Richard Nixon
Amerika

Siapa Saja Presiden AS yang Pernah Hadapi Pemakzulan?

Presiden Nixon menyambut para pendukung dalam perjalanannya menuju Konvensi Nasional Partai Republik pada tahun 1972. Dia mengundurkan diri dua tahun kemudian. (Foto: Reuters)
Berita Internasional > Siapa Saja Presiden AS yang Pernah Hadapi Pemakzulan?

Presiden AS Donald Trump saat ini kembali menghadapi proses pemakzulan. Namun tidak hanya Trump, Presiden AS lainnya dalam sejarah juga pernah menghadapi pemakzulan. Meski begitu, para perumus konstitusi sengaja mempersulit proses pemakzulan presiden. Berikut sejarah Presiden-Presiden AS yang pernah menghadapi proses pemakzulan.

Oleh: Dave Roos (History)

Hanya dua Presiden AS yang secara resmi dimakzulkan oleh Kongres—Andrew Johnson dan Bill Clinton—dan tidak ada Presiden AS yang pernah dicopot dari jabatannya melalui pemakzulan.

Selain Johnson dan Clinton, hanya dua Presiden AS lainnya yang menghadapi penyelidikan pemakzulan resmi di DPR AS: Richard Nixon dan Donald Trump. Banyak presiden lain telah diancam akan dimakzulkan oleh musuh politik tanpa mendapatkan daya tarik nyata di Kongres.

Para perumus konstitusi sengaja mempersulit Kongres untuk memakzulkan presiden. Proses pemakzulan dimulai di DPR dengan penyelidikan pemakzulan resmi. Jika Komite Kehakiman DPR menemukan alasan yang cukup, para anggotanya menulis dan menyerahkan pasal pemakzulan, yang kemudian diajukan ke DPR untuk pemungutan suara.

Mayoritas sederhana di DPR diperlukan untuk secara resmi memakzulkan presiden. Tapi itu bukan berarti presiden telah dicopot dari jabatan. Tahap terakhir adalah sidang pemakzulan Senat. Jika dua pertiga dari Senat menyetujui bahwa presiden bersalah atas kejahatan yang diatur dalam pasal-pasal pemakzulan, presiden akan dicopot dari jabatannya.

Meskipun Kongres telah memakzulkan dan memecat delapan pejabat federal—semua hakim federal—namun tidak ada presiden yang pernah dinyatakan bersalah selama persidangan pemakzulan Senat. Andrew Johnson nyaris lolos dari vonis bersalah dengan selisih satu suara.

Andrew Johnson: Dimakzulkan pada tahun 1868

Johnson terpilih sebagai Wakil Presiden Abraham Lincoln pada tahun 1864. Keputusan terberat yang dihadapi masa jabatan kedua Lincoln adalah bagaimana membangun kembali hubungan dengan negara-negara Konfederasi setelah Perang Sipil AS berakhir. Rencana Lincoln untuk Rekonstruksi memungkinkan keringanan hukuman, walaupun “Republikan Radikal” di partainya ingin menghukum politisi negara-negara bagian selatan dan memperluas hak-hak sipil penuh untuk membebaskan budak.

Lincoln dibunuh hanya 42 hari setelah pelantikan masa jabatan keduanya, meninggalkan Johnson yang bertanggung jawab atas Rekonstruksi. Dia segera berselisih dengan anggota Partai Republik Radikal di Kongres, menyerukan pengampunan bagi para pemimpin Konfederasi dan memveto hak-hak politik bagi budak-budak yang telah bebas.

Pada 1867, Kongres membalas dengan mengesahkan Tenure of Office Act, yang melarang presiden mengganti anggota kabinetnya tanpa persetujuan Senat.

Percaya bahwa hukum tidak konstitusional, Johnson tetap memecat Menteri Perangnya, sekutu Republikan Radikal di Kongres. Musuh-musuh politik Johnson merespons dengan menyusun dan meloloskan 11 pasal pemakzulan di DPR.

Johnson dimakzulkan di DPR dengan 126 suara banding 47, tetapi nyaris gagal dimakzulkan di Senat dengan selisih satu suara. Setelah pembebasannya, ia menjalani sisa masa jabatannya dan menjadi mantan Presiden AS pertama (dan satu-satunya) yang terpilih menjadi anggota Senat.

Bill Clinton: Dimakzulkan pada tahun 1998

Mantan Presiden AS Bill Clinton memberikan pidato utama selama Hari AIDS Sedunia di San Francisco. (Foto: Getty Images/Justin Sullivan)

Clinton telah terlibat dengan masalah hukum dan skandal sejak dia memasuki Gedung Putih. Pada tahun 1993, Clinton dan Ibu Negara, Hillary, menjadi subjek penyelidikan Departemen Kehakiman AS atas apa yang disebut sebagai kontroversi Whitewater—sebuah kesepakatan bisnis yang gagal sejak masa mereka di Arkansas. Dan pada tahun 1994, Clinton dituntut karena pelecehan seksual oleh Paula Jones, yang mengklaim Clinton menelanjangi dirinya di kamar hotel pada tahun 1991.

Menariknya, itu adalah kombinasi dari kedua kasus hukum yang pada akhirnya akan mengarah pada pemakzulan Clinton. Penasihat independen Kenneth Starr ditunjuk oleh Departemen Kehakiman AS untuk menyelidiki skandal Whitewater, tetapi ia tidak dapat menemukan bukti. Sementara itu, pengacara Jones mendapat informasi bahwa Clinton berselingkuh dengan pegawai magang Gedung Putih berusia 21 tahun bernama Monica Lewinsky—sebuah klaim yang ditolak oleh Lewinsky dan Clinton di bawah sumpah.

Starr mengalihkan fokus investigasinya ketika dia menerima rekaman percakapan telepon antara Lewinsky dan Linda Tripp, mantan rekannya di Gedung Putih, di mana Lewinsky menyinggung perselingkuhan itu. Starr kemudian meminta FBI untuk memasang perekam pada Tripp saat ia bertemu dengan Lewinsky di sebuah hotel Ritz-Carlton di Washington, DC, di mana Lewinsky lagi-lagi mengakui hubungan seksualnya dengan presiden.

Ketika berita itu dipublikasikan, Clinton dipaksa untuk berbicara tentang tuduhan tersebut di televisi nasional.

“Saya ingin Anda sekalian mendengarkan saya,” kata Clinton. “Saya tidak melakukan hubungan seksual dengan wanita itu, Nona Lewinsky. Saya tidak pernah menyuruh orang untuk berbohong, tidak sekali pun, tidak pernah.”

Tim investigasi Starr akhirnya menghasilkan laporan yang panjang yang merinci hubungan seksual Clinton dengan Lewinsky dan memberikan bukti bahwa Clinton berbohong di bawah sumpah (sumpah palsu) dalam upaya menghalangi penyelidikan Starr.

Pada 19 Desember 1998, seluruh anggota DPR AS setuju untuk mendakwa Clinton dengan dua dakwaan terpisah: sumpah palsu dan menghalangi keadilan. Tetapi dalam sidang Senat lima minggu berikutnya, Clinton dibebaskan dari kedua tuduhan tersebut.

Meskipun skandalnya sangat publik dan memalukan—dan menjadi salah satu dari dua presiden dalam sejarah yang dimakzulkan—namun peringkat persetujuan kinerja Clinton memuncak pada 73 persen pada tahun 1999.

Richard Nixon: Mengundurkan diri pada tahun 1974

Meskipun terlibat dalam salah satu skandal politik terbesar dalam sejarah Presiden AS, namun Richard Nixon tidak pernah dimakzulkan. Dia mengundurkan diri sebelum DPR memiliki kesempatan untuk memakzulkan dia. Jika dia tidak mengundurkan diri, Nixon kemungkinan akan menjadi presiden pertama yang pernah dimakzulkan dan dicopot dari jabatannya, mengingat kejahatan yang dia lakukan untuk menutupi keterlibatannya dalam pembobolan Watergate.

Pada 27 Juli 1974, setelah tujuh bulan musyawarah, Komite Kehakiman DPR menyetujui pasal pertama dari lima pasal pemakzulan yang diajukan terhadap Nixon, menuduh presiden itu menghalangi keadilan dalam upaya melindungi dirinya dari penyelidikan Watergate yang sedang berlangsung. Hanya segelintir Republikan di Komite Kehakiman yang memberikan suara setuju atas pasal-pasal pemakzulan, dan tidak jelas pada saat itu apakah akan ada cukup suara di DPR untuk secara resmi memakzulkan presiden.

Tetapi semuanya berubah pada tanggal 5 Agustus 1974, ketika Mahkamah Agung memerintahkan Nixon untuk merilis kaset rekaman percakapannya dengan staf Gedung Putih selama penyelidikan Watergate. Rekaman tersebut mengungkap usulan Nixon untuk menggunakan CIA untuk menghalangi penyelidikan FBI, dan memberi bayaran kepada para pencuri Watergate.

Setelah rekaman itu dirilis, Nixon mendapat kabar dari pimpinan kongres Republik bahwa semua kecuali 15 Senator kemungkinan akan menyetujui pemakzulannya dalam persidangan, jumlah itu lebih dari cukup untuk mencopot dia dari jabatan. Untuk menyelamatkan dirinya dari penghinaan, Nixon mengundurkan diri pada 8 Agustus 1974.

Nixon diampuni atas tuduhan kriminal oleh Gerald Ford, tetapi banyak dari komplotan Watergate-nya tidak seberuntung itu. Sebagian besar penasihat hukum Gedung Putih, termasuk John Dean, masuk penjara karena keterlibatan mereka dalam Watergate.

Donald Trump: Penyelidikan Pemakzulan Diluncurkan pada 2019

Kampanye Tekanan Maksimum

Presiden AS Donald Trump berbicara kepada awak media saat ia kembali dari kunjungannya ke Williamsburg, Virginia, di Halaman Selatan Gedung Putih, di Washington, AS, 30 Juli 2019. (Foto: Reuters/Leah Millis)

Pada 24 September 2019, Ketua DPR Nancy Pelosi mengumumkan penyelidikan pemakzulan resmi terhadap Presiden Trump mengenai dugaan upayanya untuk menekan Presiden Ukraina untuk menyelidiki kemungkinan pelanggaran oleh saingan politiknya, mantan Wakil Presiden AS Joe Biden.

Keputusan untuk mengesahkan penyelidikan pemakzulan terjadi setelah adanya laporan whistleblower yang merinci percakapan telepon antara Trump dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky di mana Trump diduga menahan bantuan militer Ukraina dengan imbalan bantuan politik pribadi. Gedung Putih kemudian merilis transkrip panggilan telepon yang direkonstruksi, yang menurut banyak anggota Partai Demokrat menunjukkan bahwa Trump telah menyalahgunakan kekuasaannya.

Sampai artikel ini ditulis, Komite Kehakiman DPR belum mengeluarkan pasal pemakzulan terhadap presiden, sehingga prosesnya masih dalam tahap awal. Kasus Trump menandai keempat kalinya dalam sejarah AS di mana seorang presiden telah menjadi subjek investigasi pemakzulan resmi DPR.

Presiden Lain yang Diancam dengan Pemakzulan

Sejumlah besar Presiden AS menghadapi ancaman pemakzulan, termasuk lima dari enam presiden dari Partai Republik sebelumnya. Tetapi hanya beberapa dari tuduhan itu yang dianggap serius oleh Kongres.

Bahkan ada wacana untuk memakzulkan presiden pertama negara itu, George Washington, oleh mereka yang menentang kebijakannya. Ancaman-ancaman itu, bagaimanapun, tidak mencapai titik menjadi resolusi atau tuduhan resmi.

John Tyler adalah presiden pertama yang menghadapi ancaman pemakzulan. Mengambil alih kepresidenan setelah William Henry Harrison meninggal setelah hanya 30 hari menjabat, Tyler sangat tidak populer di Partai Whig-nya sendiri. Perwakilan DPR dari Virginia mengajukan petisi untuk pemakzulan Tyler, tetapi tidak pernah ditindaklanjuti oleh DPR.

Baru-baru ini, baik Ronald Reagan maupun George HW Bush menjadi subjek resolusi pemakzulan yang diajukan oleh Henry B. Gonzales, seorang perwakilan Texas dari Partai Demokrat, tetapi resolusi tersebut tidak ditindaklanjuti oleh Komite Kehakiman DPR.

George W. Bush menghadapi ancaman pemakzulan yang sedikit lebih serius ketika Perwakilan dari Partai Demokrat Dennis Kucinich mengajukan resolusi DPR yang menuntut Bush atas kejahatan perang. Sebagian besar anggota Dewan, 251 banding 166, setuju untuk merujuk resolusi tersebut ke Komite Kehakiman DPR, tetapi Ketua DPR Pelosi mengatakan bahwa setiap pembicaraan tentang pemakzulan “tidak akan dibahas”.

Barack Obama juga dituduh “melakukan kejahatan berat dan pelanggaran ringan”. Pada 2012, Perwakilan dari Partai Republik Walter Jones mengajukan resolusi DPR yang menuntut Obama atas pengesahan tindakan militer di Libya tanpa persetujuan Kongres. Resolusi itu dirujuk ke Komite Kehakiman namun tidak pernah diajukan untuk pemungutan suara.

Keterangan foto utama: Presiden Nixon menyambut para pendukung dalam perjalanannya menuju Konvensi Nasional Partai Republik pada tahun 1972. Dia mengundurkan diri dua tahun kemudian. (Foto: Reuters)

Siapa Saja Presiden AS yang Pernah Hadapi Pemakzulan?

BERLANGGANAN

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top