Ketika planet ini bergulat dengan pandemi COVID-19, Beijing diam-diam mencuri kesempatan untuk melakukan sesuatu, ungkap sebuah laporan.
Bagaimana wabah virus lokal di pasar basah Wuhan, China, berubah jadi pandemi global yang mengancam kehidupan jutaan orang dan membuat negara terhenti, hanya dalam empat bulan?
Pertanyaan itu kini menghantui lebih dari 150 negara, mulai dari Asia, Eropa, Amerika Utara, hingga Amerika Selatan, yang terpaksa memerangi musuh yang tak terlihat.
“Pengungkapan informasi yang terlambat serta tidak memadai di Beijing di sisi lain telah mempercepat penyebaran virus global. Manipulasi informasi China pun terus menghambat upaya tanggapan. Sekarang, ketika dunia bergulat dengan pandemi, dengan korban berjatuhan dan ekonomi yang lesu, Beijing bermanuver ‘mengambil peluang’ dari krisis,” ungkap sebuah laporan yang dirilis Horizon Advisory, konsultan di Washington dan New York, yang fokus di ekonomi dan politik China.
“Saat ini, situasi COVID-19 telah terkendali di Tiongkok; sebagian besar wilayah telah memulai kembali pekerjaan dan produksi. Dimungkinkan (buat China) untuk mengubah krisis menjadi peluang, meningkatkan kepercayaan dunia, dan membuat negara bergantung dengan konsep ‘Made in China’,” tutur Han Jian dari Akademi Ilmu Pengetahuan China, yang menulis awal bulan ini.
Bagi jutaan orang di tempat lain, lapor Asia Times, “kepercayaan” telah menjadi komoditas langka setelah penyebaran pandemi yang menakutkan.
Pada 10 Desember, korban resmi pertama jenis virus corona baru dilaporkan di Wuhan, ibu kota budaya Provinsi Hubei, China Tengah. Itu sayangnya tak ditemukan di media yang setempat yang notabene dikontrol ketat oleh negara, terlepas dari laporan infeksi pada November.
Ketika kasus-kasus mulai meningkat, Dr Li Wenliang dan Ai Fen, seorang direktur di Rumah Sakit Pusat Wuhan, membunyikan lonceng alarm. Namun, alih-alih dipuji karena kewaspadaan, mereka ditegur oleh pejabat kesehatan karena memperingatkan kemungkinan epidemi.
Li kemudian dituduh “membuat komentar palsu di internet” dan diancam dengan tindakan hukum oleh dinas keamanan.
Kemudian, pada 31 Desember, Komisi Kesehatan Wuhan memberi tahu rumah sakit tentang “pneumonia dengan pemicu tidak jelas” setelah 27 kasus baru dilaporkan. Akhirnya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) diberitahu tentang wabah misterius itu.
“Kami menghabiskan 730 juta yuan [US$103 juta] untuk membangun sistem pelaporan dan peringatan dini untuk CDC [atau Pusat Pengendalian Penyakit China] setelah SARS. Itu bekerja dengan baik untuk flu burung dan wabah, meskipun mereka memiliki skala yang jauh lebih kecil dari corona,” ujar Yang Gonghuan, mantan wakil direktur Pusat Pengendalian Penyakit China kepada Asia Times.
“Sepanjang Desember ketika penyakit itu terjadi, saya telah belajar sistem itu tidak digunakan. Saya sangat terkejut pada saat itu. [Kegagalan] ini sebenarnya mencontohkan banyak masalah yang terjadi di China hari ini,” katanya lagi kepada South China Morning Post tanpa merinci lebih lanjut.
“Sistem peringatan dini” diluncurkan setelah upaya yang gagal membendung SARS, atau sindrom pernapasan akut parah, yang terjadi pada 2002 hingga 2003.
Upaya memperkuat regulasi kesehatan internasional dan pengoptimalan peran WHO diberlakukan, usai Kementerian Kesehatan China gagal berbagi informasi dengan seluruh dunia tentang “jenis pneumonia baru yang berbahaya di Provinsi Guangdong.”
Sebelum wabah akhirnya diberantas, sebanyak 8.098 orang terinfeksi di 29 negara dengan jumlah kematian 774 jiwa, menurut WHO.
“Revisi IHR [peraturan kesehatan internasional] yang direvisi tidak menghentikan pemerintah China untuk secara aktif menekan informasi yang mungkin memperlambat atau menghentikan wabah coronavirus [COVID-19]. Polisi setempat menghukum dan menyensor (informasi) dari para dokter dan pelapor lainnya yang berusaha untuk meningkatkan alarm dini mengenai corona baru,” jelas Thomas J Bollyky dan Yanzhong Huang, akademisi di Council on Foreign Relations di New York.
“Antara 12 sampai 20 Januari, pejabat pemerintah memilih untuk tidak melaporkan informasi tentang infeksi 15 petugas kesehatan dan bukti yang jelas tentang penularan dari manusia ke manusia. Pemerintah juga gagal berbagi informasi kesehatan masyarakat dasar yang mungkin telah membantu ribuan orang China menghindari infeksi sendiri,” tulis mereka dalam komentar untuk Kebijakan Luar Negeri.
Namun, kini semua noda ini telah disapu bersih dengan narasi Presiden Xi Jinping soal keberhasilan atasi virus. Sementara, WHO juga menunjukkan lemahnya kritik untuk “sistem peringatan dini” di Beijing yang membawa bencana.
Arab Saudi membatasi ibadah umrah sementara di situs suci agama Islam di Kabah, Masjidil Haram di Mekkah sebagai langkah perlindungan dan menghambat penyebaran wabah virus corona baru. (Foto: Bandar Aldandani/AFP/Getty Images)
Ini telah memicu krisis ketidakpercayaan pada Xi dan Partai Komunis yang berkuasa. Tuduhan ketidakmampuan telah dilontarkan terhadap pemerintah atas tanggapan awal terhadap krisis, serta klaim “ditutup-tutupi” oleh para pejabat di Wuhan, pusat dari gelombang pertama epidemi.
Kritik yang deras mengalir di media sosial makin kencang, terutama setelah kematian whistleblower Li. Pada 7 Februari, dokter rendah hati, yang suaranya dibungkam oleh rezim, mesti menyerah pada corona. Sayangnya, oleh Xi, kematian Li tak lebih dari sekadar angka.
Tuntutan akan kebebasan berbicara lantas bergema di seluruh China ketika Partai Komunis dan Xi disebut bertingkah sewenang-wenang dan menutup rapat informasi.
Sementara, Zhao Shilin, yang biasa duduk di badan pengambil keputusan utama China, Komite Sentral, merilis surat publik kepada Xi pada 23 Februari. Ia merobek-robek “kontrol sosial yang ketat” dan “sensor informasi” yang berujung pada”salah penanganan, sehingga korban makin banyak.”
“Karena kesalahan manusia, kami telah melewatkan ‘jendela emas’ yang paling penting dari waktu untuk memerangi epidemi - waktu di sekitar Tahun Baru [China], [ketika jutaan orang Tiongkok bepergian ke seluruh negeri dan luar negeri], terutama awal dan pertengahan Januari. Hal ini menyebabkan penyebaran epidemi jadi sangat ganas. Ongkos kesalahan ini sangat besar. Pelajaran yang harus kita pelajari sangat menyakitkan. Kerugiannya, tak terukur,” kata Zhao dalam surat itu.
Hampir sebulan sejak surat itu dipublikasikan, “keganasan besar” dari pandemi mulai melanda Eropa, Amerika Utara, dan bagian lain dunia, termasuk Asia.
Sejauh ini, lebih dari 337.000 orang telah terinfeksi secara global dengan angka kematian meningkat 14.000. Di China, 81.000 orang telah terinfeksi dengan angka kematian hampir 3.300.
Italia, Spanyol, Prancis, dan Inggris telah melaporkan wabah terburuk di Eropa, sementara ada lebih dari 33.000 kasus resmi di Amerika Serikat. “Gelombang kedua” juga melanda Asia Tenggara.
“Kami menghadapi krisis kesehatan global tidak seperti dalam sejarah 75 tahun Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang sedang menyebarkan penderitaan manusia, menginfeksi ekonomi global, dan menyengsarakan kehidupan banyak orang. Jika kita membiarkan virus menyebar seperti api, terutama di wilayah paling rentan di dunia, itu akan membunuh jutaan orang,” ujar Antonio Guterres, sekretaris jenderal PBB dalam konferensi video.
“Resesi global sudah hampir pasti. Organisasi Perburuhan Internasional bahkan baru saja melaporkan, pekerja di seluruh dunia dapat kehilangan sebanyak US$ 3,4 triliun pendapatan pada akhir tahun ini,” katanya pekan lalu.
Pada akhirnya, ini jadi peringatan (buruk) lain dari sejarah.
Penerjemah dan editor: Purnama Ayu Rizky
Keterangan foto utama: Presiden China Xi Jinping di Wuhan. (Foto: Xinhua)