Perdebatan tentang Papua berkobar lagi di Indonesia setelah protes anti-rasisme di AS memicu kampanye media sosial yang menyoroti penderitaan orang Papua. Seperti orang kulit hitam di Amerika, mereka telah lama menderita rasisme struktural.
Dalam peristiwa langka, rasisme di Papua menjadi perbincangan publik, tulis Indonesia Melbourne. Dengan tagar kuat #PapuanLivesMatter, orang Indonesia berbicara tentang berbagai pelanggaran yang diderita oleh warga Papua, termasuk nasib puluhan narapidana nurani Papua.
Hal itu pernah terjadi sebelumnya, namun kini setidaknya ada dua pergeseran besar dalam perbincangan tentang Papua. Pertama, menarik perhatian masyarakat luas di luar aktivis hak asasi manusia, akademisi, dan pejabat pemerintah. Kedua, fokusnya agak bergeser dari masalah separatisme ke masalah rasisme dan implikasinya.
Sangat penting bagi pemerintah untuk memahami apa yang kita bicarakan ketika kita berbicara tentang Papua. Ketidakadilan, rasisme, penganiayaan, dan kekerasan politik lah yang memenuhi pikiran dan pekerjaan para aktivis, bukan hanya separatisme semata.
Sayangnya, pemerintah selalu gagal mengakui fakta mendasar ini. Dalam beberapa minggu terakhir, mereka menjajakan narasi lama yang salah kaprah tentang Papua yang berusaha menutup semua kritik tentang bagaimana Jakarta memperlakukan orang asli Papua secara tidak adil. Pemerintah mati-matian membingkai kritik itu sebagai upaya untuk mengkompromikan integritas wilayah Indonesia.
Setidaknya dua pernyataan pejabat pemerintah dan laporan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) yang diterbitkan selama sebulan terakhir dibuat, guna menantang diskusi Papua yang semakin populer.
Dalam tulisan The Jakarta Post pada 13 Juli, juru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah mengajukan kasus untuk “memisahkan” protes Black Lives Matter dari seruan untuk kemerdekaan Papua. Dia berpendapat, “perbandingan yang adil tidak dapat dibuat” antara situasi di AS dan Papua. Menurutnya, “BLM berasal dari sejarah diskriminasi dan rasisme terstruktur yang luas, sedang fondasi utama Indonesia adalah kesetaraan.”
Meskipun benar pengalaman rasisme AS dan Papua berbeda, ini adalah argumen yang buruk untuk mendukung klaimnya soal tidak ada rasisme terhadap orang Papua di Indonesia. Berbagai pemberitaan media, termasuk yang dimuat di The Jakarta Post, justru menggambarkan bagaimana orang Papua di luar Papua mengalami rasisme sehari-hari.
Insiden 2019 di Surabaya, Jawa Timur, tahun lalu, di mana pihak berwenang tercatat melontarkan hinaan rasis ke mahasiswa Papua, dan penangkapan puluhan orang Papua yang ikut dalam aksi massa, adalah contoh jelas bagaimana rasisme institusional melawan Papua telah merasuki badan penegak hukum.
Konstitusi AS dan Indonesia mungkin menggembar-gemborkan persamaan bagi semua orang, tetapi itu adalah cita-cita yang seringkali tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah kedua negara.
Lebih lanjut Faizasyah berpendapat, rasisme struktural tidak dapat ada di Papua karena “undang-undang otonomi khusus memberikan hak istimewa kepada penduduk setempat untuk mengatur provinsi mereka”. Pun, “upaya terstruktur sedang dilakukan untuk mempromosikan pembangunan yang berpusat di sekitar orang Indonesia asli Papua.”
Namun, studi yang dilakukan oleh peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sampai pada kesimpulan yang berlawanan. Bahwasanya, marginalisasi dan diskriminasi terhadap penduduk asli Papua adalah salah satu dari empat penyebab utama konflik di daerah, seiring dengan kegagalan pembangunan, perselisihan mengenai sejarah integrasi Papua, dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap orang asli Papua.
Kajian The Papua Road Map menyoroti bagaimana ekspresi budaya Papua sering dianggap sebagai bentuk simbolik perlawanan terhadap pemerintahan Indonesia. Penangkapan musisi West Papua Arnold Ap oleh Kopassus pada 1983 karena kritik sosial dan lagu-lagu protes misalnya, diikuti dengan pembunuhannya setahun kemudian, telah menghantui masyarakat Papua selama beberapa dekade.
Hal ini sama sekali tidak membantu, bahkan setelah Papua diberikan Otonomi Khusus, Jakarta mengandalkan peraturan pemerintah 2007 yang melarang simbol budaya tertentu seperti bendera Bintang Kejora. Menurut peneliti LIPI , itu berfungsi sebagai “pengingat tajam akan kecurigaan pemerintah pusat terhadap Ekspresi budaya Papua. ”
Hampir seminggu setelah tulisan Faizasyah diterbitkan, Jaleswari Pramodhawardani, Wakil Kepala Bidang Politik, Hukum, Pertahanan, Keamanan, dan Hak Asasi Manusia Kantor Staf Kepresidenan, menerbitkan sebuah opini di Kompas yang mempertanyakan manfaat mengaitkan protes BLM dengan perjuangan Papua.
Jaleswari mengulangi klaim Faizasyah, tidak ada rasisme sistemik di Papua. Ia pun membantah klaim pemerintah yang telah melakukan tindakan represif terhadap orang Papua dan gagal membawa kemakmuran bagi daerah tersebut. Dia mengatakan, klaimnya didukung oleh data, tetapi argumennya gagal untuk mengatasi masalah inti.
Seorang aktivis Papua mengecat wajahnya dengan bendera separatis Bintang Kejora, meneriakkan slogan-slogan selama aksi protes baru-baru ini. (Foto: AP)
Jaleswari mengutip studi UGM yang menyebutkan, kekerasan politik di Papua lebih banyak dilakukan oleh kelompok kriminal bersenjata yang terkait dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Studi yang dilakukan Satgas Papua UGM dan tampaknya bertujuan untuk melawan laporan Amnesty International Indonesia 2018 tentang pembunuhan di luar hukum di Papua, sangat bergantung pada laporan media. Kalau pun ada, penelitian itu sebenarnya mengakui kekerasan yang dilakukan aparat keamanan terhadap orang Papua.
Terlepas dari akurasi laporan tersebut, kebiadaban yang dilakukan oleh pemberontak bersenjata tidak boleh digunakan untuk menutupi kekerasan, termasuk pembunuhan di luar hukum oleh pasukan keamanan.
Laporan Amnesty merinci setidaknya 69 insiden pembunuhan di luar hukum yang melibatkan TNI dan polisi di Papua antara Januari 2010 dan Februari 2018. Pembunuhan tersebut merenggut 95 nyawa, 85 di antaranya adalah orang asli Papua. Salah satu temuan terpenting dari laporan ini, yakni sebagian besar kasus (41 di antaranya) terjadi dalam konteks peristiwa yang tidak terkait dengan seruan kemerdekaan atau referendum untuk Papua.
Tren pembunuhan di luar hukum terus berlanjut. Tahun ini saja, Amnesty telah mencatat setidaknya 11 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum oleh pasukan keamanan. Hal ini menunjukkan minimnya akuntabilitas pemerintah terkait dengan banyaknya insiden kekerasan politik di Papua. Kurangnya akuntabilitas atas kekerasan negara dikutip oleh studi penting LIPI sebagai salah satu masalah utama yang menghambat penyelesaian konflik di Papua.
Sungguh mengherankan jika Jaleswari mengabaikan studi LIPI yang didasarkan pada tiga tahun penelitian, dan justru merujuk pada studi bias politik dengan metodologi yang meragukan.
Hal yang lebih membingungkan lagi terkait argumen Jaleswari bahwa terpilihnya Indonesia ke Dewan HAM PBB merupakan bukti bangsa tersebut tidak dianggap oleh dunia internasional sebagai pelanggar hak-hak orang Papua. Pernyataan ini sangat jauh dari kenyataan.
Daftar masalah yang diangkat oleh Dewan Hak Asasi Manusia untuk Tinjauan Berkala Universal ketiga di Indonesia pada 2017 dan komunikasi tertulis Komite Hak Sipil dan Politik PBB menunjukkan, Indonesia masih menjadi sorotan atas pelanggaran hak di Papua dan Papua Barat. Mulai dari pembunuhan di luar hukum hingga perlakuan terhadap para pengungsi internal, dan kurangnya kebebasan berekspresi di kedua provinsi tersebut.
Patut dicatat, menurut Badan Pusat Statistik, indeks demokrasi nasional meningkat tahun lalu, dari 72,39 poin menjadi 74,92 poin. Namun, dari seluruh provinsi di Tanah Air, Papua Barat tercatat memiliki indeks demokrasi terparah, hanya 57,62 poin.
Tidak diragukan lagi transparansi adalah kunci untuk menyelesaikan masalah Papua. Oleh karena itu, patut disayangkan pemerintah dengan keras kepala menolak menangani masalah ini. Ini terus melecehkan mereka yang berusaha menjelaskan ketidakadilan di Papua. Bahkan setelah pengadilan menyatakan keputusannya untuk memberlakukan pemadaman internet selama kerusuhan anti-rasisme 2019 melanggar hukum.
Veronica Koman adalah satu dari sedikit pengacara yang mewakili orang Papua Barat. (Foto: Dateline)
Pengacara hak asasi manusia Veronica Koman adalah contohnya. Dia terpaksa hidup di pengasingan di Australia, tidak dapat kembali ke Indonesia setelah dituduh menyebarkan berita palsu karena melaporkan Papua dari akun media sosialnya. Pemerintah sekarang bahkan berusaha memaksanya untuk mengembalikan dana beasiswa sebesar Rp773,8 juta (US$ 52.760) yang ia terima untuk belajar hukum hak asasi manusia di Australian National University (ANU), sebuah kebijakan yang oleh Veronica disebut sebagai “hukuman finansial”.
Tidak dapat diabaikan fakta ada elemen di Papua yang menyerukan referendum atau kemerdekaan. Masalah Papua dapat dengan mudah dikaitkan dengan masalah separatisme.
Namun, seperti yang ditunjukkan oleh data yang disediakan oleh lembaga yang kredibel, diskriminasi rasial dan pelanggaran hak asasi manusia adalah kenyataan di Papua. Terlepas dari separatisme, pelanggaran ini harus diakui dan ditangani dengan sebaik-baiknya. Pemerintah tidak bisa lagi berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja di Papua dan harus mulai menghadapi kebenaran yang tidak menyenangkan tentang wilayah tersebut.
Penerjemah: Anastacia Patricia
Editor: Purnama Ayu Rizky
Keterangan foto utama: Terdakwa kasus makar Dano Tabuni (kiri) dan Ambrosius Mulait menunggu dimulainya sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Senin (16/12/2019). Sidang dakwaan kasus makar atas pengibaran bendera Bintang Kejora yang melibatkan enam aktivis Papua, Dano Tabuni, Ambrosius Mulait, Issay Wenda, Arina Elopere, Charles Kossay, dan Surya Anta tersebut ditunda oleh Majelis Hakim karena kuasa hukum belum mendapat berkas dakwaan dari jaksa penuntut umum. (Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/aww.)