Kelompok kekerasan bisa jadi tergerak memberikan bantuan dalam memerangi pandemi COVID-19 demi memastikan legitimasi kekuasaan mereka di wilayah setempat, hingga melindungi kaum mereka sendiri dari ancaman wabah.
Kawasan kumuh favela di Rio de Janeiro, Brasil, adalah kombinasi beracun dari wilayah padat penduduk, sedikit layanan kesehatan, dan sedikit air bersih bagi warga setempat untuk mencuci tangan.
Dalam kondisi seperti ini yang sudah matang untuk penyebaran pandemi virus corona COVID-19, pemerintah nasional Brasil belum memberlakukan jam malam, tetapi kelompok kriminal yang menguasai favela telah memberlakukannya.
Para anggota geng telah berkeliling komunitas mereka mengumumkan kepada penduduk: “Kami memberlakukan jam malam karena tidak ada yang menganggap ini serius. Siapa pun yang ada di jalanan yang bermain-main atau berjalan-jalan akan menerima hukuman dan menjadi contoh.”
Jam malam tersebut adalah bagian dari fenomena yang berkembang di seluruh dunia, ketika geng-geng kriminal, pemberontak, dan kelompok-kelompok teroris sedang meningkatkan upaya-upaya melawan pandemi.
Di Lebanon, kelompok militan Hizbullah telah mengerahkan 1.500 dokter, 3.000 perawat dan paramedis, serta lebih dari 20.000 aktivis untuk memerangi infeksi virus corona baru.
“Ini adalah perang nyata yang harus kita hadapi dengan pola pikir seorang pejuang,” tutur Sayyed Hashem Safieddine, kepala dewan eksekutif Hizbullah, kepada seorang wartawan Reuters.
Kelompok itu mengoperasikan rumah sakit, di mana mereka juga menyediakan alat uji dan pengobatan gratis untuk COVID-19. Mereka juga menyewakan hotel untuk digunakan sebagai fasilitas karantina.
Di Afghanistan, Taliban telah menyebarkan video untuk menginformasikan tentang disinfeksi dan memobilisasi para pejuangnya untuk membagikan masker dan sabun. Sementara itu, pasukan pemberontak Libia memberlakukan jam malam mulai pukul 6 petang sampai 6 pagi dalam upaya mengekang penyebaran virus.
Hamas, kelompok Islam yang menguasai Jalur Gaza di Israel, sedang membangun dua fasilitas karantina besar-besaran. Edisi terbaru buletin yang didistribusikan oleh ISIS mencakup sejumlah arahan untuk mengatasi penyakit ini.
Seorang lelaki menjual masker seiring dengan peningkatan kasus virus corona di Iran. (Foto: France 24)
Mengapa mereka peduli?
Sebagai seorang pakar perilaku kelompok bersenjata, Jori Breslawski dari The National Interest mengamati, tindakan yang diambil oleh semua organisasi tersebut sama sekali tidak mengejutkan. Di banyak negara, gerombolan penjahat, pemberontak, dan kelompok teroris menguasai wilayah-wilayah di mana kekuatan pemerintah pusat lemah atau nyaris tidak ada.
Beberapa kelompok tersebut sudah menyediakan layanan sosial seperti perawatan medis, pendidikan, dan upaya terorganisir untuk menyelesaikan perselisihan, yang setara dengan sistem peradilan yang belum sempurna.
Respons pandemi yang lemah dari pemerintah resmi di berbagai negara menciptakan peluang bagi kelompok kekerasan untuk mendapatkan legitimasi di mata publik. Kelompok-kelompok kekerasan seringkali mengambil tindakan untuk mendapatkan legitimasi demi mendapatkan dukungan dari warga sipil yang hidup di bawah kekuasaan mereka, serta para pendukung potensial di luar negeri.
Beberapa kelompok telah membuat bendera dan mata uang, sementara respons mereka terhadap pandemi COVID-19 bisa menjadi strategi yang sejalan dengan upaya seperti itu.
Bahkan ketika sebuah organisasi kekerasan tidak menginginkan kekuasaan formal, mereka tetap saja tergantung pada penduduk sipil, seringkali dengan mengambil pembayaran dan informasi sebagai imbalan atas perlindungan terhadap pasukan saingan. Jika warga menderita, dukungan terhadap kelompok dapat melemah atau menghilang, jadi organisasi kekerasan akan berusaha melindungi warga demi kepentingan pribadi mereka.
Alasan potensial lain untuk upaya kelompok tersebut mungkin karena banyak dari mereka beroperasi di daerah di mana keluarga dan teman mereka tinggal, sehingga mereka secara alami ingin membantu menjaga rakyat mereka agar tetap aman dan sehat.
Walau wilayah yang dikuasai oleh kelompok-kelompok kekerasan mungkin berada di luar jangkauan pemerintah, mereka berada dalam jangkauan pandemi COVID-19. Potensi penyebaran virus membutuhkan respons yang tidak memihak berdasarkan persepsi tentang siapa yang memiliki hak untuk memerintah populasi tertentu. Demi menyelamatkan sebagian besar nyawa, perpecahan sektarian dan politik harus dikesampingkan demi bekerja sama dengan kelompok mana pun dalam kapasitas dan kemauan untuk menghentikan virus.
Organisasi kemanusiaan seperti Palang Merah dan Dokter Lintas Batas memiliki sejarah panjang bekerja dengan kelompok-kelompok kekerasan. Mereka dipandang sebagai mitra yang diperlukan untuk bantuan dan menjangkau warga sipil yang hidup di bawah kendali mereka.
Taliban (bersama dengan organisasi kekerasan lainnya) memiliki kebijakan resmi yang mengharuskan organisasi bantuan untuk mendaftar, tetapi memungkinkan mereka untuk beroperasi di wilayah Taliban.
Seorang juru bicara Taliban baru-baru ini berjanji, “Jika wabah terjadi di daerah di mana kami berkuasa, kami bisa berhenti bertarung di daerah itu.”
Kelompok itu juga telah menawarkan jaminan keamanan kepada organisasi bantuan yang ingin membantu korban virus atau membantu menghentikan penyebaran pandemi.
Namun, hubungan antara organisasi kemanusiaan dan kelompok-kelompok kekerasan bisa bergejolak, termasuk pemerintah yang memblokir akses kelompok-kelompok kemanusiaan ke wilayah pemberontak, militan yang gagal melindungi pekerja bantuan, dan fakta bahwa organisasi kekerasan tidak selalu menggunakan bantuan seperti yang mereka janjikan.
Terlepas dari tantangan-tantangan tersebut, Jori Breslawski dari The National Interest menyimpulkan, begitu banyak kelompok kekerasan yang bergerak untuk melindungi masyarakat mereka dari penyakit COVID-19 menggarisbawahi keseriusan ancaman dan urgensi kolaborasi antara pemerintah, organisasi kemanusiaan, dan kelompok-kelompok kekerasan, terutama di daerah-daerah di mana layanan pemerintah normal tidak tersedia.
Penerjemah: Fadhila Eka Ratnasari
Editor: Aziza Fanny Larasati
Keterangan foto utama: Para pejuang Hizbullah di Qalamoun Barat, Suriah, Agustus 2017. (Foto: Reuters/Omar Sanadiki)
Bagaimana Teroris, Militan, dan Geng Kriminal Bantu Perangi Corona