Dengan sedikit atau tanpa ketahanan biaya di dalam negeri Indonesia untuk menangani pandemi COVID-19, pinjaman siaga multi-miliar dari Australia diharapkan dapat membantu memulihkan kepercayaan ekonomi terhadap satu sama lain.
Pemerintahan Perdana Menteri Australia Scott Morrison perlu segera mempertimbangkan bagaimana cara terbaik untuk membantu Indonesia mengelola risiko ekonomi yang ditimbulkan oleh pandemi COVID-19. Indonesia menghadapi prospek yang berbahaya ketika pemerintah berjuang keras untuk mengendalikan wabah virus. Kian memperburuk masalah, Indonesia juga merupakan salah satu negara yang paling terpukul oleh aliran keluarnya uang dari negara-negara berkembang di seluruh dunia.
Apa yang terjadi di Indonesia sangat penting bagi Australia, mengingat ukuran negara ini, kedekatan kedua negara, dan manfaat bagi kepentingan ekonomi, diplomatik, dan keamanan negeri kanguru itu secara umum. Dengan demikian, Australia harus melakukan segala upaya yang dapat dilakukan untuk membantu Indonesia.
Ukuran besar Indonesia, dengan 270 juta penduduk dan ekonomi senilai satu triliun dolar, mungkin membuatnya mustahil untuk menawarkan bantuan yang berarti tanpa menghadirkan dampak besar sehingga secara politis tidak layak. Hal itu terutama karena ekonomi Australia sendiri mulai terpukul oleh pandemi.
Namun, menurut analisis Roland Rajah dari Lowy Institute, dukungan Australia dapat membuat perbedaan yang signifikan dan, jika dikelola dengan baik, tidak akan banyak merugikan anggaran Australia.
Secara khusus, pemerintah Australia dapat memberi pemerintah Indonesia fasilitas pinjaman “siaga” yang cukup besar sebanyak US$10 miliar (16,1 miliar dolar Australia) yang dapat dicairkan jika Indonesia mengalami kesulitan dalam meningkatkan pembiayaan anggaran yang memadai dari pasar. Pinjaman ini dapat dilengkapi dengan memperluas jalur pertukaran mata uang, mungkin sebanyak US$10 miliar tambahan, untuk memperkuat pertahanan Indonesia terhadap depresiasi mata uang yang berlebihan, seperti yang baru-baru ini disarankan oleh Mantan Menteri Keuangan Indonesia Chatib Basri dan para ekonom di Australian National University.
Manfaatnya, pengaturan pinjaman tersebut tidak perlu diambil untuk memiliki efek jaminan positif. Keberadaan pinjaman itu semata-mata akan meningkatkan kepercayaan pasar bahwa Indonesia dapat membiayai defisit anggaran dan bertahan terhadap tekanan mata uang yang tidak diinginkan, sehingga kecil kemungkinan fasilitas-fasilitas tersebut akan dibutuhkan.
Australia telah berpartisipasi dalam fasilitas pinjaman siaga serupa untuk Indonesia di masa lalu, misalnya selama krisis keuangan global pada 2009 dan sekali lagi sebagai tanggapan terhadap “taper tantrum” ekonomi global pada 2013. Dalam kedua kesempatan itu, Australia berkomitmen meminjamkan sekitar 1 miliar dolar Australia, yang tidak pernah dicairkan oleh Indonesia. Komitmen itu merupakan bagian dari fasilitas multilateral sekitar US$5 miliar yang dipimpin oleh Bank Dunia.
Krisis Kesehatan saat ini jelas membutuhkan jumlah dana yang jauh lebih besar. Namun, tekanan besar pada anggaran Australia sendiri beresiko menyulitkan politik. Untuk mengatasinya, perbedaan utama kali ini adalah dengan menetapkan persyaratan pinjaman yang mendekati biaya pinjaman negara Indonesia sendiri selama masa “normal”, alih-alih memberikan pinjaman semi-lunak seperti di masa lalu. Pertukaran valuta asing (currency swap) juga bisa menggunakan pendekatan serupa.
Lebih dari setengah juta warga Indonesia kemungkinan besar sudah melakukan kontak langsung dengan penderita corona. (Foto: EPA EFE)
Indonesia tidak membutuhkan jumlah pembiayaan murah yang sederhana. Negeri ini membutuhkan kemampuan meminjam dengan harga pasar normal tetapi dengan kepastian dan sesuai skala. Bagi Australia, bahkan jika dana tersebut pada akhirnya dicairkan, pinjaman itu tidak akan berdampak negatif pada saldo kas atau saldo fiskal anggaran Australia karena persyaratan pinjaman dapat dinilai untuk risiko gagal bayar (default) apa pun.
Untuk melihat mengapa dukungan seperti itu bisa menjadi sangat penting, kita perlu menyadari ketergantungan Indonesia pada pembiayaan luar negeri yang tidak stabil, yang mengancam untuk memperburuk kerusakan akibat pandemi COVID-19.
Indonesia telah menderita arus keluar keuangan sekitar US$10 miliar sejak akhir Januari 2020, sementara mata uang Rupiah anjlok sebanyak 14 persen. Utang luar negeri yang cukup besar senilai US$410 miliar, sebagian besar berutang dalam dolar AS, menjadikan ini masalah besar. Menguapnya permintaan ekspor komoditas kian menambah masalah di Tanah Air.
Tekanan keluar telah mereda dalam beberapa hari terakhir. Namun, hal ini dapat dengan mudah kembali dengan kekuatan yang lebih besar, terutama jika masalah di negara berkembang lainnya memicu kekhawatiran penularan krisis keuangan atau jika Indonesia kehilangan kendali atas situasi wabah di dalam negeri.
Sama mengkhawatirkannya ialah jika ketergantungan pada pembiayaan luar negeri yang tidak stabil dapat mencegah Indonesia mengerahkan jenis ekspansi fiskal dan moneter besar-besaran yang diperlukan di semua negara untuk menjaga ekonomi dan masyarakat bertahan melalui pandemi. Lebih buruk lagi, pemerintah Indonesia mungkin akan terhambat untuk mengejar langkah-langkah kesehatan masyarakat yang memadai jika khawatir tidak akan dapat memberikan dukungan kebijakan yang diperlukan untuk mengurangi dampak ekonomi dan sosial secara langsung.
Kita sudah bisa melihat tanda-tanda semua masalah ini. Respons kebijakan ekonomi Indonesia terhadap pandemi relatif lemah. Pemerintah menetapkan langkah-langkah anggaran baru yang bernilai hanya 2,8 persen dari PDB, sementara suku bunga hanya dipotong menjadi 4,5 persen untuk menghindari tekanan lebih lanjut pada mata uang. Pemerintah pusat juga mulai enggan secara perlahan memberlakukan langkah-langkah menjaga jarak (physical distancing) secara ketat.
Mungkin lebih banyak bantuan akan dibutuhkan di bidang kesehatan dan ekonomi. Pertanyaannya adalah apakah kondisi pasar akan memungkinkannya. Sayangnya, mudah untuk melihat bagaimana umpan balik yang salah dapat terbentuk, dengan kekhawatiran pasar membatasi kemampuan para pembuat kebijakan untuk merespons secara efektif, sehingga meningkatkan kerusakan pandemi, mendorong lebih banyak arus modal keluar, dan sebagainya. Apa pun yang terjadi dengan pandemi COVID-19 sendiri, lingkaran setan seperti itu menimbulkan ancaman untuk memperburuk keadaan.
Untungnya, pondasi ekonomi Indonesia cukup sehat sehingga dengan beberapa dukungan tambahan, kita bisa berada dalam posisi yang baik untuk menahan pandemi ekonomi yang disebabkan oleh wabah virus. Dukungan kebijakan Australia yang disarankan di sini, dikombinasikan dengan kontribusi realistis dari pemerintah negara-negara lain dan lembaga multilateral, dapat menghasilkan perbedaan itu.
Jika Indonesia tertarik mengambil asuransi krisis semacam itu, Roland Rajah dari Lowy Institute menyimpulkan, Australia sebaiknya secara sukarela mewajibkan diri sendiri untuk memberikan pinjaman.
Penerjemah: Fadhila Eka Ratnasari
Editor: Purnama Ayu Rizky
Keterangan foto utama: Perdana Menteri Australia Scott Morrison dan Presiden Indonesia Joko Widodo pada pertemuan bilateral selama KTT ASEAN 2018 di Singapura, pada 14 November. (Foto: APA)
Corona di Indonesia: Haruskah Australia Tawarkan Pinjaman Krisis?