Kerusuhan di New Delhi
Asia

Brutalnya Nasionalis Hindu Delhi Tindas Muslim

Berita Internasional > Brutalnya Nasionalis Hindu Delhi Tindas Muslim

Bagi banyak umat Muslim India yang terlantar akibat kekerasan pada Februari 2020 di ibu kota India New Delhi, pelipur lara dan stabilitas dari pemerintah tidak banyak tersedia bagi mereka.

Setelah menghadiri salat berjamaah pada 24 Februari 2020, Mohammad Dilshad (30) kembali ke rumahnya di Shiv Vihar, New Delhi, membawa beberapa kurma favorit putranya yang berusia 7 tahun dengan menaiki rickshaw mesin. Ia masih berjarak 6 kilometer dari rumahnya ketika gerombolan nasionalis Hindu bersenjatakan pedang, tongkat besi, dan pentungan menghentikan kendaraannya di tengah jalan.

Pakaiannya, seperangkat baju Khan baru, pakaian khas Muslim India, menjadi kartu identitasnya. Salah satu pria dari gerombolan itu menyeret lehernya dan mendorongnya ke jalan. Ketika orang-orang bersenjata mulai merangsek ke arahnya, Dilshad mencoba melarikan diri dari gerombolan, meski gagal dan jatuh di jalan.

“Saya tidak ingat hal lain selain teriakan nyaring mereka ‘Jai Shri Ram!, Jai Shri Ram!’” kenang Dilshad. Ucapan itu kira-kira berarti “kemuliaan bagi Rama”, salah satu dewa dalam agama Hindu. “Mereka memukuli terus menerus sampai saya jatuh pingsan.”

Selama dua jam berikutnya, Dilshad terbaring berlumuran darah di bawah terik matahari.

Baca Juga: Kerusuhan India: Mengapa Muslim Tak Dilindungi di Negara Sekuler?

Massa nasionalis Hindu memburu dan memukuli umat Muslim hingga mati di jalanan New Delhi setelah protes berbulan-bulan terhadap pemerintah sayap kanan yang berkuasa dan kebijakan Islamofobia Partai Bharatiya Janata (BJP) yang berkuasa: Undang-Undang Amandemen Kewarganegaraan (CAA) dan rumor pembaruan Daftar Warga Negara Nasional (NRC).

NRC, yang bukan merupakan kebijakan resmi pemerintah pada saat ini, dapat menghapuskan kewarganegaraan jutaan warga India jika mereka gagal membuktikannya dengan dokumen. Sementara itu, CAA memberikan kewarganegaraan kepada non-Muslim khususnya dari Afghanistan, Pakistan, dan Bangladesh.

Secara keseluruhan, seperti dijelaskan oleh Menteri Dalam Negeri India Amit Shah yang merupakan sosok kepercayaan Perdana Menteri Narendra Modi, langkah-langkah tersebut menempatkan jutaan umat Muslim di India dalam risiko kehilangan kewarganegaraan mereka. Ratusan demonstran di seluruh India dalam berbagai aksi unjuk rasa berbeda menyebut kebijakan pemerintah itu menentang gagasan sekuler India.

Kekerasan terhadap Muslim di New Delhi bisa dibilang dimulai setelah seorang anggota BJP Kapil Mishra memperingatkan polisi dalam sebuah video populer untuk menumpas tempat-tempat protes “atau kami harus turun ke jalan.”

The Diplomat melaporkan, kekerasan terorganisasi di tangan kaum nasionalis Hindu itu akhirnya menewaskan 53 orang, melukai ratusan orang, dan menimbulkan dampak bagi ribuan orang.

Belakangan, ketika Dilshad akhirnya siuman, dia menyadari dia telah selamat. Namun, gerombolan itu telah mematahkan tangan kanannya dan melukai seluruh anggota tubuhnya. Dia berdiri tertatih-tatih beberapa meter dan memanggil adik laki-lakinya untuk meminta bantuan sebelum kembali pingsan di tengah jalan.

Setelah dirawat di rumah sakit distrik, ia pulang di malam hari ke rumah keluarganya yang berjumlah 12 orang dalam keadaan masih ternoda darah. Situasi keesokan paginya tidak kunjung membaik. “Massa mengelilingi kawasan rumah kami (di Shiv Vihar, New Delhi),” kenang Dilshad. “Orang-orang berteriak di rumah mereka ke arah gerakan massa.”

Dilshad mengklaim telah memanggil polisi beberapa kali tetapi jawabannya tetap sama: “Tunggu. Kami akan segera mengirim orang-orang kami.” Banyak penuturan sesama korban menegaskan ketidakmampuan polisi selama 72 jam sejak pecahnya kekerasan.

Pada saat itu, Dilshad telah kehilangan kepercayaannya terhadap lembaga negara. Ketika pasukan paramiliter memasuki lingkungannya pada malam 25 Februari, ia tidak mempercayai mereka. Namun, Dilshad juga tidak punya banyak pilihan.

Pengunjuk rasa melarikan diri dari serbuan gas air mata yang ditembakkan polisi selama unjuk rasa menentang pengesahan Undang-Undang Amandemen Kewarganegaraan (CAB) selama unjuk rasa di luar Universitas Jamia Millia Islamia di New Delhi, India, Jumat, 13 Desember 2019. (Foto: Reuters/Adnan Abidi)

“Saya sangat takut. Saya bertanya-tanya, akankah saya dan keluarga selamat?” keluh Dilshad.

Terburu-buru untuk bergegas keluar, Dilshad lupa memakai sandalnya. “Tidak ada yang berpikir untuk mengunci pintu. Kami hanya ingin melarikan diri.”

Selama beberapa hari berikutnya, Dilshad pindah ke salah satu kamp penampungan Dewan Wakaf Delhi di bagian timur laut kota untuk menemukan tempat berlindung yang aman.

Berjalan dengan sedih di luar tenda nomor lima pada 18 Maret, Dilshad membawa obat anti infeksi dari persediaan medis gratis. Dia menutupi matanya untuk menghindari nyala terik matahari, yang mengingatkannya akan hari ketika dia diserang. Di dalam tenda, dipan lipatnya tertutup debu dan puntung rokok buatan tangan berserakan.

“Setiap pagi saya bangun di tempat tidur ini. Saya merindukan rumah saya. Setiap sore, ketika saya mengantre makanan, saya merindukan rumah. Setiap malam, ketika pergi tidur, saya ingat sedang tidak bersama keluarga.”

Kamp yang terletak di tanah Eidgah di Mustafabad itu, salah satu wilayah yang dilanda kekerasan terburuk di timur laut Delhi, adalah rumah bagi ratusan keluarga Muslim yang meninggalkan rumah mereka setelah terjadinya kekerasan. Salah satu keluarga seperti itu adalah Mohammad Shameen Khan yang berusia 41 tahun.

Di dalam tenda di seberang Dilshad, Khan berdebat dengan istrinya tentang apakah aman untuk mengirim putri mereka yang berusia 16 tahun Julafsha ke luar kamp. Sebelumnya, putranya yang berusia 13 tahun Majeed, terpaksa tidak mengikuti ujian sekolah.

“Kami tidak memiliki air di sini. Saya perlu mengirim putra saya ke sumur terdekat untuk mandi,” kata Khan. “Kami harus lari karena kami takut akan nyawa kami, tetapi sekarang saya merindukan rumah saya setiap menit. Ada banyak masalah di sini.”

Julafsha mendengarkan ayahnya dengan tenang. Pada 24 Februari, dia ketakutan dan menyaksikan dari teras ketika gerombolan seratus pria bersenjata mengelilingi rumahnya di lingkungan Sherpur.

“Mereka membakar toko, merusak kendaraan, dan melakukan kekerasan kepada kami,” kenangnya. “Salah satu dari mereka memandang ayah saya dan berteriak: ‘Dekho Katua khada hai, maaro!’ yang berarti ‘Lihat, seorang pria yang disunat berdiri di sana, bunuh dia’.”

Gerombolan itu lantas mencoba masuk ke rumahnya ketika dia melompat dari terasnya bersama keluarganya tanpa sempat mengenakan alas kaki. Keluarganya juga mencoba memanggil polisi untuk meminta bantuan. “Pemerintah adalah musuh umat Islam,” keluh Khan. “Ketika polisi adalah perusuh, siapa yang kami mintai bantuan?”

Pendidikan yang mereka tempuh telah terganggu dan terhenti. Majeed tidak siap untuk ujiannya, yang merupakan keajaiban kecil di tengah situasi kerusuhan saat itu.

Sementara itu, Khan bertanya-tanya apa arti Perdana Menteri India Narendra Modi ketika dia berkata: “Ini India baru kita.”

“Apakah ini artinya?” tanya Khan, merujuk pada lonjakan ritual pemakaman umat Muslim setelah kekerasan. “Mengapa masjid kita dipenuhi orang mati syahid, toko-toko dijarah, dan rumah-rumah dibakar? Kami tidak memiliki hak di India yang baru.”

The Diplomat mencatat, Kamar Dagang dan Industri Delhi memperkirakan dampak ekonomi sekitar US$3,2 miliar akibat kekerasan. Sesuai laporan media, sekitar 92 rumah, 57 toko, 500 kendaraan, enam gudang, dua sekolah, empat pabrik, dan empat tempat peribadatan terbakar selama kekerasan, salah satunya adalah tempat kerja Khan. Satu-satunya sarana mata pencaharian keluarga, pabrik milik Muslim yang kini sekarat, telah dibakar massa pada 24 Februari sore.

[Berita Foto] Protes India Tolak UU Kewarganegaraan Anti-Muslim Kontroversial

Seorang bocah lelaki mengangkat spanduk protes menentang pengesahan Undang-Undang Amandemen Kewarganegaraan (CAB) selama unjuk rasa di Mumbai, India, Jumat, 13 Desember 2019. (Foto: Reuters/Francis Mascarenhas)

Istri Khan, Sameena Khatoon (35), takut akan masa depan anak-anaknya yang tidak pasti. Dia ngeri membayangkan kekerasan dan bagaimana dia terusir semalam dari rumahnya: “Sebelumnya, kami dulu hidup diam-diam di balik kerudung, sekarang kami bagaikan telanjang.”

Salah satu dari empat pusat ibadah yang dibakar adalah Masjid Madinah. Farhan Ahmed (21) adalah saksi ketika massa yang melemparkan bom molotov dan tabung gas ke tempat peribadatannya.

Setelah kekerasan, para tuan tanah Hindu meminta Ahmed dan ibunya yang janda untuk pergi dari tempat tinggal mereka di lingkungan Shiv Vihar. Tanpa uang, Ahmed terpaksa berlindung di kamp.

Mengenakan pakaian yang sama yang telah ia kenakan selama delapan hari, Ahmed tidak bisa tenang setelah kekerasan baru-baru ini.

“Kami telah hidup damai di daerah itu selama bertahun-tahun. Kami sudah hidup bersama selama ini. Namun sekarang, orang-orang Hindu telah berbalik melawan kami.”

Ketidakmampuan negara dalam mengatasi masalah mereka dan mengambil tindakan tegas membuat Ahmed merasa “lemah dan kalah”.

Berasal dari sebuah desa di Uttar Pradesh di India tengah-utara, Ahmed telah bermigrasi ke Delhi bersama ibunya untuk mengamankan masa depan yang lebih baik. “Saya merasa itu adalah kesalahan besar. Sekarang, masa depan saya telah hilang. Semuanya sudah berakhir. Saya tidak punya apa-apa lagi di sini.”

Baca Juga: Muslim India Dihukum karena Inginkan Kewarganegaraan

Di kamp, setiap pengungsi Musim yang terdaftar mendapatkan gelang putih bertuliskan nama mereka dengan spidol hitam. Setiap kali, mereka berjalan masuk atau keluar dari kamp, seorang penjaga di gerbang memastikan para pengungsi tersebut benar-benar tunawisma yang terlantar. “Saya merasa seperti seorang tahanan di penjara,” ujar Ahmed. “Saya merasa seperti seorang penjahat.”

Namun, Ahmed yakin akan satu hal setelah kekerasan sebelumnya: “Muslim perlu bersatu.”

Dia percaya, dengan bangkitnya nasionalisme Hindu, umat Muslim India perlu menciptakan ruang aman untuk bertahan hidup. “Kekerasan ini akan terus menghantui hati kami dalam waktu dekat. Kami tidak aman lagi. Jika perlu bertahan hidup dengan umat Hindu, kita harus bisa hidup bersama berdampingan.”

Sehari setelah Dilshad datang ke kamp, rumah dua lantai miliknya dibakar oleh massa. Langit-langit kamarnya telah runtuh, tempat tidurnya lenyap, dindingnya terkelupas hingga terlihat batu bata, sementara berbagai perabot dan alas kaki tersebar di mana-mana.

“Pemerintah jelas salah. Mereka menginginkan kekerasan ini,” tegas Dilshad.

Dia tetap diam saat matanya berlinang air mata. Menatap di luar tenda, dia mengaku tidak ingin mengingat rumahnya lagi.

“Saya masih takut jika saya pergi ke luar, massa akan memukul saya lagi. Saya juga tidak ingin pulang karena saya akan diingatkan tentang kenangan yang ingin saya lupakan.”

 

Penerjemah: Fadhila Eka Ratnasari

Editor: Purnama Ayu Rizky

Keterangan foto utama: Para petugas kepolisian mengejar demonstran selama unjuk rasa menentang pengesahan Undang-Undang Amandemen Kewarganegaraan (CAB) di Universitas Jamia Millia Islamia di New Delhi, India, Jumat, 13 Desember 2019. (Foto: Reuters/Adnan Abidi)

Brutalnya Nasionalis Hindu Delhi Tindas Muslim

BERLANGGANAN

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top