesar US$2 miliar. Sementara itu, Taliban menjadi kaya dengan memanfaatkan kekayaan mineral Afghanistan. Para pemberontak menghasilkan ratusan juta dolar setiap tahun dari pertambangan saja, menurut beberapa sumber.
Haroon Chakhansuri, Menteri Pertambangan dan Perminyakan, mengatakan kepada Foreign Policy bahwa jika proyek tembaga di Mes Aynak tidak dibingkai ulang dalam “persyaratan yang disepakati bersama”, kontrak tersebut akan ditarik kembali. Afghanistan membuka sektor ekstraktifnya ke negara lain, katanya, mengutip nota kesepahaman yang ditulis pada 10 September 2020, dengan Fortescue Future Industries Australia.
Tetapi beberapa pengamat mengatakan, menargetkan China akan memberikan sedikit hasil bagi Kabul: Tetangganya terlalu dekat dan terlalu besar.
Javed Noorani, ahli di sektor ekstraktif Afghanistan, mengatakan, retorika yang tidak jujur selama bertahun-tahun seputar negosiasi ulang telah merugikan Afghanistan.
Tambang logam tanah jarang di Provinsi Jiangxi, China. (Foto: Reuters)
Afghanistan tidak punya banyak pilihan selain mencoba membuka salah satu bidang ekonominya yang berpotensi menghasilkan miliaran dolar untuk kas federal yang kekurangan uang. Pemerintah Afghanistan (yang sangat bergantung pada bantuan luar negeri yang berkurang jumlahnya) menghadapi kemungkinan dipaksa oleh Amerika Serikat dan sekutunya untuk membuat kesepakatan pembagian kekuasaan dengan Taliban.
Amerika telah menarik semua kecuali 2.500 tentara terakhir di negara itu, sebagai bagian dari kesepakatan damai yang saat itu ditengahi oleh Presiden Donald Trump dengan kelompok teroris itu pada 2020, tetapi mereka semua harus meninggalkan negara itu sebelum Mei. Penarikan itu telah merusak pemerintah Kabul dan menyebabkan lonjakan besar dalam kekerasan Taliban.
Mes Aynak (salah satu sumber tembaga terbesar yang belum dimanfaatkan di dunia dengan perkiraan 5,5 juta metrik ton logam bermutu tinggi) telah diganggu oleh tuduhan korupsi dan kolusi antara Beijing dan Taliban, untuk mengamankan situs tersebut sehingga pekerjaan dapat dimulai.
Mantan Menteri Pertambangan, Mohammad Ibrahim Adel, dipecat pada 2009 menyusul tuduhan (yang dia bantah) bahwa dia telah menerima suap US$30 juta dari MCC. Manajer umum MCC saat itu, Shen Heting, dikeluarkan dari Partai Komunis (pukulan yang mengakhiri kariernya) karena korupsi pada 2017.
“Kedua pihak dalam kontrak tembaga Aynak sama sekali tidak jujur,” tutur Noorani dikutip Foreign Policy, menambahkan bahwa beberapa pejabat Afghanistan telah diuntungkan secara finansial dari “tidak melaksanakan persyaratan kontrak MCC.”
Rencana awal untuk Mes Aynak mencakup pabrik peleburan, pembangkit listrik tenaga batu bara, dan jalur rel. MCC telah “menyelesaikan eksplorasi deposit pusat dan menyerahkan draf akhir studi kelayakan tambang pada 2015,” ucap menteri tersebut, tetapi tidak ada kemajuan yang dicapai sejak itu.
Salah satu pejabat senior mengatakan, pemerintah Afghanistan telah mengingatkan China tentang “kontak saluran belakang yang sangat kuat dengan Taliban. Mereka bisa saja memuluskan jalan untuk pengembangan tambang (Mes Aynak), tetapi mereka memilih untuk tidak melakukan itu”.
Noorani mengatakan, sebagai konsumen tembaga terbesar (51 persen dari produksi dan pertumbuhan global) dan pemilik tambang tembaga di seluruh dunia, kepentingan China terletak pada pengendalian harga di London Metal Exchange. “Jadi mereka tidak akan melepas Aynak dan tetap memegang kontraknya,” prediksi dia.
Itu bukan satu-satunya rintangan untuk perkembangan yang lebih cepat. Tambang tersebut berada di lokasi kota terkubur berusia 1.800 tahun yang didirikan oleh biksu Buddha, yang menambang tembaga dan meninggalkan harta karun bersejarah.
Satu-satunya aktivitas di situs itu selama bertahun-tahun adalah para arkeolog yang bekerja untuk melestarikan artefak Buddha. Sebuah keputusan presiden tahun lalu (menyetujui penambangan terbuka, pelestarian kota kuno, dan relokasi relik) bertujuan untuk mendorong China bertindak.
“Kami berharap mitra kami dapat melanjutkan proses pengembangan proyek, berdasarkan persyaratan yang disepakati bersama. Jika tidak, kami harus mempertimbangkan opsi alternatif untuk menciptakan lingkungan investasi yang memungkinkan bagi calon investor,” tegas Chakhansuri kepada Foreign Policy
Chakhansuri menambahkan, proyek itu terhenti karena “masalah teknis”, termasuk perlindungan artefak budaya dan metode ekstraksi. Dengan persetujuan metode tambang terbuka, pemerintah sekarang sedang mempersiapkan dimulainya kembali negosiasi, ucapnya.
Sementara itu, melihat ke masa depan ketika Amerika Serikat tidak lagi hadir di Afghanistan, China dilaporkan telah merundingkan kontrak infrastruktur dengan kepemimpinan Taliban, yang hubungannya dimulai sejak rezim 1996-2001.
Penerjemah: Aziza Larasati
Editor: Purnama Ayu Rizky
Keterangan foto utama: Pasukan Tentara Nasional Afghanistan dari Korps ke-209 berbaris di pangkalan mereka di Mazar-i-Sharif, Afghanistan, pada tahun 2015. Foto: Victor J. Blue/Bloomberg.
Afghanistan Incar Investasi Tambang China, Malah Dapat Mata-mata