Aliansi Teh Susu: Ketika Aktivis Myanmar dan Papua Barat Bersatu
Seorang perempuan memegang poster menentang kudeta militer Myanmar selama unjuk rasa Aliansi Teh Susu di Taipei, Taiwan, 28 Februari 2021. (Foto: Ann Wang/Reuters)
Berita Internasional > Aliansi Teh Susu: Ketika Aktivis Myanmar dan Papua Barat Bersatu
Ini adalah kombinasi yang sekilas tidak mungkin: bintang kejora bendera Papua Barat dan Myanmar berdampingan, Thai Enquirer melaporkan.
“Papua Mendukung Myanmar,” demikian bunyi spanduk itu, diunggah oleh aktivis Papua Veronica Koman. Dalam gambar pedih lainnya, sekelompok kecil orang Papua berdiri di Teluk Simora di kota pelabuhan Kaimana memegang spanduk bertuliskan: “Kami Mendukung Myanmar”.
Akun Twitter aktivis populer @AllianceMilkTea menanggapi: “Dan kami bersolidaritas dengan Anda Papua!”
Dikutip dari Thai Enquirer, anggota terbaru dari Aliansi Teh Susu ialah Papua, yang berasal dari kawasan yang kurang dikenal di ASEAN, di ujung timur Indonesia, di sebelah selatan Samudra Pasifik serta berbatasan dengan Laut Halmahera, Seram, dan Banda.
Papua lebih dikenal dengan daerah wisata Kepulauan Raja Ampat, kepulauan cantik yang memiliki keanekaragaman hayati laut terkaya di dunia. Namun, seperti anggota lain dari Aliansi Teh Susu, Papua adalah wilayah yang diliputi oleh penaklukan dan tirani.
Meski kebrutalan pasukan militer Jenderal Min Aung Hlaing dari Myanmar sangat mengerikan di hadapan publik, rakyat Papua juga memprotes pembunuhan dan gerakan kemerdekaan yang sebagian besar telah terhapus dari sejarah.
Pada Desember 2020, Benny Wenda, seorang pelarian politik Papua di Inggris, mendeklarasikan dirinya sebagai kepala pemerintahan pengasingan pertama Papua di bawah gerakan “Gerakan Persatuan Pembebasan Papua Barat” (ULMWP).
Pada bulan yang sama, Kantor Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa meminta semua pihak yang terlibat, yakni separatis Papua dan pasukan keamanan Indonesia, untuk mengurangi kekerasan di wilayah yang telah mengalami kematian aktivis, pekerja gereja, dan pejabat Indonesia.
Saat kampanye Papua Merdeka kembali meningkat, sejarah dan kekerasan negara baru-baru ini di wilayah tersebut layak ditinjau kembali. Semangat “Musim Semi Papua” tampak redup pada Maret 2021, membuat para diktator Asia Tenggara semakin berani. Namun, suara-suara yang telah lama ditekan di kawasan kini mulai didengar dam menjadi pencapaian tersendiri.
Sejarah klaim kemerdekaan Papua
Sejarah selalu menjadi alat yang rapuh dalam pertempuran antara negara dan penantang mereka. Klaim Indonesia untuk menguasai Papua sudah ada sejak era restorasi wilayah tersebut menjadi bagian dari Republik Indonesia dalam referendum penting tahun 1969, menurut laporan Thai Enquirer, yang ironisnya dinamai Penentuan Pendapat Rakyat (Act of Free Choice)
Inti dari kontroversi pepera adalah sistem musyawarah yang disepakati oleh Menteri Luar Negeri Indonesia dan Belanda, yang menetapkan bahwa pemungutan suara untuk restorasi Papua akan dilakukan oleh sekelompok perwakilan terpilih dan bukan seluruh populasi Papua. Pepera diawasi oleh perwakilan dari tim Sekretaris Jenderal PBB, memberikan pemerintah Indonesia legitimasi internasional yang diinginkan.
Namun, seperti yang ditunjukkan oleh studi dari University of Sydney, sejak 1963 pemerintahan militer Presiden Indonesia Soeharto berupaya dengan sengaja menghilangkan ekspresi identitas Papua yang unik. Pertunjukan budaya Papua dinyatakan “subversif”, kaum nasionalis Papua ditempatkan di bawah tahanan, dan para perwakilan dipilih dengan hati-hati untuk musyawarah. Naskah tersebut akrab bagi pengamat “referendum konstitusi” Thailand tahun 2016 yang sama kontroversialnya.
Seorang koresponden AFP melaporkan pada 1969, “pasukan dan pejabat Indonesia melancarkan kampanye intimidasi yang meluas untuk memaksakan Penentuan Pendapat Rakyat dengan memilih bergabung bersama Republik Indonesia”. Presiden Soeharto menyatakan bahwa memilih merdeka adalah tindakan makar. Akhirnya, 1.026 pemilih dipilih dari populasi 815.906 jiwa, semuanya memilih dengan suara bulat untuk integrasi dengan Tanah Air.
Pasca pemungutan suara Pepera, Papua langsung ditetapkan sebagai Zona Operasi Militer. Sejarawan Papua seperti John Rumbiak menyoroti represi militer dan polisi yang segera menyusul, terutama terhadap aktivis yang memprotes perampasan tanah dan hutan tradisional oleh perusahaan pertambangan dan perkebunan kayu. Ribuan tentara dikerahkan untuk menanggapi meningkatnya gerakan protes pada 1990-an, dengan “operasi hitam” direncanakan terhadap para pemimpin gerakan kemerdekaan Papua.
Sejak saat itu, Papua telah terperangkap dalam siklus kekerasan. Angkatan bersenjata Indonesia menuduh gerilyawan menghasut kekerasan separatis, membenarkan tindakan keras mereka di berbagai desa. Di bawah hukum Indonesia, mengibarkan bendera Papua Bintang Kejora akan dijatuhi hukuman hingga 15 tahun penjara.
Separatis seperti Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNB) yang bersenjata terus melakukan pemberontakan kecil-kecilan dalam perjuangan mereka untuk pemerintahan sendiri. Menurut kelompok hak asasi manusia Human Rights and Peace in Papua, enam puluh ribu orang Papua telah mengungsi dalam konflik berkepanjangan.
“Bangsa kami yang merdeka dirampas pada 1963 oleh pemerintah Indonesia,” tegas Benny Wenda dalam wawancara dengan The New York Times, “Kami mengambil langkah lain untuk merebut kembali hak hukum dan moral kami.”
Benny Wenda (seperti para penulis studi dari Universitas Sydney) berpendapat bahwa telah terjadi “genosida senyap” di Papua, ketika ribuan orang Indonesia dibunuh oleh aktor negara Indonesia dalam pertempuran mereka melawan separatis Papua.
Laporan Yale Law School tahun 2004 juga menyimpulkan bahwa “pemerintah Indonesia telah melakukan tindakan terlarang dengan maksud untuk menghancurkan orang Papua”, termasuk membuat pria dan perempuan Papua sebagai sasaran “tindakan penyiksaan, penghilangan paksa, pemerkosaan, dan kekerasan seksual”. Semua itu diperparah dengan eksploitasi sumber daya sistematis, tenaga kerja wajib (dan seringkali tidak dibayar), serta penyebaran HIV/AIDS dan malnutrisi dengan cepat.
Klaim Papua atas kemerdekaan dimulai pada 1961, menurut pemimpin Kongres Rakyat Papua Theys Hiyo Eluay. Eluay menegaskan bahwa Papua tidak pernah terintegrasi secara budaya dan politik dengan Indonesia, klaim yang tampaknya diperkuat oleh perbedaan etnis dari mayoritas penduduk Papua yang mendiami wilayah tersebut.
Dalam narasi yang sama-sama diangkat oleh Eluay dan Wenda, Papua mendeklarasikan kedaulatan pada 1 Desember 1961 saat Belanda menyerahkan klaim wilayah kepada pemerintah Indonesia.
“Visi yang sama tentang sejarah dan kedaulatan Papua dapat ditemukan di kalangan rakyat Papua biasa,” tulis akademisi Nino Viartasiwi.
Pemberontakan 2019: Kebangkitan Papua?
West Papuan have begun their movement for self determination.
For decades, mining companies and the Indonesian government have engaged in a program of systematic abuse, disappearances and persecution to keep their interests. #MilkTeaAlliancepic.twitter.com/RAu44ucmwx
Thai Enquirer mencatat, aliansi baru orang Papua dengan Aliansi Teh Susu adalah bagian dari upaya yang diperbarui untuk menarik perhatian internasional terhadap kekerasan yang mereka hadapi di tangan pasukan keamanan Indonesia selama setengah abad.
Tahun lalu, kampanye “Papuan Lives Matter” menyoroti kematian seorang pelajar berusia 19 tahun di tangan pasukan keamanan sebagai bagian dari fokus global pada kebrutalan polisi. Para aktivis menyoroti elemen rasial dari perjuangan Papua.
Aktor dan aktivis Indonesia kelahiran Inggris Hannah Al Rashid, dikutip dalam The Guardian mengatakan: “Saya bersolidaritas dengan Papuan Lives Matter, karena saya telah mengamati perlakuan tidak adil terhadap orang-orang berkulit gelap di Indonesia.”
Gerakan tahun 2020-2021 itu adalah kebangkitan yang lebih kecil dari Pemberontakan Papua Barat 2019 yang lebih besar. Mulai Agustus hingga September 2019, protes melanda 22 kota di Papua dan 3 kota di Indonesia sebagai tanggapan atas insiden ketika pasukan keamanan Indonesia meneriakkan “monyet” berulang kali kepada para pelajar Papua di Malang, Jawa Timur.
Sebagai tanggapan, lebih dari enam ribu anggota pasukan keamanan Indonesia dikerahkan untuk memadamkan pemberontakan. Sebanyak 61 warga sipil, termasuk 35 penduduk asli Papua, tewas dalam penumpasan itu. Menurut catatan TAPOL, kanal kampanye untuk hak asasi manusia, perdamaian, dan demokrasi di Indonesia, sebanyak 22.800 warga sipil mengungsi selama pemberontakan.
Siklus perlawanan dan penumpasan bukanlah hal baru di Asia Tenggara. Rakyat Papua menghadapi perjuangan tambahan untuk melawan pasukan keamanan yang tidak mereka klaim sebagai pasukan negara mereka sendiri, tetapi itu adalah pengalaman yang saat ini dirasakan oleh orang Karen, Kachin, Chin, atau Wa di Myanmar.
Solidaritas mereka dengan Aliansi The Susu sudah sesuai, memanfaatkan gerakan yang telah membangun solidaritas regional dan momentum untuk perjuangan lain melawan otoritarianisme.
Dengan sedikit keberuntungan, solidaritas yang tidak mungkin terjadi di dua bendera berbintang itu dapat membawa perjuangan Papua kembali ke sorotan internasional. Jika tidak, Thai Enquirer menyimpulkan, konflik Papua akan terus berlanjut di balik bayang-bayang, seperti yang terjadi sejak awal abad ke-21.
Penerjemah: Fadhila Eka Ratnasari
Editor: Aziza Larasati
Keterangan foto utama: Seorang perempuan memegang poster menentang kudeta militer Myanmar selama unjuk rasa Aliansi Teh Susu di Taipei, Taiwan, 28 Februari 2021. (Foto: Ann Wang/Reuters)
Aliansi Teh Susu: Ketika Aktivis Myanmar dan Papua Barat Bersatu