Pembatasan Sosial
Berita Politik Indonesia Hari Ini

Corona di Indonesia: Krisis Kesehatan dan Ekonomi Mulai Buat Kewalahan

Berita Internasional > Corona di Indonesia: Krisis Kesehatan dan Ekonomi Mulai Buat Kewalahan

Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo terlambat mengakui bencana kesehatan dan ekonomi negara, tetapi tidak memiliki cukup solusi untuk menyelesaikan masalah terkait.

Dengan diberlakukannya pembatasan sosial yang meluas di sebagian besar wilayah Indonesia, Presiden Joko “Jokowi” Widodo terlambat mengakui krisis kesehatan masyarakat dan krisis ekonomi yang dihadapi sekarang. Jokowi semakin mengisyaratkan hanya ada sedikit pilihan bagus untuk merespons pandemi COVID-19.

Pengumuman pada Senin (13/4) yang menyatakan COVID-19 sebagai bencana nasional cenderung membingungkan dan terlambat, terutama setelah dua bulan beragam pesan dan narasi menyesatkan dari Istana, Kementerian Kesehatan, dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), yang semuanya mengarah kepada keengganan pemerintah untuk terbuka kepada masyarakat.

Sementara itu, sebagian besar dari 134 juta pekerja Indonesia menghadapi ancaman baru: pukulan ekonomi atas kematian akibat COVID-19 dan hilangnya produktivitas dalam jumlah besar.

Baca Juga: Sebab-sebab Korban Corona Indonesia Melonjak Drastis

Paket bantuan ekonomi senilai US$25 miliar yang diumumkan awal April 2020 tidak banyak membuahkan hasil dan menimbulkan kebingungan luar biasa tentang siapa saja yang akan mendapat manfaat.

Sekarang, lebih dari sebelumnya, Indonesia harus dengan cepat meningkatkan kapasitas manajemen krisis nasional dan mengerahkan para profesional yang berpengalaman menghadapi bencana nasional dan krisis ekonomi secara bersamaan.

Dengan mayoritas dari 134 juta pekerja Indonesia hidup dalam kemiskinan mutlak, berasal dari keluarga berpenghasilan rendah, atau terdiri dari kelas menengah yang rapuh, menurut analisis James P. Bean dari Asia Times, ekonomi Indonesia masih bergantung pada perjuangan mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Bagi orang-orang yang terdiri dari pekerja miskin dan keluarga mereka yang tinggal di seluruh Indonesia, berjuang untuk bertahan hidup dan perawatan kesehatan yang tidak memadai telah menjadi bentuk komorbiditas tersendiri.

Rakyat Indonesia senantiasa mengenang slogan dan kisah tertentu dari narasi yang membingkai kesadaran nasional. Salah satu contoh yang paling berharga adalah kisah tentang petani bernama Marhaen yang bertemu pahlawan kemerdekaan dan presiden pertama Indonesia Sukarno di Jawa Barat hampir seabad lalu.

Sukarno menyadari, orang-orang seperti Marhaen memiliki alat produksi tetapi masih hidup di bawah penindasan kolonial. Dari narasi itu, Sukarno lantas menciptakan ideologi nasionalis Marhaenisme dan menempatkan para petani di pusat perjuangan revolusioner anti-kapitalisnya.

Sukarno memahami, pondasi gerakannya adalah kaum miskin kelas pekerja.

Menata ulang kisah Marhaen dalam konteks kontemporer, sosok itu mungkin masih merupakan petani yang tinggal di pedesaan. Namun, jauh lebih mungkin sang Marhaen modern akan tinggal di kota, mungkin saja bekerja di lokasi konstruksi, mungkin bahkan mengendarai sepeda motor dan bekerja sebagai pengemudi ojek online di Grab atau Go-Jek.

Lebih dari setengah juta warga Indonesia kemungkinan besar sudah melakukan kontak langsung dengan penderita corona. (Foto: EPA EFE)

Baca Juga: Corona Indonesia: Kreatifnya Bali Ubah Arak Jadi Hand Sanitizer

Seratus tahun lalu, kurang dari 10 persen Indonesia yang telah tersentuh urbanisasi. Saat ini, hampir dua pertiga dari populasi tinggal di kota-kota besar. Marhaen saat ini kemungkinan besar masih melunasi sepeda motornya (80 persen pembeli sepeda motor membeli lewat layanan pembiayaan cicilan), tetapi ia memiliki ponsel untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan teman.

Sang Marhaen modern mungkin meraih penghasilan sekitar 75 hingga seratus ribu rupiah sehari. Begitu hari raya Idul Fitri tiba akhir Mei 2020, sang Marhaen akan kembali ke daerah asal, terlepas dari seruan Jokowi untuk tidak mudik selama pandemi atau apakah Marhaen telah mencoblos Jokowi di Pilpres 2014 dan 2019 silam.

Begitulah inti dari kelas pekerja: menghasilkan cukup uang sehingga kita dapat pulang dengan membawa buah tangan untuk orang terkasih di kampung halaman dan menghabiskan waktu bersama semua keluarga selama musim libur lebaran.

Situasi yang dihadapi sang Marhaen masa kini adalah pengalaman khas 60 persen tenaga kerja Indonesia yang bekerja di sektor informal. Mereka tidak termasuk dalam dasar pengenaan pajak Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan juga tidak dimonitor secara memadai oleh pemerintah.

Sulit membayangkan Menkeu Sri Mulyani masih menyempatkan memikirkan sang Marhaen. Bagaimanapun juga, Sri Mulyani ditunjuk secara politis dengan rekam jejak menteri yang terbukti dan memiliki utang jabatan ke Jokowi, bukan kepada para pemilih seperti Marhaen.

Namun, jauh lebih mudah untuk membayangkan Jokowi merenungkan dengan sangat hati-hati seorang rakyat seperti Marhaen. Alasannya sederhana: pekerja miskin Indonesia telah memilih Jokowi pada Pilpres 2014 sebagai sosok pemimpin rakyat.

Jokowi tidak benar-benar bersikap naif terhadap risiko krisis kesehatan dan ekonomi di Indonesia saat ini. Terlepas dari meningkatnya darurat kesehatan masyarakat dengan tingkat sebenarnya yang masih belum jelas, ia menyadari COVID-19 akan berdampak buruk bagi ekonomi “nyata” Indonesia.

Situasi kali ini jelas berbeda dari krisis ekonomi di masa lalu seperti krisis keuangan Asia 1997-1998 dan resesi global 2008 yang memengaruhi bagian keuangan dari ekonomi negara.

Sentimen ekonomi yang berlaku di Indonesia sejak merebaknya pandemi COVID-19 sangat negatif. Pasar ekuitas telah anjlok hingga 40 persen dalam tiga bulan terakhir, kurva hasil obligasi dan sekuritas utang berada di ambang kejatuhan, sementara mata uang telah mengalami devaluasi sebesar 20 persen.

PHK perusahaan baru saja dimulai dan pengangguran melonjak di seluruh negeri. Sementara itu, perusahaan-perusahaan milik negara di Indonesia berada di bawah kepemimpinan Menteri BUMN Erick Thohir yang masih dipertanyakan.

Pandemi Corona

Panic buying di Indonesia yang terjadi setelah corona melanda negeri ini. (Foto: The Jakpost)

Jokowi menyadari, dia menghadapi kehilangan produktivitas yang sangat besar dan memiliki kapasitas fiskal yang terbatas. Paket bantuan ekonominya senilai US$25 miliar sejauh ini memiliki manfaat yang tidak jelas. Berusaha memunculkan citra kejujuran fiskal, Menkeu Sri Mulyani meyakinkan pasar telah waspada dengan risikonya. Ia menegaskan, Indonesia harus sangat berhati-hati untuk menghindari bahaya moral dari wabah.

Jaminan semacam itu kedengarannya meragukan di tengah peraturan baru yang memberikan kekebalan kepada para pembuat kebijakan dari tuntutan pidana ketika mengeluarkan kebijakan yang dianggap perlu untuk melindungi ekonomi.

Setidaknya, jaminan Sri Mulyani menjadi pengingat tentang skandal masa lalu ketika dana bailout publik dikorupsi oleh para politisi dan pejabat.

Mantan Menteri Koordinator Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti secara blak-blakan mengeluh tentang tidak adanya urgensi terkait dengan pasar tenaga kerja dan COVID-19 saat berbicara dengan Asia Times.

“Kita perlu mengawal pasar tenaga kerja kita dengan melindungi rakyat dengan perlindungan yang tepat, peralatan, setidaknya makanan yang cukup untuk bertahan hidup. Kita tidak bisa goyah. Kita harus mengubah alokasi anggaran kita dan memastikan setiap orang terlindungi. Hal ini tidak dapat dilakukan tanpa bantuan pemerintah. Kita tidak bisa menutup ekonomi. Kita harus tegas dan fleksibel,” desak Susi Pudjiastuti dari rumahnya di Jawa Barat, salah satu pusat pandemi.

Kabinet masa jabatan kedua Jokowi saat ini mencerminkan tukar guling politik antara ambisi politiknya sendiri dan partai-partai politik yang membentuk koalisinya yang terlalu gemuk.

Para menteri seperti Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Kesehatan Terawan Putranto mencerminkan preferensi Jokowi untuk politisi dan pensiunan petinggi militer dengan pengalaman profesional yang memiliki manfaat atau rekam jejak terbatas dalam menangani krisis ekonomi.

Dominasi Jokowi atas arena politik dan kecerdikannya untuk membungkam segala jenis oposisi dilambangkan dalam susunan menteri yang sekarang tampaknya tidak memadai untuk tugas menghadapi krisis Kesehatan dan ekonomi nasional. Saat-saat seperti ini, Jokowi justru membutuhkan sepuluh teknokrat atau lebih seperti Menkeu Sri Mulyani dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.

Dengan demikian, Jokowi dihadapkan dengan dilema di tengah pandemi. Infrastruktur kesehatan Indonesia telah menyokong kehidupan selama beberapa dekade, meskipun ada keuntungan sederhana yang diperoleh dengan memperluas cakupan BPJS sebagai sistem asuransi perawatan kesehatan pembayar tunggal terbesar di dunia.

Pegawai negeri Sebagian besar masih tetap dibayangi masalah korupsi sekaligus birokrasi yang membingungkan dan tumpang tindih, mandat yang tidak jelas, hingga peraturan yang tidak konsisten. Tingkat inkompetensi akut birokrasi Indonesia tersebar merata di seluruh 34 kementerian.

Tidak diragukan lagi, pandemi COVID-19 adalah bencana bagi Indonesia, terlebih bagi para pekerja miskin dan keluarga mereka. hal itu telah mengaburkan pemerintah yang picik dan jauh lebih terfokus pada intrik internal dan citra publik daripada menciptakan lapangan kerja serta peluang ekonomi bagi 270 juta penduduk Indonesia.

Resep Jokowi untuk perubahan ekonomi terlalu sering terjebak dalam siklus putaran politik dan ketinggalan zaman, terlepas dari e-learning yang terdengar modern, e-commerce, dan slogan layanan satu atap.

Namun, kinerja aktualnya terhadap metrik ekonomi utama sangat tidak jauh berbeda dari para pendahulunya. Hal itu kian memperkuat kelas menengah yang terus bertumbuh tetapi tidak banyak mengatasi ketidaksetaraan atau hubungan antara calon kelas menengah dan kualitas layanan sosial yang buruk.

Pandemi COVID-19 dan pembatasan pergerakan penduduk yang baru diterapkan Jokowi pasti akan menyebabkan penderitaan ekonomi mendalam bagi pekerja miskin yang tidak mungkin “bekerja dari rumah” selama wabah.

Bank Dunia telah memperkirakan kemungkinan sejumlah besar rumah tangga berpenghasilan rendah dan pekerja informal akan masuk kembali ke dalam kemiskinan jika terjadi guncangan ekonomi yang sudah mulai dirasakan akibat wabah.

Dapat diprediksi sepenuhnya dampak ekonomi pandemi COVID-19 akan paling dirasakan oleh para pekerja miskin yang memiliki paling sedikit aset dan tabungan. Secara signifikan, pemerintahan Jokowi tidak memiliki rekam jejak yang kuat untuk menangani isu kesejahteraan atau ketidaksetaraan untuk segmen populasi yang paling rentan ini.

Kabinet Jokowi saat ini, dengan hanya sedikit pengecualian, bisa dibilang tidak sesuai dengan tantangan krisis kesehatan dan ekonomi Indonesia. Setelah Jokowi bermain politik dalam mengakomodasi jajaran kabinet Indonesia Maju, dia kini sangat membutuhkan sosok profesional yang berpengalaman menangani bencana nasional dan krisis ekonomi.

Pengumuman darurat nasional pada 13 April hanyalah sekadar perubahan istilah, James P. Bean dari Asia Times menyimpulkan. Presiden Jokowi harus bisa melangkah lebih jauh dari itu.

 

Penerjemah: Fadhila Eka Ratnasari

Editor: Purnama Ayu Rizky

Keterangan foto utama: Presiden Joko Widodo (kiri) didampingi Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menyampaikan konferensi pers terkait virus corona di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (2/3/2020). Presiden menyatakan 2 orang WNI yaitu seorang ibu dan anak di Indonesia telah positif terkena corona setelah berinteraksi dengan Warga Negara Jepang yang berkunjung ke Indonesia. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/foc.

Corona di Indonesia: Krisis Kesehatan dan Ekonomi Mulai Buat Kewalahan

BERLANGGANAN

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top