Meski telah mendapat materi deradikalisasi dari pemerintah, masih ada beberapa eks teroris yang nekat mengulang aksi terornya di Indonesia. Apakah ini berarti program pemerintah yang menyedot dana fantastis itu gagal?
Makassar diguncang aksi bom bunuh diri pada Minggu 928/3). Pelaku beraksi tepat di depan Gereja Katedral Makassar, setelah sempat ditolak masuk oleh petugas keamanan gereja.
Menurut pengamat terorisme, pelaku teror tersebut terkait dengan kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Peristiwa itu, kata pengamat, dilakukan sebagai “aksi balas dendam atas penangkapan puluhan terduga teroris” oleh Densus 88 Antiteror Polri dan diduga sebagai amaliyah atau aksi menjelang bulan Ramadan.
Kendati begitu, Polri masih belum bisa memastikan keterkaitan penangkapan besar-besaran terduga teroris dengan peristiwa yang bertepatan dengan perayaan Paskah tersebut. Namun, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebut akan terus menelusuri keberadaan sel-sel aktif JAD yang tersisa di Sulawesi Selatan, tulis BBC Indonesia.
Lepas dari siapa dan motivasi di balik serangan teror mengerikan tersebut, pertanyaannya, kenapa aksi semacam ini masih terus eksis di tengah program deradikalisasi yang digenjot BNPT. Sebagai informasi, dengan difasilitasi BNPT, anak-anak korban teroris di Indonesia berkesempatan untuk bertemu pembunuh orang tuanya. Ini merupakan bagian dari program deradikalisasi yang memang sudah dianggarkan oleh negara.
Menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2019, deradikalisasi adalah proses yang terencana, terpadu, sistematis, dan berkesinambungan yang dilaksanakan untuk menghilangkan atau mengurangi dan membalikkan pemahaman radikal terorisme yang telah terjadi. Deradikalisasi ditujukan kepada dua pihak, yakni:
Tersangka, terdakwa, terpidana, dan narapidana tindak pidana terorisme; dan
Mantan narapidana terorisme, orang atau kelompok orang yang sudah terpapar paham radikal terorisme.
Berdasarkan PP tersebut, khusus untuk mantan terpidana terorisme atau orang yang terpapar paham radikal, maka deradikalisasi dilakukan lewat tiga jalan, pembinaan wawasan kebangsaan, keagamaan, dan kewirausahaan.
Kendati sudah diatur sedemikian rupa, namun pelaksanaan deradikalisasi ini menuai banyak sorotan karena diragukan efektifitasnya. Terlebih, program ini menyedot dana yang tak sedikit. Meski tak disebutkan secara rigid, berdasarkan Nota Keuangan Beserta APBN Tahun Anggaran 2019, BNPT memiliki anggaran Rp699,6 miliar.
Lantas, bagaimana efektifitas program ini?
Menurut catatan BBC Indonesia, sejak 2016 hingga 2019, sebanyak 196 WNI eks ISIS beserta anak-anak mereka dideportasi ke Indonesia dari sejumlah negara. Oleh pemerintah Indonesia, mereka mendapatkan rehabilitasi selama sebulan di Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Handayani di Jakarta Timur. Langkah ini berbeda dari kebijakan saat ini di mana pemerintah dengan tegas menolak kepulangan 689 WNI eks ISIS yang masih berada di Suriah dan sekitarnya.
Dalam proses rehabilitasi, dilakukan pemeriksaan dasar kepada para deportan, termasuk kesehatan. Setelah itu, kondisi mental mereka akan dicek oleh psikolog. Adapun jenis terapi deradikalisasi yang diterapkan bisa berbeda-beda tergantung kondisi dari mereka. Mereka juga memperoleh wawasan kebangsaan dan lainnya di tempat rehabilitasi ini.
Jika ukuran keberhasilan deradikalisasi bagi mantan teroris adalah tidak kembali lagi ke jaringan lama atau minimal sadar bahwa apa yang dilakukannya keliru, maka deradikalisasi pemerintah tak sepenuhnya sempurna. Sebagai contoh, dalam salah satu pertemuan antara Sarah dan terpidana teroris Rois di Nusakambangan, Rois tampak masih keras hati, sehingga harus dikawal ketat oleh petugas. Berbeda dengan Ali, terpidana lain yang dibiarkan petugas untuk satu ruangan bersama keluarga korban.
Kepada media yang sama, salah satu eks teroris jaringan Al-Qaeda Sofyan Tsauri menyebut, keberhasilan deradikalisasi adalah saat mereka setia pada dasar negara, mengikuti kegiatan seminar, dan membentuk komunitas. Namun, meski pemerintah kukuh mengklaim program berdana gemuk ini cukup efektif, tapi ternyata beberapa kali tetap kebobolan juga. Ini terbukti dari aksi bom bunuh diri pasangan suami-istri Ruille Zeke dan Ulfah. Padahal, keduanya telah menjalani program deradikalisasi.
Penulis: Anastacia Patricia dan Purnama Ayu
Editor: Purnama Ayu Rizky
Keterangan foto utama: Suasana mencekam pasca-ledakan bom bunuh diri teroris di Makassar. (Foto: Liputan6)
Bom Makassar, Bukti Gagal Total Deradikalisasi BNPT