Wabah virus corona baru telah mendorong pejabat setempat dan masyarakat adat di wilayah Papua Indonesia untuk menutup lalu lintas dan desa-desa. Meski langkah ini dipuji para ahli, pemerintah pusat telah mengkritiknya, lantaran dampak ekonominya diprediksi bakal mengerikan.
Pejabat setempat dan masyarakat adat di wilayah Papua telah memberlakukan lockdown besar-besaran untuk meminimalkan penyebaran virus corona.
Wilayah Papua, yang terdiri dari provinsi Papua Barat dan Papua, memiliki sedikit fasilitas kesehatan umum, konektivitas jalan yang buruk, dan tingkat kematian ibu dan bayi tertinggi di Indonesia.
Menghadapi tantangan untuk membendung wabah COVID-19 dalam kondisi tersebut, pemerintah provinsi sementara membatasi lalu lintas udara dan laut ke wilayah tersebut. Di pedalaman Papua, masyarakat adat memblokir akses jalan ke desa mereka untuk orang luar.
Ada kekhawatiran, jika wabah COVID-19 melanda wilayah ini, lebih dari 300 suku asli di sana akan terancam. Kasus infeksi pertama di antara masyarakat adat telah terjadi di Amazon Brasil.
Di Provinsi Papua, di mana pembatasan perjalanan diberlakukan pada 26 Maret, Gubernur Lukas Enembe mengatakan lockdown penuh mungkin akan diterapkan untuk tiga wilayah adat di provinsi ini: Lapago, Meepago, dan Animha. Dia mengatakan komunitas tersebut sangat rentan terhadap infeksi.
Di Papua Barat, pejabat setempat juga menerapkan pembatasan perjalanan pada 30 Maret. Ada 28 infeksi COVID-19 yang dikonfirmasi di kedua provinsi pada 6 April, dengan tiga kematian.
Para aktivis menyambut langkah-langkah untuk membatasi kedatangan orang dari luar dan menutup daerah-daerah rentan, mengingat kurangnya fasilitas perawatan kesehatan yang memadai.
Di wilayah yang menampung 4 juta orang itu, hanya ada lima rumah sakit yang ditunjuk pemerintah untuk merawat pasien COVID-19. Kelima rumah sakit itu hanya memiliki 60 ventilator, dan harus bergantung pada pemerintah pusat untuk persediaan peralatan perlindungan pribadi bagi petugas kesehatan.
“Sebagian besar suku memiliki populasi kecil, sehingga mereka rentan terhadap kepunahan jika menghadapi pandemi COVID-19,” ujar Rukka Sumbolinggi, sekretaris jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) kepada Mongabay.
“Masyarakat adat tidak terbiasa dengan penyebarannya dan dengan obat (yang diperlukan) untuk pasien.”
Banyak masyarakat telah mengambil inisiatif untuk menutup akses jalan ke desa mereka. Franky Samperante, direktur eksekutif Yayasan Pusaka, mengatakan warga di kabupaten Boven Digoel dan Maybrat di Papua telah menutup desa mereka. Dia menambahkan masyarakat adat juga melakukan ritual tradisional yang mereka yakini dapat menangkis energi buruk.
“Orang-orang ini telah mendengar beberapa informasi tentang virus corona dan kengerian COVID-19, dan mereka khawatir tentang hal itu,” ujarnya.
Lockdown ini penting untuk mencegah orang luar membawa virus ke masyarakat adat, kata Christian Ari, direktur LSM Perkumpulan Silva Papua Lestari (PSPL). Anggota komunitas ini memiliki hubungan sosial yang kuat, jadi mempraktekkan penjarakan fisik begitu infeksi telah terdeteksi akan sulit dilakukan, imbuhnya.
“Jika pemerintah tidak mengambil tindakan tegas, akan ada banyak kematian di Papua, yang disertai dengan implikasi bagi dinamika politik di Papua,” ucap Christian.
“Orang Papua bisa menganggap mereka sengaja dibunuh oleh negara,” sambungnya.
Christian menambahkan timnya juga harus meluruskan disinformasi di komunitas-komunitas ini.
“Beberapa orang percaya virus itu hanya menyerang pejabat yang melakukan perjalanan ke luar kota, bukan mereka,” katanya.
Franky meminta pejabat setempat untuk membatasi kegiatan perusahaan perkebunan dan pertambangan yang beroperasi di sekitar tanah adat untuk mengurangi risiko infeksi oleh pekerja.
“Para pekerja itu adalah pembawa penyakit potensial yang mungkin akan menginfeksi orang-orang di desa,” ujarnya.
Christian menyebutkan, pejabat setempat harus memastikan ketersediaan pasokan makanan untuk masyarakat yang telah memilih untuk menutup desa mereka, termasuk mereka yang terbiasa mencari makan di hutan. Dia memaparkan, kekurangan pasokan makanan dapat memaksa anggota komunitas ini untuk meninggalkan desa mereka mencari makanan di daerah lain, sehingga berisiko bertemu orang lain dan kemungkinan terinfeksi.
Namun, meski aktivis melihat pembatasan ini sebagai perlu, pemerintah pusat telah mengkritik larangan perjalanan itu. Pemerintah menegaskan hanya pihaknya yang memiliki kekuatan untuk memberlakukan aturan seperti itu, dan sampai saat ini telah menolak permintaan dari daerah lain untuk memberlakukan lockdown, dengan mengutip dampak ekonomi yang mengerikan.
Ricky Ham Pagawak, bupati Mamberamo Tengah, Provinsi Papua, mengatakan pembatasan itu sah secara hukum dan diperlukan untuk melindungi kesehatan masyarakat, dan telah disetujui oleh polisi dan DPRD.
“Apa pun yang terjadi di Papua, orang Papua yang bertanggung jawab, bupati, wali kota, dan gubernur yang bertanggung jawab,” tegas Ricky.
“Ini orang-orang kami, tanah kami, negara kami.”
Penerjemah: Nur Hidayati
Editor: Purnama Ayu Rizky
Keterangan foto utama: Gubernur Papua, Lukas Enembe. (Foto: Victor Mambor via RadioNZ)