Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia pernah dinyatakan sebagai salah satu agenda Presiden Joko “Jokowi” Widodo setelah memenangkan Pilpres 2014. Kini ketika masa jabatan keduanya baru saja dimulai, bagaimana nasib agenda poros maritim Jokowi tersebut?
Oleh: Johannes Nugroho (Today Online)
Dalam pidatonya pada 20 Oktober 2014, Presiden Joko “Jokowi” Widodo dengan bangga menyatakan: “Kita (sebagai bangsa) telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudera, selat, dan teluk. Kini saatnya kita kembalikan status kita sebagai negara maritim, sehingga ‘Jalesveva Jayamahe’―di laut kita jaya, sebagai semboyan kita di masa lalu―bisa kembali lagi.”
Agenda Presiden Jokowi untuk menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia lahir di tengah keriuhan nasional. Secara umum, agenda ini akan melibatkan pembangunan infrastruktur untuk mendorong ekonomi berbasis kelautan yang mencakup industri perikanan dan perkapalan, serta memperkuat angkatan laut sebagai kekuatan maritim.
Sekarang, lima tahun berlalu dan dengan presiden memulai periode keduanya, keriuhan untuk agenda Poros Maritim Dunia telah meredup.
Selama kampanye pemilu tahun ini, Poros Maritim Dunia tidak disebutkan dalam manifesto Jokowi atau pidato kemenangannya. Agenda itu juga tidak disebut dalam debat presiden yang disiarkan televisi. Bagaimana dan mengapa sebuah doktrin yang terbukti populer di kalangan pemilih Indonesia gagal dan berakhir sebagai sebuah renungan?
Poros Maritim Dunia tidak pernah benar-benar diperhitungkan konsekuensinya. Juga tidak ada bukti bahwa tim kampanye presiden melakukan studi kelayakan yang ketat. Ini jelas menunjukkan bahwa sebagian besar orang tidak mengerti seberapa besar tugas yang harus dilakukan untuk mewujudkan Poros Maritim Dunia.
Untuk menjadikan Indonesia sebagai kekuatan maritim yang tangguh, TNI Angkatan Laut membutuhkan perbaikan menyeluruh. Sebagai permulaan, Indonesia harus mengesampingkan doktrin pertahanannya yang telah berumur puluhan tahun yang menempatkan Angkatan Darat di atas dua kekuatan lainnya, demi peran yang lebih strategis bagi TNI-AL. Modernisasi perangkat keras dan kemampuan TNI-AL juga diperlukan.
Tetapi tidak ada yang terjadi di bawah Presiden Jokowi. Modernisasi militer Indonesia masih mengikuti cetak biru yang dirumuskan pada tahun 2012 di bawah mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang dikenal sebagai Kekuatan Minimum Esensial.
Walaupun pengeluaran militer di bawah Jokowi telah naik sekitar 25 persen, sebagian besar digunakan untuk gaji dan logistik yang lebih tinggi alih-alih pengadaan perangkat keras militer.
Peningkatan terbaru untuk TNI-AL mencakup tiga kapal selam baru, tetapi tidak mungkin bahwa target Kekuatan Minimum Esensial akan tercapai pada tahun 2024.
Terlepas dari retorika Poros Maritim Dunia, Angkatan Laut tetap berada di kursi belakang, karena kecenderungan Presiden Jokowi untuk mengutamakan Angkatan Darat telah semakin jelas.
Saat menggantikan Panglima TNI Moeldoko pada tahun 2015, presiden memilih Kepala Staf TNI Angkatan Darat Gatot Nurmantyo. Ini bertentangan dengan undang-undang tahun 2004 yang mengatur rotasi jabatan di antara ketiga pasukan, karena Moeldoko juga berasal dari Angkatan Darat.
Yang pasti, pemerintahan Jokowi memang meluncurkan beberapa inisiatif terkait dengan Poros Maritim Dunia. Tak lama setelah ia pertama kali berkuasa, Jokowi menghidupkan kembali Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, yang terakhir ada pada tahun 1955.
Kemudian pada bulan Februari 2017, ia menandatangani dekrit presiden tentang Kebijakan Kelautan Indonesia, yang seharusnya memandu realisasi Poros Maritim Dunia.
Sayangnya, cetak biru itu kabur dan gagal mewujudkan implementasi agenda yang koheren.
Menko Kemaritiman Luhut Pandjaitan, misalnya, sering terlibat dalam konflik dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengenai sejumlah masalah, terutama desakan Menteri Susi untuk terus meledakkan kapal-kapal nelayan asing yang menangkap ikan secara ilegal di perairan Indonesia.
Evan Laksmana, seorang peneliti dari Pusat Studi Strategis dan Internasional, berpendapat bahwa kurangnya “satu badan otoritatif tunggal” untuk menyatukan puluhan kementerian dan lembaga pemerintah yang menangani masalah-masalah kelautan Indonesia, telah menciptakan kebingungan mengenai implementasi Poros Maritim Dunia.
Sejak Jokowi pertama kali mengumumkan Poros Maritim Dunia, Indonesia telah membangun setidaknya 19 pelabuhan laut baru, dengan delapan lainnya diharapkan akan selesai tahun ini. Meskipun ini mungkin terdengar mengesankan, pemerintah masih terus berfokus pada proyek infrastruktur berbasis darat. Dari 37 proyek prioritas yang sedang berjalan, hanya empat yang ada di infrastruktur maritim.
Manfaat ekonomi dari pelabuhan baru belum terwujud karena birokrasi pemerintah daerah dan kurangnya jalan penghubung dari pelabuhan ke daerah ekonomi lokal.
Program lain yang digembar-gemborkan di bawah Poros Maritim Dunia adalah skema transportasi barang yang dikenal sebagai “Tol Laut”, yang bertujuan untuk mengurangi perbedaan harga barang antara bagian barat dan timur Indonesia.
Tol Laut membutuhkan subsidi besar dari pemerintah karena kapal-kapal yang bermuatan penuh sering kembali tanpa membawa apa-apa karena rendahnya kegiatan ekonomi di daerah-daerah terpencil. Sejauh ini pemerintah masih gagal dalam mengatasi disparitas harga. Menteri Luhut telah mengakui banyak hal, termasuk menyalahkan monopoli bisnis oleh PT Pelni dan kartelisme.
Presiden Indonesia Joko Widodo berdiri di atas geladak kapal perang Angkatan Laut Indonesia (KRI) Imam Bonjol, setelah memimpin pertemuan kabinet terbatas di perairan Kepulauan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia, pada 23 Juni 2016. (Foto: Antara Foto/ Reuters)
Seiring implementasi Poros Maritim Dunia mengalami hambatan, agenda Presiden Jokowi sendiri untuk Indonesia tampaknya telah berubah juga selama bertahun-tahun.
Retorika maritimnya sebagian besar telah lenyap, fokusnya telah bergeser sedikit demi sedikit. Ini tercermin dalam pemilihan lokasi ibu kota baru Indonesia. Lokasi ibu kota baru terletak di pedalaman Kalimantan, tanpa akses langsung ke laut. Lokasi ini jelas merupakan pilihan aneh bagi sebuah negara yang bercita-cita untuk mengembalikan kejayaan maritim masa lalu.
Sriwijaya, kerajaan maritim abad ke-7 yang meliputi sebagian besar Sumatra dan Semenanjung Melayu, memiliki ibu kota di tempat yang sekarang menjadi kota Palembang. Meskipun tidak persis berada di pantai, Palembang memiliki akses langsung ke laut melalui Sungai Musi.
Novelis terkenal Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, pernah mengatakan bahwa budaya maritim mulai mati perlahan di negara kepulauan ini setelah raja-raja Mataram Jawa―takut akan penjarahan oleh armada kolonial Eropa yang mengarungi lautan dari abad ke-16 dan seterusnya―memindahkan ibu kota mereka dari pantai ke pedalaman.
Poros Maritim Dunia tampaknya akan tetap dikesampingkan untuk saat ini. Dalam pidatonya pada pelantikan keduanya pada 20 Oktober, Jokowi tidak menyebut Poros Maritim Dunia sekali pun, mengatakan bahwa ia akan terus memprioritaskan infrastruktur, pengembangan sumber daya manusia, dan perampingan birokrasi.
Poros Maritim Dunia, meskipun jelas merupakan slogan yang efektif dalam pidato pertama Jokowi sebagai presiden, telah menghadapi kesulitan karena awalnya inisiatif itu masih setengah matang, yang dirancang untuk menarik sentimentalitas alih-alih akal sehat.
Dalam pidato pelantikan 2019, presiden memilih mimpi baru, bahwa pada 2045 Indonesia akan menjadi negara maju dengan pendapatan per kapita Rp320 juta dan kemiskinan nol persen.
Masih belum jelas apakah Presiden Jokowi masih bercita-cita untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maritim pada 2045.
Johannes Nugroho adalah seorang penulis dan analis politik dari Surabaya, artikel opininya telah muncul di Jakarta Post dan Jakarta Globe sejak 1990-an.
Keterangan foto utama: Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo mengambil sumpah jabatan untuk masa jabatan kedua selama prosesi pelantikan di kompleks gedung DPR/MPR di Jakarta, Minggu, 20 Oktober 2019. (Foto: Reuters/Adi Weda)
Bagaimana Nasib Agenda Poros Maritim Dunia Jokowi?