Perkiraan resminya tidak diketahui, tetapi tampaknya radiasi tersebut berdampak buruk pada populasi di sekitarnya.
Pada 16 Oktober 1964, di lokasi uji coba Lop Nur di bekas danau garam di gurun barat laut negara itu, Republik Rakyat China meledakkan bom atom pertamanya. Proyek 596, yang disebut dengan kode “Chic-1” oleh komunitas intelijen AS, adalah perangkat fisi ledakan uranium-235 yang terbuat dari uranium tingkat senjata yang diperkaya dalam pabrik difusi gas di Lanzhou.
Dengan uji coba itu, yang pertama dari 45 uji coba nuklir berikutnya yang berhasil dilakukan antara tahun 1964 dan 1996, China menjadi tenaga nuklir kelima di dunia. Semua tes dilakukan di Lop Nur dan total 23 dilakukan di atmosfer, lapor The National Interest.
Pada Juni 1967, hanya 32 bulan setelah uji coba nuklir pertamanya, RRC melakukan uji coba termonuklir pertamanya, dan menghasilkan hasil 3,3 megaton, 200 kali lebih besar dari bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima. Itu terkenal karena berbagai alasan. Pertama, senjata termonuklir dirancang sebagai bom yang bisa dikirim dengan pesawat atau rudal balistik.
Selain itu, ini menyoroti kemajuan program nuklir China yang telah dibuat, dan sebagai perbandingan, Amerika Serikat membutuhkan 86 bulan untuk melakukan uji coba nuklir pertama kali pada Juli 1945 hingga ledakan termonuklir pertama di dunia pada 1951.
Meskipun penting untuk dicatat bahwa sementara upaya China untuk mengembangkan senjata nuklir sebenarnya dilakukan pada awal 1950-an, Uni Soviet membantu program senjata nuklir China secara signifikan setelah perjanjian yang ditandatangani antara Moskow dan Beijing pada 1951 dan kemudian pada 1957.
Namun, dengan mendinginnya hubungan Sino-Soviet di akhir 1950-an, Perdana Menteri Soviet Nikita Khrushchev memilih untuk menolak pemberian bom prototipe ke Beijing, dan China malah dipaksa untuk mengembangkan proyek pengujian nuklirnya sendiri.
Mengutip catatan The National Interest, uji coba atmosfer China yang terakhir, yang juga merupakan uji coba atmosfer terakhir di dunia, berlangsung di Area D di Lop Nur pada 16 Oktober 1980, 16 tahun dari hari sejak uji coba pertama. Sejak saat itu, semua uji coba nuklir telah dilakukan di bawah tanah. Uji coba nuklir China secara resmi berakhir pada 1996, meskipun diyakini Beijing terus mengembangkan teknologi senjata nuklir, dan ini mungkin mengikuti strategi AS dalam melakukan eksperimen subkritis.
Pada musim semi tahun 2020, Departemen Luar Negeri AS mengklaim, China mungkin telah melakukan uji coba nuklir bawah tanah dengan hasil rendah, yang akan melanggar Perjanjian Larangan Uji Coba Komprehensif (CTBT) yang disepakati pada 1996. Namun, baik Washington maupun Beijing tidak meratifikasinya, meskipun China telah bersumpah untuk mematuhinya.
Dampak Abadi
Efek uji coba nuklir China, terutama hampir dua lusin uji coba atmosfer, sebagian besar belum diteliti karena kurangnya data resmi. Namun, wilayah Xinjiang adalah rumah bagi sekitar 20 juta orang dari latar belakang etnis yang berbeda, dan masih belum jelas bagaimana radiasi telah memengaruhi penduduk.
Laporan menunjukkan, debu radioaktif telah menyebar ke seluruh wilayah, dan ratusan ribu orang mungkin telah meninggal dari hampir empat lusin total uji coba nuklir yang dilakukan antara tahun 1964 dan 1969. Peneliti Jepang, yang mempelajari tingkat radiasi, telah menyarankan dosis radiasi puncak di Xinjiang melebihi yang diukur di atap reaktor nuklir Chernobyl setelah kehancuran 1986.
Diperkirakan 194.000 orang telah meninggal akibat paparan radiasi akut, sementara sekitar 1,2 juta mungkin telah menerima dosis yang cukup tinggi yang menyebabkan leukemia, kanker, dan kerusakan janin.
Penerjemah: Nur Hidayati
Editor: Purnama Ayu Rizky
Keterangan foto utama: China memodernisasi sistem pengiriman senjata nuklirnya, termasuk rudal balistik jarak menengah DF-26 yang dilengkapi dengan hulu ledak nuklir. (Foto: Xinhua)
Dahsyat, Uji Coba Nuklir China Bunuh Ratusan Ribu Orang