Bahkan ketika Presiden China Xi Jinping memobilisasi “perang rakyat” melawan virus corona, kapal perang China sibuk di bidang lain: mempertahankan kampanye tekanan mereka di Laut China Selatan, di mana penumpukan aktivitas militer menandakan perang dingin AS-China yang baru.
Di seberang jalur air yang kaya sumber daya, Penjaga Pantai China dan kapal paramiliter terus menindas kapal penangkap ikan, kapal militer, serta anjungan minyak dan gas milik negara-negara kecil di Asia Tenggara yang menolak klaim Beijing atas hampir seluruh lautan tersebut.
Bulan lalu, angkatan laut China melakukan latihan tempur dengan armada kapal selam, jet tempur, dan kapal rudal yang bergerak cepat. Latihan itu terjadi seiring kapal induk AS di wilayah itu dikesampingkan ribuan mil jauhnya di Guam, anggota awaknya dan mantan komandannya sakit karena COVID-19, Los Angeles Times melaporkan.
Perselisihan di Laut China Selatan mendorong irisan yang lebih dalam antara China dan AS. Pemerintahan Trump menuduh Beijing memanfaatkan pandemi dengan membantu negara-negara memerangi virus corona, sementara Tentara Pembebasan Rakyat China memperketat cengkeramannya di pulau-pulau dan terumbu karang yang disengketakan, menentang keputusan internasional dan klaim teritorial oleh negara-negara tetangga.
“Tidak ada jeda atau pengurangan yang jelas sama sekali dalam aktivitas China di Laut China Selatan,” tutur Collin Koh, pakar keamanan maritim di Nanyang Technological University di Singapura kepada Los Angeles Times.
“Tampaknya menjadi bisnis seperti biasa bagi PLA, dan dalam hal ini, Penjaga Pantai China juga,” imbuhnya.
Namun, krisis virus corona juga menyoroti berkurangnya kepemimpinan global Amerika Serikat.
Seiring pemerintah Trump disibukkan di dalam negeri dalam membendung wabah paling parah di dunia (di mana setengah juta orang terinfeksi dan lebih dari 18.000 orang meninggal), para sekutu di Asia dan di seluruh dunia menerima bantuan China bahkan ketika mereka berselisih dengan pelanggaran norma-norma internasional oleh China.
“Pandemi ini mengkonfirmasi ketakutan terburuk mereka tentang kami berdua, AS menarik diri sementara China akan menempatkan kepentingannya sendiri di atas kepentingan negara-negara tetangganya,” jelas Gregory B. Poling, Direktur Asia Maritime Transparency Initiative di Center for Strategic and International Studies kepada Los Angeles Times.
Pada suatu hari bulan lalu, media pemerintah China melontarkan lebih dari selusin laporan tentang Beijing yang menyumbangkan bantuan untuk memerangi virus corona: sarung tangan ke Italia, alat uji ke Ethiopia, baju medis pelindung ke Korea Selatan.
Pada hari yang sama, 20 Maret, New China News Agency membawa laporan yang bertajuk, “Stasiun penelitian baru beroperasi di Kepulauan Nansha,” menggambarkan pembukaan dua laboratorium sipil untuk mempelajari lingkungan laut di Laut China Selatan.
Pengumuman itu (menggunakan nama China untuk apa yang lebih dikenal sebagai Kepulauan Spratly), mengesampingkan perselisihan pahit seputar kepulauan itu, di mana militer China telah menciptakan serangkaian pulau buatan untuk menampung pos-pos militer.
Sebuah kapal nelayan Vietnam berlayar di sebelah kapal utama ketujuh AS, USS Blue Ridge. (Foto: Getty Images)
Dua stasiun penelitian tersebut berlokasi di Fiery Cross Reef dan Subi Reef (masing-masing diklaim oleh Filipina dan Vietnam), di mana China mengeruk tanah untuk membangun landasan pacu, penempatan rudal, menara radar, dan barak yang dapat menampung ribuan tentara.
Meskipun laboratorium itu digambarkan sipil, para analis keamanan mengatakan China dapat menggunakan penelitian tersebut untuk meningkatkan eksplorasi minyak dan gas laut dalam, logam langka, dan sumber daya lainnya.
Bulan lalu, sebuah pesawat pengangkut China mendarat di Fiery Cross Reef, semacam misi pasokan rutin yang sering tidak diperhatikan dalam apa yang disebut Poling sebagai “konsolidasi tingkat rendah dan sehari-hari China di Laut China Selatan.”
Jalur air tersebut (yang dilewati lebih dari US$3 triliun barang setiap tahun) adalah salah satu daerah yang paling diperebutkan di dunia. Duduk di atas cadangan minyak dan gas yang besar, itu adalah titik utama dalam hubungan China dengan negara-negara Asia Tenggara, termasuk enam negara yang memegang klaim pulau yang bersaing.
Tindakan agresif Beijing bertentangan dengan citra yang lebih lembut yang dicoba diproyeksikan sejak wabah virus corona, yang muncul di China tengah akhir tahun lalu dan berpacu di seluruh dunia.
China pada awalnya dikritik karena tidak melaporkan tingkat keparahan wabah itu, tetapi sejak itu menyatakan dirinya sebagai kekuatan yang tak tergantikan dalam membantu mengendalikan penyebaran virus global.
Ketika China melaporkan kasus COVID-19 semakin berkurang di dalam negeri, China telah menyumbangkan peralatan pelindung ke lebih dari 120 negara, menyalakan pabrik untuk memenuhi permintaan global akan ventilator, dan mengerahkan para ahli medis untuk membantu negara-negara lain.
Pimpinan China telah menolak kritik, bantuannya bermotif politik, dengan mengatakan, “tidak pernah ada dalam agenda untuk membuat bantuan sebagai taktik untuk mengejar pengaruh,” dinukil dari Los Angeles Times.
AS juga telah meningkatkan bantuan, menyumbang tambahan US$274 juta dalam kesehatan darurat dan bantuan kemanusiaan ke negara-negara di seluruh dunia, termasuk US$18 juta di Asia Tenggara.
Di wilayah ini (yang berjuang untuk mengendalikan gelombang infeksi baru), bantuan kemanusiaan China disambut baik, lanjut Koh. Namun pemerintah juga mengakui, manuver maritim China terus berlanjut, sementara para penuntut saingan “kewalahan bergulat dengan krisis virus corona,” tambahnya.
“Akan ada dampak yang tak terhindarkan pada kepercayaan dan bagaimana pemerintah-pemerintah ini memandang niat Beijing,” ungkap Koh.
“China harus melangkah dengan sangat hati-hati jika tidak ingin melihat keuntungan diplomatik dari penjangkauan virus corona ini rusak karena apa yang dilakukannya di Laut China Selatan.”
Ketegangan merebak pekan lalu setelah sebuah kapal militer China menabrak dan menenggelamkan kapal nelayan Vietnam dari Kepulauan Paracel yang disengketakan, insiden kedua dalam waktu kurang dari setahun.
Vietnam mengajukan protes resmi, dan pemerintahan Trump menuduh China “mengeksploitasi gangguan atau kerentanan negara lain untuk memperluas klaimnya yang melanggar hukum di Laut China Selatan.”
Beijing menyalahkan kapal Vietnam karena menangkap ikan secara ilegal di perairan China.
Secara individual, para penuntut tidak bisa berbuat banyak untuk melawan kekuatan militer China. AS tidak dapat mengubah status quo di Laut China Selatan bahkan setelah “inden ke Asia” yang banyak dipuji di bawah pemerintahan Obama dan perang dagang Trump melawan Beijing.
Sekutu AS yang paling penting di kawasan ini, Filipina, telah gagal menuntut China untuk mematuhi peraturan internasional 2016 yang menolak klaim Beijing atas Laut China Selatan. Meskipun Filipina memihak Vietnam dalam insiden kapal penangkap ikan, Presiden Filipina Rodrigo Duterte pada umumnya mencari pemulihan hubungan dengan China, dan mengumumkan rencana untuk membatalkan pakta keamanan utama dengan AS yang dapat mengurai aliansi yang telah berlangsung selama beberapa dekade.
Kapal Perusak Angkatan Laut AS. (Foto: US Navy)
Kemampuan militer AS untuk memproyeksikan kekuatan di Laut China Selatan (biasanya dengan melakukan panggilan pelabuhan dan kapal perang yang berlayar dalam misi “kebebasan navigasi”) juga telah dilemahkan oleh pandemi.
Kapal induk Theodore Roosevelt baru saja menyelesaikan kunjungan ke pelabuhan Vietnam, Da Nang bulan lalu, ketika para pelaut di atas kapal ditemukan terinfeksi virus corona.
Kegagalan berikutnya (yang berujung pada pelaksana tugas sekretaris Angkatan Laut mengundurkan diri setelah ia mengkritik komandan kapal, yang dipecat setelah berbicara tentang risiko kepada krunya) telah menonaktifkan salah satu kapal induk utama AS di kawasan itu yang disebut Pentagon sebagai Indo-Pasifik.
Negara-negara mulai khawatir tentang kapasitas Washington untuk memenuhi komitmen keamanannya, seiring negara itu bergulat dengan biaya kesehatan dan ekonomi dari pandemi corona, menurut komentar yang diterbitkan minggu ini oleh Lowy Institute, sebuah lembaga wadah pemikir Australia.
“Kapal perang yang terhantam, penyebaran yang terhenti, dan keasyikan akut Washington dengan krisis kemanusiaan yang ditangani dengan buruk, tidak akan meyakinkan para sekutu Indo-Pasifik,” ungkap para penulis, Ashley Townshend dan Jim Golby.
Untuk saat ini, pandemi ini tampaknya akan memperluas jurang AS-China sambil meyakinkan negara-negara Asia lainnya bahwa kedua kekuatan tidak dapat diandalkan.
Malaysia, misalnya, telah terjebak dalam konfrontasi selama berbulan-bulan dengan kapal-kapal militer China di dekat dua blok lepas pantai, di mana Petronas milik negara Malaysia sedang mengebor minyak dan gas.
Sebuah kapal Penjaga Pantai China menuju ke jarak 0,3 mil laut dari rig Petronas pada Januari sebelum menarik diri, menyoroti apa yang dikatakan Pusat Studi Strategis dan Internasional adalah tekad China untuk menggertak negara mana pun yang berusaha mengembangkan sumber energi baru di daerah tersebut.
Bulan lalu, bagaimanapun, ketika China mengirimkan masker N95, alat pelindung lainnya, dan 200 ventilator ke ibu kota Malaysia, Kuala Lumpur, untuk membantu memerangi virus corona, New China News Agency melaporkan, Menteri Luar Negeri Malaysia berterima kasih kepada Beijing dengan mengatakan, “Kami benar-benar mengetahui siapa teman kami di saat krisis.”
“Negara-negara Asia Tenggara terbiasa berurusan dengan China dengan cara ini, memiliki beberapa pertikaian lokal tentang masalah teritorial, tetapi memiliki perdagangan dan hubungan diplomatik yang lebih besar yang terjadi pada saat yang sama,” ucap Zack Cooper, seorang peneliti di American Enterprise Institute kepada Los Angeles Times.
“Negara-negara ini tidak memiliki banyak pilihan tentang bagaimana melawan klaim tersebut,” imbuhnya.
“China yakin status quo-nya stabil di Laut China Selatan dan cenderung menguntungkan mereka dalam jangka panjang.”
Penerjemah: Aziza Fanny Larasati
Editor: Purnama Ayu Rizky
Keterangan foto utama: Kapal perang China mengawasi kapal-kapal di Laut China Selatan. (Foto: Reuters/Akhtar Soomro)
Corona Tak Bisa Hentikan Pembangunan Beijing di Laut China Selatan