COVID-19
Afrika

Afrika Bersiap Lawan Pandemi, China Kian Agresif

Berita Internasional > Afrika Bersiap Lawan Pandemi, China Kian Agresif

Dengan cara yang cepat dan sangat terlihat, China telah berupaya untuk mengambil peran sebagai pemimpin kemanusiaan global di tengah pandemi COVID-19 dan berhasil mewujudkan ambisinya.

Ketika China perlahan mulai pulih dari COVID-19 dan memulai kembali ekonominya, China berusaha memposisikan dirinya sebagai pimpinan tanggapan pandemi global dan mengisi kekosongan dalam bantuan kemanusiaan yang diciptakan oleh kelumpuhan Barat. Peran China tersebut terlihat lebih jelas daripada di Afrika, di mana China memiliki sejarah panjang dalam memberikan bantuan medis sebagai alat kebijakan luar negeri. Di Afrika, China juga muncul sebagai mitra kemanusiaan nomor satu pada saat dibutuhkan.

Dukungan China untuk Afrika sangat penting mengingat mitra ekonomi lainnya terikat dengan krisis mereka sendiri di dalam negeri. China juga memiliki kepentingan dalam melindungi investasi Afrika dan mengatur kembali impor komoditas dari Afrika untuk menggenjot pertumbuhan di China.

China tampaknya akan mencetak skor publisitas di Afrika, hingga akhirnya perlakuan buruk terhadap laporan para migran Afrika di Guangzhou menjadi sasaran pelecehan xenofobia dan dipaksa tidur di jalanan membuat berita halaman depan di seluruh dunia pada akhir pekan. Hal ini akan mengikis beberapa niat baik yang telah dikumpulkan China melalui tindakannya baru-baru ini di Afrika dan menjadi pukulan signifikan terhadap strategi yang dirancang dengan hati-hati untuk memanfaatkan respons internasionalnya sebagai batu loncatan menuju kepemimpinan global.

Baca Juga: Warga Afrika Keluhkan Perlakuan Rasis di Guangzhou, China

Meskipun jumlahnya kemungkinan tidak dilaporkan, Afrika saat ini memiliki lebih dari 10.000 kasus COVID-19 yang dikonfirmasi di 52 dari 54 negara. Mempertimbangkan jumlah kasus global, COVID-19 cenderung lambat untuk akhirnya merebak di Afrika, yang mungkin tampak mengejutkan mengingat hubungannya yang erat dengan China. Namun, hal itu menunjukkan hubungan antarorang China-Afrika mungkin kurang produktif daripada yang mungkin ditunjukkan data perdagangan dan investasi. Selain itu, hanya ada lebih sedikit perjalanan antara keduanya daripada antara China dan negara maju. Teori-teori yang belum terbukti juga berpendapat populasi muda, kepadatan populasi rendah, dan iklim yang lebih hangat di Afrika dapat membuat virus corona baru tidak terlalu ganas.

Namun, tingkat infeksi yang relatif lebih rendah dapat mendatangkan malapetaka pada sistem kesehatan rapuh negara-negara Afrika dan dapat memicu gejolak sosial-ekonomi atau politik yang meluas. Di Gabon, kasus COVID-19 parah pertama di negara itu sangat salah penanganan sehingga pasien diperkirakan meninggal lebih awal dari perkiraan, setengah dari staf di satu klinik yang layak di ibu kota harus dikarantina kemudian, sementara klinik itu dan yang lainnya harus ditutup selama lebih dari seminggu untuk didisinfeksi.

Konsekuensinya, pendekatan strategis keseluruhan di Afrika telah difokuskan pada langkah-langkah preventif awal dan agresif termasuk penutupan bandara dan penguncian wilayah yang meluas. Afrika akhirnya juga meminta dukungan China.

Meskipun ada kecurigaan seputar kualitas bantuan China, misalnya di Nigeria, menurut analisis Cornelia Tremann dari Lowy Institute, negara-negara Afrika mengandalkan pasokan dari China saat ini karena Eropa dan Amerika Serikat sendiri kekurangan pasokan.

COVID-19

Para pembeli mengantre untuk membeli bahan makanan di Makro Store menjelang lockdown selama 21 hari secara nasional, dalam upaya untuk menahan wabah penyakit virus corona (COVID-19) di Durban, Afrika Selatan, 24 Maret 2020. (Foto: Reuters/Rogan Ward)

Baca Juga: Afrika Sambut COVID-19 dengan Kekerasan dan Kebingungan

Sejak akhir Maret 2020, pemerintah China serta berbagai perusahaan milik negara dan perusahaan swasta telah menyediakan sejumlah besar uang tunai, alat medis, dan keahlian dengan cara yang cepat dan sangat terlihat. Pada 6 April, hampir 38 ton pasokan medis yang disediakan pemerintah China tiba di Ghana untuk didistribusikan ke negara-negara Afrika Barat. Sejumlah perusahaan infrastruktur multinasional China menyumbangkan peralatan, memperbaiki rumah sakit, dan membangun fasilitas karantina di negara tempat mereka beroperasi.

Sementara itu, pebisnis dan kini filantropis China Jack Ma telah mencapai kesepakatan dengan pemerintah Ethiopia dan maskapai penerbangan Ethiopia Airlines, maskapai untuk masuk ke Afrika selama krisis ini, untuk mendistribusikan peralatan di seluruh benua. Pria terkaya China itu juga mengumumkan yayasannya akan mengirim 20.000 alat uji corona tambahan, 100.000 masker, serta 1.000 APD berupa jas pelindung dan pelindung wajah ke setiap negara di Afrika. Raksasa teknologi Huawei dan Huajian, produsen sepatu global, juga telah menyumbangkan satu juta masker masing-masing.

China melihat ini sebagai peluang untuk mengambil peran sebagai pemimpin tanggapan kemanusiaan di masa krisis global, peran yang secara historis dimainkan oleh Amerika Serikat. Secara tradisional investor terbesar di dunia dalam kesehatan global, AS baru-baru ini mengesahkan Undang-Undang Coronavirus Aid, Relief, and Economic Security Act (CARES Act). Selain menyediakan bantuan domestik, UU itu juga memberikan tambahan dana bantuan asing untuk membantu negara-negara berkembang meningkatkan tanggapan mereka atas pandemi.

Namun, kekurangan pasokan di dalam negeri Amerika, disfungsi di tingkat federal, serta birokrasi yang rumit dan selera risiko rendah di Badan Pembangunan Internasional AS (USAID) akan menantang implementasi dalam konteks yang terus berkembang pesat ini.

Banyak dukungan yang telah ada juga sekadar dikemas ulang sebagai bantuan COVID-19. Jack Ma Foundation baru-baru ini mengirimkan 500.000 alat uji dan 1 juta masker ke Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) untuk membantu Amerika Serikat memerangi pandemi. Uni Eropa juga telah berjanji untuk meningkatkan pendanaan mereka untuk membantu ekonomi Afrika mengatasi wabah. Sementara itu, para pemimpin G20 sedang mempersiapkan keringanan hutang dan paket bantuan keuangan lainnya untuk Afrika.

Namun, sebagian besar bantuan tersebut akan disalurkan melalui lembaga multilateral dan lembaga keuangan internasional, Cornelia Tremann dari Lowy Institute menyimpulkan, sementara tidak ada aktor Barat yang dapat memobilisasi dengan cepat atau mencolok seperti China.

China masih jauh dari ambisinya menjadi negara adidaya dunia. China hingga kini terus berusaha untuk membentuk kembali narasi seputar pandemi COVID-19 dan mengalihkan kesalahan karena menutupi krisis awal di Wuhan, tidak berbagi informasi tentang virus corona baru yang dapat membantu negara-negara lain mempersiapkan tanggapan mereka dengan lebih baik, dan tidak melaporkan jumlah keseluruhan kasus.

China juga harus berbuat lebih banyak untuk membantu ekonomi Afrika mengurangi beban utangnya dan mencegah ancaman bencana sosial-ekonomi. Akan ada reaksi yang menolak kehadiran China di Afrika di tengah latar belakang perlakuan buruk terhadap migran Afrika di Kota Guangzhou.

Pada akhirnya, pendapat umum akan menilai China dengan jumlah masker dan alat medis vital lainnya yang telah dibagikan untuk membantu memerangi pandemi COVID-19. Untuk saat ini, dalam pertempuran untuk mendapatkan pengaruh di Afrika, China sekali lagi masih tetap unggul.

 

Penerjemah: Fadhila Eka Ratnasari

Editor: Purnama Ayu Rizky

Keterangan foto utama: Para pembeli mengantre untuk membeli bahan makanan di Makro Store di Strubens Valley, menjelang penutupan secara nasional selama 21 hari untuk menahan wabah penyakit virus corona (COVID-19), di Johannesburg, Afrika Selatan, 24 Maret 2020. (Foto: Reuters/Siyabonga Sishi)

Afrika Bersiap Lawan Pandemi, China Kian Agresif

BERLANGGANAN

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top