Apakah Eksperimen Demokrasi Malaysia Gagal?
Asia

Apakah Eksperimen Demokrasi Malaysia Gagal?

Berita Internasional > Apakah Eksperimen Demokrasi Malaysia Gagal?

Demokrasi Malaysia yang kocar-kacir bisa diperbaiki jika Muhyiddin berhasil mengumpulkan mayoritas di parlemen dan UMNO dapat direvitalisasi. Akankah itu terwujud?

Kurang dari dua tahun setelah pemilu perdana menteri Malaysia Mei 2018, menggulingkan koalisi yang lama berkuasa, ketegangan di dalam pemerintah meletus dalam beberapa pekan terakhir. Walhasil, politik negara itu jadi kacau balau.

Perdana Menteri Mahathir Mohamad mengundurkan diri akhir bulan lalu demi menyingkirkan sebagian besar sekutu dari koalisi Pakatan Harapan, yang telah mendukungnya meraih kemenangan melawan koalisi Barisan Nasional pada 2018, dan membentuk koalisi baru.

Koalisi baru itu mencakup partai lamanya, Organisasi Nasional Melayu Bersatu atau UMNO, yang memimpin Barisan Nasional di pemerintahan selama enam dasawarsa, dan Partai Islam Malaysia Islamis, atau PAS.

Baca Juga: PM Baru Malaysia Muhyiddin Yassin Hadapi Tantangan Besar

Namun anggota Pakatan Harapan lainnya melawan, dan Mahathir menghabiskan seminggu berunding dengan sekutu-sekutunya yang dulu. Raja Malaysia kemudian mencoba memperjelas kekacauan, dengan menunjuk kembali ia sebagai perdana menteri sementara dalam persiapan untuk pemilihan awal.

Pada akhirnya, bagaimana pun, langkah Mahathir menjadi bumerang. Raja memilih Muhyiddin Yassin, yang ikut mendirikan Bersatu, partai kecil yang disatukan Mahathir sebagai bagian dari Pakatan Harapan, sebagai perdana menteri baru, berkoalisi dengan UMNO dan PAS.

Mahathir keberatan, mengklaim mayoritas parlemen masih mendukungnya sebagai perdana menteri. Pemilihan Muhyiddin juga memicu kemarahan banyak orang Malaysia. Mereka mengklaim mereka tidak memilih Muhyiddin. Mereka juga mengecamnya karena bersekutu dengan UMNO, yang telah lama dikenal karena korupsi dan keotoriterannya.

Namun, protes itu tidak menghentikan Muhyiddin dari dilantik secara resmi sebagai perdana menteri pada 1 Maret. Dia mengumumkan kabinetnya minggu ini. Dengan dibatalkannya hasil pemilu 2018, dan UMNO kembali berkuasa, Malaysia berada pada titik kritis: Ini dapat berarti kembalinya otokrasi, atau kekuatan yang menyapu UMNO dari kekuasaan pada 2018 dapat menang sekali lagi. Yang dipertaruhkan adalah perjuangan Malaysia untuk membersihkan politiknya dan menentang arus kemunduran demokrasi di Asia Tenggara.

Di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Najib Razak, UMNO dan Barisan Nasional menjadi terkenal selama 2010 karena menindak masyarakat sipil dan media, memicu ketegangan rasial dan dilaporkan memungkinkan para menteri untuk menggunakan pengaruhnya untuk mengumpulkan kekayaan pribadi.

Najib sendiri diduga mencuri lebih dari US$600 juta dari dana kekayaan negara, yang dikenal sebagai 1MDB. Pada pemilu 2018, pemilih jelas menolak gaya tidak liberal UMNO dan suap yang semakin endemik. Najib sekarang telah diadili, bersama dengan istrinya dan anggota-anggota UMNO terkemuka lainnya; mantan perdana menteri menghadapi setidaknya 25 tuduhan termasuk pencucian uang dan penyalahgunaan kekuasaan.

Pada tahun pertama, pemerintah Mahathir melakukan beberapa reformasi kelembagaan, termasuk rencana untuk membuat komisi pemilu negara itu non-partisan, dan untuk menciptakan kontrol dan keseimbangan yang lebih kuat pada cabang eksekutif.

Namun, perpecahan dalam aliansi darurat ini segera muncul. Mahathir, yang sebelumnya menjabat sebagai perdana menteri dari 1981 hingga 2003, selama era Barisan Nasional, telah memimpin Pakatan Harapan karena pemimpin oposisi utama, Anwar Ibrahim, masih di penjara selama pemilu. Kepemimpinan Pakatan Harapan juga berpikir Mahathir dapat memikat pemilih Melayu konservatif untuk menempatkan koalisi di kekuasaan.

Taruhan itu terbayar, tetapi partai Mahathir sendiri hanya memenangkan sembilan kursi dalam pemilu. Partai Keadilan Rakyat dan Partai Aksi Demokrasi, yang sebagian besar beranggotakan etnis Tiongkok dari Pakatan Harapan, keduanya memenangkan kursi yang jauh lebih banyak. Dengan kata lain, Mahathir menjadi perdana menteri tetapi memiliki paling sedikit anggota parlemen yang setia kepadanya dari partai mana pun dalam koalisi. Itu adalah situasi yang genting.

Anwar Ibrahim

Anwar Ibrahim dan Dr Mahathir Mohamad. (Foto: The Star)

Baca Juga: PM Malaysia Muhyiddin dan Drama Kabinet Barunya

Tepat setelah pemilu, Mahathir mengatakan dia akan memegang jabatan hanya untuk satu atau dua tahun dan kemudian menyerahkan kekuasaan kepada Anwar, yang menerima grasi setelah pemilu dan mengambil kursi di parlemen.

Namun, ketidakpercayaan kembali membara di antara kedua pria ini, yang dulunya pernah berseteru. Mahathir sebelumnya pernah menjadikan Anwar sebagai penggantinya, pada 1990-an, namun kemudian menyingkirkannya, menjebloskan Anwar ke penjara dengan tuduhan sodomi yang meragukan. (Sodomi merupakan kejahatan di Malaysia, di mana mayoritas penduduknya Muslim.)

Mahathir dan sekutunya kemudian meragukan rencana untuk suksesinya. Mahathir lebih memilih mantan menteri ekonomi, Azmin Ali, sebagai penggantinya.

Anggota Pakatan Harapan lainnya mendesak Mahathir untuk menetapkan tanggal resmi penyerahan kekuasaan kepada Anwar, seiring koalisi itu menghadapi perselisihan internal mengenai perbedaan kebijakan, serta cara mengatasi tatanan multi-etnis Malaysia.

Mahathir telah lama yakin pada keunggulan mayoritas etnis Melayu di negara itu, sementara Anwar dan tentu saja para pemimpin Partai Aksi Demokratis menginginkan Malaysia untuk bergerak menuju kesetaraan penuh.

Beberapa pemilih Malaysia bosan dengan konflik internal Pakatan Harapan dan lambatnya beberapa reformasi. Salah satu jajak pendapat Oktober lalu menemukan peringkat persetujuan Pakatan Harapan hanya 38 persen, meskipun itu tidak berarti orang Malaysia ingin kembali ke pemerintahan di bawah UMNO. Namun, ketidakpuasan publik yang meningkat memberi Mahathir, dan kemudian Muhyiddin, sebuah celah untuk mengguncang lanskap politik.

Perdana menteri baru telah bersumpah untuk terus membersihkan pemerintah, dan walaupun tidak ada anggota kabinet barunya yang menghadapi tuduhan korupsi, ia telah menunjuk Azmin, yang membelot untuk bergabung dengan Muhyiddin, dan banyak pemimpin UMNO, termasuk sepupu Najib.

Namun, Muhyiddin akan menghadapi perlawanan keras di parlemen, dan di antara publik, terutama jika ia tampak seperti bidak UMNO. Satu tanda jelas yang menandakan partai tersebut yakin dapat memutar balik waktu adalah jika pemerintah membatalkan persidangan Najib dan mantan pemimpin UMNO lainnya.

Meskipun terpecah dalam Pakatan Harapan, para pemimpin koalisi telah mendukung Mahathir dalam menuntut restorasinya sebagai perdana menteri. Mereka sedang mempertimbangkan mosi tidak percaya di parlemen untuk mencoba dan menggulingkan pemerintahan Muhyiddin.

Mosi tidak percaya yang mengembalikan Mahathir sebagai perdana menteri, yang didukung oleh organisasi masyarakat sipil dan protes rakyat, paling tidak akan membuat demokrasi Malaysia kembali ke jalurnya.

Jika itu berhasil, menurut Joshua Kurlantzick, peneliti senior Asia Tenggara di Council on Foreign Relations, Pakatan Harapan harus menyelesaikan ketegangan internal, baik untuk meyakinkan publik ia dapat memerintah secara efektif dan untuk mendesak Mahathir, yang akan berusia 95 tahun ini, untuk benar-benar berkomitmen pada rencana suksesi.

Namun, jika Muhyiddin berhasil mengumpulkan mayoritas di parlemen, ia dapat mengabdi selama bertahun-tahun, dan UMNO dapat direvitalisasi. Dengan Thailand, Filipina, dan Indonesia semuanya mengalami berbagai tingkat degradasi demokrasi, posisi Malaysia sebagai contoh kemajuan di Asia Tenggara akan hilang.

 

Penerjemah: Nur Hidayati

Editor: Purnama Ayu Rizky

Keterangan foto utama: Muhyiddin dan drama kabinet barunya. (Foto: Asia Sentinel)

Apakah Eksperimen Demokrasi Malaysia Gagal?

BERLANGGANAN

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top