Asia

Bencana Ganda Timor Leste: Hikmah yang Bisa Dipetik

Seorang pria memeriksa bangunan yang rusak akibat banjir di Dili, Timor Leste, Senin, 5 April 2021. (Foto: Kandhi Barnez/Associated Press)
Berita Internasional > Bencana Ganda Timor Leste: Hikmah yang Bisa Dipetik
Advertisements

Pada 8 April, setelah banjir besar, pemerintah Timor Leste menyatakan bahwa Timor Leste memasuki keadaan darurat selama 30 hari, seiring pemerintah meminta bantuan internasional untuk pembangunan kembali dan pemulihan pasca-bencana. Krisis ini terjadi hanya beberapa minggu setelah pemerintah menerapkan penguncian total di Dili pada 9 Maret, setelah kematian pertama negara itu akibat COVID-19 tercatat.

Pada 21 April, dengan 749 kasus aktif COVID-19, Dewan Menteri mengusulkan untuk memperbarui keadaan darurat COVID-19 selama 30 hari lagi.

Krisis ganda sekarang menjadi tantangan ganda, membagi Timor Leste di sepanjang garis ketidaksetaraan kekuasaan: melemahkan orang miskin dan rentan, serta memberdayakan beberapa elit asing dan nasional melalui manipulasi politik dan ketergantungan yang meningkat, tulis Li-Li Chen di New Mandala.

Banjir telah memperburuk bahaya COVID-19, dengan menekankan sistem kesehatan Timor Leste yang sudah rapuh.

Dalam laporan Indeks Keamanan Kesehatan Global 2019, Timor Leste berada di peringkat 166 dari 195 negara. Sampai saat ini, 3.300 tenaga medis esensial (dokter, perawat, bidan) dan spesialis, masih belum cukup untuk memenuhi 1,3 juta penduduk.

Dengan penguncian di Dili ditangguhkan dan kelompok orang yang mengungsi meningkat, kasus COVID-19 baru melonjak. Meskipun kloter pertama vaksin AstraZeneca COVID-19 (yang terdiri dari 24.000 dosis) tiba di Timor Leste pada 5 April, vaksinasi terbatas mungkin tidak dapat mencakup semua populasi dan menahan penyebaran virus corona di semua kota.

Banjir ini juga memperumit praktik pencegahan COVID-19 saat ini, dan membuat populasi yang kurang beruntung menghadapi risiko kesehatan yang meningkat, lanjut Li-Li Chen.

Air sungai bercampur dengan limbah, sampah, lumpur, dan puing-puing, dan dapat menyebabkan penyakit yang ditularkan melalui air, dan debu pasca-banjir dapat menimbulkan gangguan pernapasan, terutama bagi anak-anak, ibu hamil, dan lansia.

Di pusat-pusat pengungsian, dikhawatirkan para pengungsi tidak dapat mematuhi jarak sosial, dan menghadapi keterbatasan fasilitas WASH, obat-obatan, dan makanan bergizi.

Meskipun risiko kesehatan meningkat setelah banjir, sumber daya manusia, fasilitas, dan peralatan yang tersedia terbatas. Kerusakan akibat banjir pada infrastruktur yang menghubungkan area pertanian kemungkinan akan menambah kesulitan sosial-ekonomi dan kerawanan pangan yang sudah ada akibat peraturan COVID-19 sejak tahun lalu, yang dapat memaksa banyak populasi miskin dan rentan ke dalam situasi yang lebih genting dan berbahaya.

Orang-orang mengantre di luar pusat distribusi uang tunai di Suco Dato, Kotamadya Liquica, Timor Leste. (Foto: Kantor Koordinasi Residen PBB Timor Leste)

Dibandingkan dengan banjir akut dan risiko kesehatan, risiko politik sudah dekat namun kurang terlihat, Li-Li Chen melanjutkan.

Krisis ganda (yang menuntut tanggapan pemerintah yang cepat dan ekstensif) cenderung membenarkan perluasan kekuasaan dan pembiayaan, serta naturalisasi dan memperdalam ketergantungan Timor Leste pada dukungan internasional, yang secara mengkhawatirkan memberdayakan elit asing dan nasional tertentu.

Diperkirakan pemerintah Timor Leste perlu mengalokasikan minimal US$200 juta untuk bantuan bencana dari skema anggarannya saat ini. Tahun lalu, pemerintah telah mengalokasikan 60% dari anggaran US$250 juta yang ditujukan untuk tanggapan COVID-19.

Ditambah dengan pengadopsian keadaan darurat Timor Leste yang dipandu oleh ideologi militeristik, serta dampak sosial-ekonomi sejak Maret lalu, pemerintah dapat terus memberikan keuangan yang ekstensif dan kekuasaan keamanan di saat krisis.

Jendral F-FDTL Lere Anan Timur memberi wewenang kepada TNI dan Polri untuk melakukan kekerasan terhadap warga yang tidak sesuai dengan aturan di depan umum. Pemerintah juga meminta parlemen nasional untuk menyetujui anggaran untuk rekonstruksi, yang meningkatkan APBN 2021 hingga 2,1 miliar, tetapi siapa dan apakah dana yang akan dikelola masih belum pasti.

Sementara itu, para oportunis politik bisa memanfaatkan momen krisis untuk menyerang musuh politik atau memajukan kepentingan pribadinya. Bencana tersebut untuk sementara dapat meredam pergulatan dalam dinamika kekuasaan di antara para elit politik, namun pada akhirnya justru dapat mengintensifkan mereka, Li-Li Chen menerangkan.

Di media sosial, beberapa pendukung garis keras pemimpin nasional Kay Rala Xanana Gusmao dan partai Congresso Nacional dae Reconstrucao de Timorense (CNRT) menafsirkan fakta bahwa beberapa korban mengusir Perdana Menteri Taur Matan Ruak selama kunjungannya ke komunitas yang hancur, namun menyambut baik Gusmao, sebagai indikasi kompetensi Gusmao dan partai CNRT untuk pemerintahan.

Gusmao kerap melanggar protokol kesehatan untuk menjaga jarak sosial setelah lockodown diumumkan. Dalam konfrontasi publik, Gusmao mempertanyakan hasil tes pasien COVID-19 Armindo Borges, dan mengkritik langkah-langkah COVID-19 pemerintah yang melarang keluarganya menguburkan jasadnya.

Pengaruh dan intervensi Gusmao dapat meningkatkan ketidakpercayaan dan kebencian di antara komunitas yang tidak sabar dengan keadaan darurat pemerintah yang berkepanjangan, dan konflik antara elit politik yang tidak setuju satu sama lain tentang tanggapan COVID-19 dan anggaran nasional.

Sama problematisnya, perilaku Gusmao dalam menampar pelayat perempuan (dan impunitas yang jelas dengan hadirnya polisi) menunjukkan dominasi berkelanjutan dari sikap militeristik dan patriarkal, di negara di mana kekerasan pasangan dan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dan anak perempuan lazim, dan mungkin meningkat selama pandemi.

COVID-19 dan banjir tidak hanya mendorong solidaritas di antara diaspora, komunitas lokal, dan LSM di lapangan, tetapi juga mendorong dukungan yang sangat besar dari mitra pembangunan.

Misalnya, pemerintah China dan Amerika masing-masing berjanji untuk mendukung pemerintah Timor Leste dengan US$100.000 untuk bantuan bencana, bersama dengan bantuan darurat dari Kedutaan Australia dan berbagai badan PBB.

Namun, krisis ganda di Timor Leste dapat memperburuk asimetri kekuasaan yang ada dan ketidaksetaraan di sektor pembangunan, yang dengan mudah terselubung dalam wacana bantuan kemanusiaan yang dominan.

Wacana semacam itu mengasumsikan ideologi neo-kolonial dan neoliberal bahwa negara-negara yang kurang berkembang perlu ‘diselamatkan’ oleh mitra yang berkemauan baik, lebih berpengetahuan, dan mampu, yang dapat ditelusuri kembali ke awal pembangunan negara Timor Leste yang dimungkinkan oleh PBB.

Kawanan bantuan internasional dan bantuan kemanusiaan tidak mengubah masalah jangka panjang, tetapi memperdalam kerentanan Timor Leste terhadap guncangan seperti virus corona dan peristiwa cuaca ekstrem terkait iklim.

Krisis ganda Timor Leste mempengaruhi negara yang paling miskin dan rentan, dan pemerintah akan membutuhkan banyak dukungan dari dalam, serta dari badan-badan internasional dan negara-negara yang lebih maju.

Meskipun demikian, kita tidak boleh lupa bahwa krisis cenderung mengubah diskusi dan debat pasca-krisis terkait bantuan dan pemulihan, menjadi masalah teknis dalam struktur pemerintahan dan kekuasaan yang ada, seperti bagaimana meningkatkan pembangunan dan perencanaan kota, atau kapasitas kelembagaan pemerintah.

Hal ini mengandaikan eksistensi pemerintah sebagai aktor yang homogen, namun gagal mempersoalkan komponen politik pemerintah dalam proses pembangunan yang terjalin dengan kekuasaan. Kritikus berargumen bahwa pemerintah Timor (yang menjunjung tinggi strategi pembangunan ekonomi yang bergantung pada minyak) telah meminggirkan langkah-langkah adaptasi iklim dalam pembangunan perkotaan dan rencana pemulihan ekonominya, dan membatasi diri pada kekuasaan terpusat dan ketergantungan minyak.

Kurangnya kepemimpinan politik yang kuat dan kerja sama di antara elit laki-laki, semakin menghambat kemampuan pemerintah untuk meningkatkan dan memobilisasi sumber daya untuk pencegahan krisis, apalagi melakukan perubahan struktural yang dapat memberdayakan mereka yang paling tidak beruntung di sektor non-minyak.

Dinamika kekuasaan dan ketidakadilan kekuasaan yang menentukan penetapan agenda dan pembuatan kebijakan negara diabaikan, terus menerus membuat Timor Leste melakukan manuver politik dan memperdalam ketergantungan asing.

Timor Leste mungkin perlu bekerja sama dengan pemangku kepentingan yang berbeda secara dekat untuk pulih dari krisis ganda, tetapi itu bukan berarti ia dapat mengesampingkan diskusi kritis dan refleksi tentang kekuasaan yang terkandung dalam wacana krisis.

Mengabaikan ketidakseimbangan kekuasaan akan menyebabkan ketidakstabilan sosial dan politik dan lingkaran setan kemiskinan, kerentanan, ketergantungan, dan eksploitasi di luar krisis saat ini, Li-Li Chen menyimpulkan.

 

Penerjemah dan editor: Aziza Larasati

Keterangan foto utama: Seorang pria memeriksa bangunan yang rusak akibat banjir di Dili, Timor Leste, Senin, 5 April 2021. (Foto: Kandhi Barnez/Associated Press)

Bencana Ganda Timor Leste: Hikmah yang Bisa Dipetik

BERLANGGANAN

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top