Hubungan China-Asia Tenggara
Asia

Asia Tenggara di Ambang Bentrokan AS-China Usai Pandemi COVID-19

Para pelaut China berbaris selama upacara pembukaan Latihan Maritim ASEAN-China di sebuah pelabuhan militer di Zhanjiang, di provinsi Guangdong selatan China, 22 Oktober 2018. (Foto: STR/AFP/Getty Images)
Berita Internasional > Asia Tenggara di Ambang Bentrokan AS-China Usai Pandemi COVID-19

Pandemi COVID-19 kian menegaskan ketegangan antara Amerika Serikat dan China, khususnya dalam berebut pengaruh di kawasan Asia Tenggara. Asia Tenggara akan menghadapi lebih banyak tekanan dari sebelumnya untuk memihak negara adidaya ketika pandemi akhirnya berlalu.

Ketika dunia terhenti sejenak di tengah wabah, pandemi COVID-19 telah memunculkan persaingan yang semakin tegang antara China dan Amerika Serikat. Dimensi paling berbahaya dari persaingan itu dapat terjadi di Asia Tenggara, kawasan yang menjadi pusat ketegangan strategis antara kedua negara adidaya dan strategi ekonomi yang saling bersaing.

Di satu sisi, China telah berusaha untuk memosisikan dirinya sebagai pemimpin global dalam masa krisis dan mengejar kampanye “diplomasi medis” di Asia Tenggara dan seluruh dunia, meskipun menjadi sumber awal dari virus corona baru yang telah menyebabkan gangguan global paling melemahkan sejak Perang Dunia II.

Di sisi lain, pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump secara luas dipandang memberikan tanggapan yang tidak layak terhadap pandemi, di dalam negeri maupun internasional. Pemerintahan Trump dianggap telah menebarkan keraguan penting tentang kepemimpinan Amerika, termasuk kegagalannya untuk bekerja dengan sekutu dan musuh untuk meningkatkan tanggapan global yang kredibel dan efektif bagi darurat kesehatan.

Baca Juga: Dampak Virus Corona bagi Hubungan AS China

Negara-negara adikuasa AS dan China telah terlibat dalam perang narasi dengan saling menyalahkan atas kematian dan gangguan yang disebabkan oleh penyakit menular COVID-19. Seorang juru bicara pemerintah China bahkan menuduh militer Amerika menanam virus di China, sementara pemerintahan Trump sebelumnya bersikeras menyebut virus corona baru sebagai “virus China”.

Ketegangan yang terkait dengan penularan wabah yang kian meningkat telah menempatkan Asia Tenggara (kawasan yang berjuang untuk membendung penyebaran pandeminya sendiri) di ambang konflik baru.

“Ketika kerja sama AS-China sangat dibutuhkan, saling tuding dan perselisihan antara Amerika dan China telah membuat seluruh dunia jelas tidak terkesan,” tutur Ian Storey, peneliti senior di ISEAS-Yusof Ishak Institute di Singapura. “COVID-19 telah memberikan pukulan telak bagi citra China dan AS.”

Keterlepasan (decoupling) dua negara sudah terjadi bahkan sebelum pandemi melanda. Pemerintahan Trump secara konsisten menjadikan China sebagai ancaman utama bagi kepentingan ekonomi dan keamanan Amerika.

Cengkraman Dominasi China di Asia Tenggara: Kekhawatiran atau Kenyataan?

Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo (tengah) berpose dengan para Menteri Luar Negeri ASEAN di Singapura, pada tanggal 3 Agustus 2018. (Foto: AFP/Roslan Rahman)

Menjelang Pilpres AS 2020, narasi saling keterlepasan kemungkinan akan membuahkan dampak pasca-pandemi, terutama mengingat kekurangan akut AS akan alat medis yang diproduksi sebagian besar di China, dan distribusi pasokan China secara strategis untuk menyenangkan para sekutu dan menghancurkan para pesaing.

Dalam beberapa minggu terakhir, China berencana untuk mencetak poin diplomatik di Asia Tenggara dengan menyediakan pasokan medis, termasuk di Filipina, Laos, dan Thailand.

Jika Amerika Serikat dan China masing-masing kehilangan akses ke pasar tunggal terbesar mereka di luar negeri dalam skenario pasca-pandemi seperti itu, Asia Tenggara yang berorientasi perdagangan dan kaya sumber daya akan meraih kepentingan strategis yang lebih besar daripada sebelumnya.

Jika tatanan pasca-pandemi memunculkan kontes adikuasa zero-sum untuk kepemimpinan global, upaya-upaya diplomatik kemungkinan akan semakin intensif untuk meminta visi persaingan negara-negara anggota Asosiasi Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN) demi masa depan strategis kawasan.

Keduanya memiliki kelebihan masing-masing. Strategi Indo-Pasifik Bebas dan Terbuka (FOIP) AS menggunakan program-program pemerintahan dan ekonomi yang berfokus pada katalis investasi swasta dalam proyek-proyek infrastruktur di kawasan yang disebut “Indo-Pasifik”, upaya untuk menangkal program pembangunan infrastruktur global China Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) senilai US$1 triliun.

Istilah “Indo-Pasifik” mengacu pada konsep strategis yang baru-baru ini diadopsi dan dikembangkan oleh pemerintahan Trump yang memimpikan Samudra Hindia dan Pasifik sebagai teater strategis tunggal yang secara sengaja bertujuan melemahkan sentralitas regional China.

Komponen keamanan strategi Amerika Serikat mengacu pada aliansi “Quadrilateral” (Quad) di antara kekuatan-kekuatan maritim utama India, Jepang, dan Australia. Mereka semua memiliki kemampuan angkatan laut yang memproyeksikan kekuatan untuk menantang meningkatnya ketegasan China di wilayah maritim seperti Laut China Selatan.

Namun, inisiatif itu telah gagal untuk lepas landas di Asia Tenggara, di mana ada kesan di antara para ahli dan pengamat bahwa pemerintahan Trump telah melepaskan diri dari kawasan tersebut, termasuk lewat kelangkaan diplomasi tingkat atas.

Keterlibatan dengan ASEAN yang berorientasi keamanan (yang dipimpin oleh Pentagon) sebaliknya telah memandu kebijakan Trump yang mengonfrontasi China.

“Masalah terbesar dengan pemerintahan Trump dan Asia Tenggara adalah, Gedung Putih dan Departemen Luar Negeri AS tidak ada atau kurang terlibat dengan kawasan daripada selama pemerintahan (mantan Presiden AS Barack) Obama,” tutur Malcolm Cook, peneliti senior di ISEAS-Yusof Ishak Institute.

“Departemen Pertahanan, Departemen Luar Negeri, dan Gedung Putih masing-masing menjalankan strategi keterlibatan mereka sendiri dengan Asia Tenggara. Dephan AS telah melakukan pekerjaan yang jauh lebih baik daripada Gedung Putih dan Deplu AS di bawah pemerintahan Trump, sehingga postur AS terlihat sangat berorientasi pertahanan,” ujar Cook kepada Asia Times.

Sebelum pandemi COVID-19, menurut analisis Nile Bowie dari Asia Times, hubungan Amerika-Asia Tenggara bisa dibilang mencapai titik terendah sejak Trump menjabat sebagai presiden pada awal 2017. Hubungan itu telah terputus sejak Trump mundur dari pakta perdagangan multilateral Kemitraan Trans-Pasifik (TPP), yang dirancang oleh pemerintahan Obama secara eksplisit untuk mengecualikan China dari tatanan yang berpusat pada AS. Hubungan itu juga tegang karena tidak hadirnya pemimpin AS di pertemuan tahunan KTT ASEAN 2019.

Kritik terhadap strategi Trump (termasuk dari Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong, sekutu setia AS) telah menentang penggunaan tarif sepihak oleh Amerika untuk mengatasi ketidakseimbangan perdagangan dan upaya untuk menekan negara-negara agar memihak di antara dua negara adidaya, sehingga membagi wilayah itu menjadi saingan AS dan blok-blok yang beraliansi dengan China.

“Negara-negara ASEAN tidak akan mengikuti inisiatif AS yang berusaha untuk bersaing dengan China dan mengubah Asia Tenggara menjadi arena utama kompetisi China-AS,” ujar Storey. “Terdapat risiko, jika Amerika mendorong negara-negara Asia Tenggara terlalu jauh dalam persaingannya dengan China, hal itu akan mengasingkan negara-negara di kawasan.”

Hubungan China-Asia Tenggara

Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad (kiri) dan Perdana Menteri China Li Keqiang berbicara saat upacara penandatanganan di Balai Agung Rakyat di Beijing pada tanggal 20 Agustus 2018. (Foto: AFP/How Hwee Young)

Investasi asing langsung (FDI) kumulatif AS di kawasan Indo-Pasifik mencapai US$941,2 miliar pada 2017, jauh melebihi US$307,7 miliar dari China. Sementara itu, China telah menjadi mitra dagang terbesar ASEAN selama lebih dari satu dekade. Meski demikian, para elit kebijakan luar negeri kawasan itu telah melontarkan kekhawatiran atas Inisiatif Sabuk dan Jalan.

Laporan State of Southeast Asia Survey 2020 yang diterbitkan pada Januari 2020 oleh ISEAS-Yusof Ishak Institute menunjukkan, walau China sekarang dipandang secara luas sebagai aktor strategis paling berpengaruh di kawasan, namun para responden survei (terutama dari jabatan publik, akademisi, dan lembaga penelitian) memandang peningkatan dominasi China dengan gelisah.

Dari 1.300 responden survei, lebih dari 60 persen “tidak mempercayai” China, naik dari sekitar 52 persen pada 2019. Hampir 40 persen responden setuju, China adalah “kekuatan revisionis yang bermaksud mengubah Asia Tenggara menjadi wilayah pengaruhnya.”

Hasil survei itu juga menunjukkan penurunan tajam dalam kepercayaan regional terhadap Amerika.

Hampir setengah dari responden atau sebanyak 47 persen mengatakan memiliki sedikit atau tidak ada kepercayaan terhadap AS sebagai mitra strategis dan penyedia keamanan regional. Sementara itu, persentase yang memilih AS sebagai kekuatan politik terkemuka di kawasan tersebut turun menjadi 27 persen dari 31 persen pada 2019.

Lebih dari 73 persen responden survei mengatakan, kekhawatiran utama mereka adalah ASEAN menjadi arena kompetisi antara kekuatan-kekuatan besar. Sementara itu, hampir 80 persen responden memandang China sebagai kekuatan ekonomi paling berpengaruh di kawasan itu, naik dari 73 persen pada 2019.

Namun, belum pasti bagaimana dampak krisis COVID-19 akan berdampak pada persepsi regional China sebagai mitra ekonomi unggulan kawasan itu. Namun, beberapa orang percaya, situasinya telah memperlihatkan ketergantungan yang tidak dapat dipertahankan terhadap perdagangan dan investasi China.

“Saya kira orang-orang di Asia Tenggara sekarang akan menyadari, Inisiatif Sabuk dan Jalan serta proyek infrastruktur yang didanai besar-besaran oleh China yang melibatkan sebagian besar bank-bank BUMN dan perusahaan-perusahaan milik negara, ada risiko yang menyertai, bukan hanya masalah keuangan,” tegas Ryan Clarke, peneliti senior di East Asian Institute, lembaga think tank yang berbasis di Singapura.

“Ketika bukti dan data menjadi lebih jelas di sekitar vektor penyebaran COVID-19 dan korelasi antara wabah itu dan intensitas kegiatan di sekitar proyek infrastruktur di geografi tertentu, saya pikir itu akan membuat orang-orang melihat investasi China dalam pendanaan proyek infrastruktur besar dengan cara yang jauh berbeda dari sebelumnya.”

Meskipun belum ada indikasi personel China yang mengelola Inisiatif Sabuk dan Jalan dan proyek lainnya berkontribusi terhadap penyebaran regional COVID-19, Asia Tenggara mungkin memiliki alasan untuk kurang terbuka daripada sebelumnya untuk bantuan, investasi, dan pariwisata China karena krisis kesehatan menyoroti ketergantungan kuat kawasan itu pada input rantai pasokan terkait manufaktur dari China.

“Semua orang sadar bahwa China menutup-nutupi tindakan penindasan mereka dan dalam beberapa kasus penghapusan langsung informasi epidemiologis yang kritis sejak awal wabah. Hal itu menjadi alasan besar penyebaran wabah terjadi seburuk ini,” tegas Clarke. “Orang-orang jelas khawatir. Saya pikir dampak itu akan bertahan lama dan membentuk interaksi dengan China di Asia Tenggara.”

Walau negara-negara regional sekarang dapat mengevaluasi kembali Inisiatif Sabuk dan Jalan dan proyek-proyek infrastruktur lainnya dengan persyaratan yang lebih kritis daripada sebelumnya, penurunan ekonomi yang dipicu pandemi COVID-19 yang diproyeksikan untuk ASEAN dapat membuat pemerintah kawasan mengejar kesepakatan dan pertumbuhan baru dalam rangka upaya pemulihan dari China.

Namun, kinerja ekonomi China sendiri sangat bergantung pada permintaan yang berkelanjutan dari pasar Eropa dan Amerika Serikat, yang sama-sama terhenti selama wabah mematikan itu. Pertumbuhan China bisa melambat menjadi 2,9 persen tahun ini, berpotensi menjadi tingkat paling lambat sejak Revolusi Kebudayaan, menurut para ekonom dari puluhan proyek bank.

“Pasar-pasar utama di Asia Tenggara ingin menjalankan urusan mereka sendiri dan memiliki kendali atas semua variabel inti yang menentukan masa depan ekonomi mereka secara keseluruhan,” tutur Clarke. Ia menambahkan, kawasan itu akan “mulai lebih fokus pada penentuan nasib mereka sendiri, karena menolak mengandalkan pihak ketiga yang berada di luar kawasan” sebagai akibat dari pandemi.

Jika ASEAN mengambil sikap yang lebih skeptis mengenai integrasi dan konektivitas dengan China, ekonomi yang diarahkan oleh investasi asing di kawasan itu dapat memberi bobot lebih besar pada inisiatif ekonomi yang dipromosikan oleh strategi Indo-Pasifik dari Amerika, termasuk rencana Blue Dot Network (BDN) untuk menetapkan proyek infrastruktur global yang “berkelanjutan”.

Baca Juga: Kebijakan Amerika atas China Tak Gagal, Hanya Perlu Penyesuaian Ulang

Amerika Serikat, Jepang, dan Australia mengumumkan inisiatif tersebut pada November 2019, sementara menyangkal itu sebagai respons kompetitif terhadap Inisiatif Sabuk dan Jalan China.

BDN (yang belum menjelaskan rencana pengeluaran moneternya) berupaya untuk mempromosikan investasi yang dipimpin sektor swasta dalam proyek-proyek pembangunan, yang kontras dengan strategi China yang dipimpin oleh negara.

Tidak ada negara ASEAN yang masuk ke jaringan tersebut, menurut para analis, yang belum sepenuhnya disempurnakan.

“Amerika tidak melakukan inisiatif sejenis BRI,” ucap Storey, “Tapi jangan lupa, investasi kumulatif Amerika di Asia Tenggara lebih besar daripada total gabungan China, Jepang, dan Korea Selatan. Ada ribuan perusahaan yang melakukan transaksi di kawasan ini, secara diam-diam dan efisien.”

Nile Bowie dari Asia Times menyimpulkan, masih terlalu dini untuk menentukan apakah kedaruratan COVID-19 akan menetapkan bentuk pasti tatanan regional bercabang pasca-pandemi.

“Satu-satunya hal yang dapat kita yakini adalah, ketika kita pulih dari krisis ini, dunia akan menjadi tempat yang sangat berbeda dan jauh lebih sulit,” pungkas Storey.

 

Penerjemah: Fadhila Eka Ratnasari

Editor: Aziza Fanny Larasati

Keterangan foto utama: Para pelaut China berbaris selama upacara pembukaan Latihan Maritim ASEAN-China di sebuah pelabuhan militer di Zhanjiang, di provinsi Guangdong selatan China, 22 Oktober 2018. (Foto: STR/AFP/Getty Images)

Asia Tenggara di Ambang Bentrokan AS-China Usai Pandemi COVID-19

BERLANGGANAN

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top