Asia

Bagi Azerbaijan, Menang Perang Lebih Mudah daripada Berdamai dengan Armenia

Personel Angkatan Bersenjata Azerbaijan membawa senapan di hadapan bentangan bendera nasional Azerbaijan. (Foto: The National Interest)
Berita Internasional > Bagi Azerbaijan, Menang Perang Lebih Mudah daripada Berdamai dengan Armenia
Advertisements

Pada Oktober 2020, Yusif Budaqov, penembak jitu muda yang bertempur di tentara Azerbaijan dalam pertempuran Nagorno-Karabakh, tewas 2 minggu setelah ulang tahunnya yang ke-23, salah satu dari ribuan korban dalam konflik dengan Armenia. Keluarganya masih berduka atas dirinya, memenuhi rumah mereka dengan foto masa kecil dan hari-hari awal militer Budaqov. Sangat kecil kemungkinan untuk berdamai dengan Armenia begitu pertempuran telah berakhir, menurut ibunya Latafa Budaqova.

“Itu tidak mungkin,” kata Latafa. “Mereka datang ke tanah kami dan anak-anak kami mati karena mereka.”

Selama bertahun-tahun, Azerbaijan dan Armenia berselisih tentang klaim mereka yang saling bertentangan atas Nagorno-Karabakh. Daerah kantong itu diakui secara internasional sebagai bagian dari Azerbaijan, tetapi dikendalikan oleh etnis Armenia selama hampir 3 dekade, The Wall Street Journal melaporkan.

Musim gugur lalu, pasukan Azerbaijan merebut kembali sebagian besar wilayah tersebut. Gencatan senjata berikutnya yang ditengahi oleh Rusia pada November 2020 bertujuan untuk mengakhiri perselisihan atas daerah kantong pegunungan itu untuk selamanya.

Baca juga: Jatuh Tertimpa Tangga, Nagorno-Karabakh Bergulat dengan Perang dan COVID-19

Namun, skala kerugian di kedua sisi dan permusuhan yang mengakar mempersulit upaya melanjutkan dan membangun kembali provinsi yang hancur. Akibatnya, tempat itu mudah tersulut tidak hanya untuk Azerbaijan dan Armenia, tetapi juga untuk stabilitas yang lebih luas dari domain tradisional Rusia di Kaukasia Selatan.

Sekitar 2.855 tentara Azerbaijan tewas selama 6 minggu pertempuran yang meletus pada 27 September 2020, menurut Kementerian Pertahanan Azerbaijan. Lebih dari 100 masih belum ditemukan. Otoritas Armenia mengatakan lebih dari 3 ribu tentara mereka tewas, sementara jumlah korban sipil sekitar 150, menurut penghitungan resmi dari Armenia dan Azerbaijan.

“Ada banyak tragedi di kedua sisi. Lukanya sangat dalam,” kata Natig Jafarli, politisi oposisi Azerbaijan yang mengepalai organisasi penelitian yang menurutnya telah bekerja untuk menjalin kontak antara Azerbaijan dan Armenia di Nagorno-Karabakh, dengan tujuan mendorong beberapa langkah rekonsiliasi.

Lautan bendera Azerbaijan yang diangkat para penonton parade kemenangan di Baku, ibu kota Azerbaijan, Kamis, 10 Desember 2020 atas konflik Nagorno-Karabakh. (Foto: Aziz Karimov/Reuters)

Masing-masing pihak menyalahkan satu sama lain karena memicu konflik musim gugur lalu. Meskipun keduanya adalah bekas republik Soviet, mereka terpecah oleh budaya, agama, dan kesetiaan kepada negara-negara besar di kawasan itu. Azerbaijan bersekutu dengan Turki, sedangkan Armenia memiliki ikatan yang kuat dengan Rusia, yang mempertahankan pangkalan militer di sana.

The Wall Street Journal mencatat, konflik tentang siapa yang harus mengontrol Nagorno-Karabakh juga dapat kembali pecah jika kedua belah pihak gagal membangun rekonsiliasi dengan satu sama lain.

Banyak orang Armenia telah menyerukan Perdana Menteri Nikol Pashinyan agar mengundurkan diri karena telah mengakui gencatan senjata, yang dikecam sebagai tindakan penyerahan diri. Komunitas diaspora Armenia di Amerika Serikat, Eropa, dan tempat lain telah memperingatkan Azerbaijan untuk memberikan hak dan perlindungan yang sama bagi orang-orang Armenia yang mungkin memilih untuk kembali ke daerah yang sekarang di bawah kendali Azerbaijan.

Para pejabat Azerbaijan menuduh pasukan Armenia menggunakan bom cluster terlarang di beberapa kota Azerbaijan seperti Barda selama konflik musim gugur lalu. Klaim itu didukung oleh laporan Amnesty International baru-baru ini.

Masing-masing pihak juga menuduh pihak lain terus menganiaya tawanan perang. Keduanya menyangkal klaim satu sama lain.

Hikmet Hajiyev, penasihat kebijakan utama Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev, mengakui bahwa menemukan kesamaan antara kedua negara menantang. Namun, kedua belah pihak telah sepakat untuk bekerja sama untuk menghidupkan kembali ekonomi Nagorno-Karabakh serta memperkuat hubungan perdagangan dan kereta api, komponen penting dari kesepakatan perdamaian.

Wakil Perdana Menteri Armenia, Azerbaijan, dan Rusia diharapkan bertemu di Moskow pada Sabtu (30/1) untuk memulai diskusi.

“Dalam operasi militer apa pun, memenangkan perang terkadang jauh lebih mudah daripada memenangkan perdamaian,” ujar Hajiyev.

Ali Hajizade, analis politik di Baku, mengatakan bahwa tanpa rekonsiliasi antara rakyat Azerbaijan dan Armenia, perdamaian yang berkelanjutan takkan mungkin terjadi. “Ini adalah tujuan yang bisa dicapai, tapi sekarang tidak mungkin dilakukan.”

Azerbaijan tampaknya lebih unggul dalam proses perdamaian. Didanai sebagian oleh kekayaan minyak, kemampuan militernya jauh lebih unggul daripada Armenia. Mereklamasi wilayah yang hilang dari Armenia selama runtuhnya Uni Soviet telah lama menjadi tujuan para pemimpinnya. Antusiasme untuk mendapatkan kembali teritorial Armenia di Nagorno-Karabakh terlihat jelas.

Baca juga: Besar Kepala Menang Perang, Azerbaijan-Turki Gelar Latihan Militer Akbar

Perayaan telah menyebar ke seluruh Azerbaijan sejak gencatan senjata ditandatangani. Media lokal masih membanggakan kemenangannya. Di ruang imigrasi dan bagasi di bandara internasional Baku, tanda-tanda yang tergantung di dinding dan di atas bilik pemeriksaan paspor menyambut penumpang yang datang dengan pernyataan: “Nagorno-Karabakh adalah milik kami. Nagorno-Karabakh adalah Azerbaijan. ”

“Selama 30 tahun terakhir, kehidupan sosial, kehidupan ekonomi, dan kebijakan luar negeri Azerbaijan semuanya didedikasikan untuk satu masalah saja: Nagorno-Karabakh,” tegas Ahmad Alili, direktur Caucasus Policy Analysis Center, lembaga studi independen di Baku, dilansir dari The Wall Street Journal.

Mereka yang kehilangan orang yang dicintai dalam konflik merasa cemas karena melihat pengorbanan mereka diabaikan, saat kedua negara mulai bekerja menuju perdamaian abadi, Alili memperingatkan.

“Apa yang tersisa untuk orang tua atau istri tentara yang gugur adalah nama anak atau suami yang tidak bisa dilupakan,” keluh Alili.

Selama percakapan telepon terakhirnya dengan putranya, Latafa Budaqova menyuruhnya untuk berhati-hati. Yusif Budaqov mengatakan kepada Latafa bahwa sehari sebelum panggilan telepon mereka, sekitar 20 tentara Azerbaijan telah terbunuh di Fizuli, distrik yang diklaim Azerbaijan. Yusif sedang menuju ke sana untuk membantu mengamankan area sebelum jenazah mereka dapat diambil.

Saat tembakan artileri menghujani, Yusif terjebak dalam baku tembak. Sebuah peluru memutuskan arteri di kakinya dan dia mengeluarkan darah, kata ibunya.

The Wall Street Journal mengisahkan, Latafa Budaqova dan saudara perempuannya berduka atas kehilangan mereka, di ruang tamu yang juga berfungsi sebagai tempat suci bagi Yusif. Poster dengan fotonya digantung di gerbang dan pagar luar, yang juga dilakukan oleh keluarga lain yang kehilangan anak dalam perang.

Dinding di dalamnya ditutupi dengan kolase foto ketika Yusif masih kecil dan ketika dia pertama kali bergabung dengan militer. Gambar-gambarnya menghiasi permukaan jam dinding, tergantung di samping salah satu seragam tentara pertamanya.

Yusif Budaqov tidak takut untuk maju ke depan, kenang Latafa Budaqova, menambahkan bahwa dia percaya perang itu bermanfaat jika Azerbaijan merebut kembali tanah yang hilang. “Namun, jika anak saya masih di sini, semuanya akan jauh lebih baik.”

 

Penerjemah: Fadhila Eka Ratnasari

Editor: Aziza Larasati

Keterangan foto utama: Personel Angkatan Bersenjata Azerbaijan membawa senapan di hadapan bentangan bendera nasional Azerbaijan. (Foto: The National Interest)

Bagi Azerbaijan, Menang Perang Lebih Mudah daripada Berdamai dengan Armenia

BERLANGGANAN

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top