xi jinping
Asia

Demokrasi Barat di Asia Meredup, Haruskah Wujudkan Masa Depan Sendiri?

Berita Internasional > Demokrasi Barat di Asia Meredup, Haruskah Wujudkan Masa Depan Sendiri?

Di dunia bebas, advokasi kebebasan demokratis tampaknya telah dikesampingkan demi mengutamakan persaingan atas keunggulan strategis. Erosi nilai-nilai demokrasi Barat di Asia maupun lembaga-lembaga Barat menunjukkan perlunya perlindungan dan pengawalan proaktif untuk mempertahankan pencapaian demokrasi di kawasan.

Defisit nilai demokrasi Barat di Asia biasanya berasal dari kepentingan diri sendiri dan keserakahan para otokrat lokal. Namun, hari ini ancaman terbesar semakin datang dari erosi lembaga-lembaga di negara demokrasi mapan yang dulunya merupakan penentu standar kebebasan dan keadilan.

Perjuangan rakyat di masa lalu melawan rezim otokratis mendapat kekuatan dari inspirasi dan dukungan eksternal. Gelombang demokrasi ketiga pada 1970-an menyaksikan pemberontakan mahasiswa di Eropa yang menyebar ke Asia, menantang para pemimpin otokratis, dan meletakkan dasar gerakan kekuatan rakyat satu dekade kemudian.

Namun, Michael Vatikiotis dari South China Morning Post berpendapat, ketika para pemimpin populis yang menggunakan politik perpecahan dan menyimpang dari kendali dan keseimbangan yang mapan terhadap kekuasaan mereka kembali muncul di Eropa, tekanan terhadap negara-negara yang tidak demokratis di Asia mulai menyusut.

Baca Juga: Apakah Eksperimen Demokrasi Malaysia Gagal?

Hal yang sama juga berlaku di Amerika Serikat. Selama beberapa dekade terakhir, AS memimpin dalam mengadvokasi perubahan dan reformasi demokrasi. Namun, Presiden AS Donald Trump telah melakukan sedikit upaya untuk mengendalikan penyalahgunaan kekuasaan di luar negeri dan telah menetapkan nada sumbang dengan memuji para pemimpin otokratis seperti pemimpin Korea Utara Kim Jong-un dan menggambarkan pemimpin militer Mesir Abdel Fattah al-Sisi sebagai “diktator favorit saya”.

Beberapa bagian dari pemerintah Amerika masih berupaya untuk mengatasi pelanggaran hak asasi manusia: Departemen Luar Negeri AS telah mengarahkan pengenaan sanksi terhadap militer Myanmar atas dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan di Negara Bagian Rakhine, misalnya, dan menolak visa kepada mantan kepala polisi yang kini menjabat sebagai Senator Filipina Ronald Dela Rosa dan Menteri Pertahanan Indonesia Prabowo Subianto, yang keduanya dituduh melakukan pelanggaran HAM. Ada juga protes resmi yang kuat atas perlakuan terhadap minoritas Uighur di Xinjiang, China. Kongres AS juga telah mengesahkan legislasi untuk mendukung para pengunjuk rasa di pro-demokrasi Hong Kong.

Sidang Pemakzulan Ungkap Ancaman Trump pada Ukraina

Presiden Amerika Serikat Donald Trump adalah salah satu agen yang memicu terkikisnya demokrasi di negaranya. (Foto: Reuters/Andrew Kelly)

Baca Juga: Virus Corona Ancam Demokrasi di Seluruh Dunia

Namun, ketika Trump mengunjungi India pada Februari 2020, ia tidak membahas penggunaan kekuatan negara secara terang-terangan untuk menghasut kekerasan terhadap umat Muslim yang menewaskan puluhan orang di Delhi ketika ia berada di sana. Trump berargumen, Perdana Menteri India Narendra Modi, seorang nasionalis Hindu, memiliki catatan toleransi yang mengagumkan. AS juga tidak vokal tentang tindakan keras terhadap perbedaan pendapat di Kashmir atau langkah-langkah untuk mengintimidasi Muslim di India dengan mengancam akan mempertanyakan hak hukum mereka atas kewarganegaraan.

Sinyal-sinyal yang diperkuat oleh kurangnya respons Amerika tersebut telah mendorong perilaku buruk. Seorang hakim India yang mempertanyakan taktik polisi di tengah kekerasan di Delhi selama kunjungan Trump telah dicopot. Hingga kini, tidak terdengar gumaman protes dari Washington tentang upaya pemerintah India merongrong peradilan independen, yang merupakan prinsip dasar pemerintahan demokratis.

Di tempat lain di kawasan, partai politik oposisi diperintahkan untuk dibubarkan oleh pengadilan di Thailand dan para diplomat Barat yang gugup mempertimbangkan apakah akan memprotes. Sementara itu di Malaysia, kabinet pemerintah baru telah ditempatkan oleh raja tanpa pemungutan suara di parlemen terpilih dan nyaris tidak ada protes dari mana pun.

Advokasi kebebasan demokratis tampaknya telah dikesampingkan demi persaingan untuk memperebutkan keunggulan strategis.

India dianggap oleh Amerika Serikat sebagai alat vital untuk melawan pertumbuhan pengaruh China di Asia. Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo menggambarkan Partai Komunis China sebagai ancaman terbesar bagi dunia. Dia tampaknya tidak berpikir India sendiri memusuhi hampir 200 juta umat Muslim, 15 persen dari populasi negara, yang menimbulkan ancaman bagi perdamaian dan stabilitas.

Terdapat kekhawatiran yang meningkat di kawasan ini tentang dorongan asertif China untuk meningkatkan pengaruhnya melalui diplomasi dengan kekuatan militer dan investasi ekonomi yang agresif. China telah menegaskan tidak ingin adanya campur tangan kekuatan Barat di kawasan yang semakin dianggap sebagai halaman belakangnya sendiri. Dengan melakukan itu, China juga menutup mata terhadap penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM di seluruh Asia.

Namun, hal ini tampaknya tidak mengilhami upaya yang lebih terpadu untuk mendukung perubahan demokrasi dan pertahanan nilai-nilai demokrasi Barat di Asia. Di banyak negara Asia Tenggara termasuk Malaysia, negara-negara Barat takut untuk mengkritik perilaku yang tidak demokratis. Mereka takut kritik semacam itu akan mendorong pemerintah setempat lebih jauh ke pelukan China.

Uni Eropa menderita karena menjatuhkan sanksi pada Kamboja setelah pemerintah melarang oposisi pada 2017. Keputusan akhirnya pada Februari 2020 untuk mengurangi hak istimewa impor yang dikenal sebagai “Semuanya Kecuali Senjata” (EBA) dengan hati-hati dipertimbangkan, tampaknya untuk melindungi para pekerja garmen, tetapi juga untuk membatasi peluang bagi China untuk mengisi kekosongan pengaruh di sana.

Tantangan yang dihadapi negara-negara demokrasi di Asia dapat dilihat dengan cara lain. kebangkitan populisme serta erosi nilai-nilai dan lembaga-lembaga demokrasi di negara-negara Barat menunjukkan perlunya perlindungan dan pengawalan proaktif terhadap pencapaian demokrasi selama tiga dekade terakhir di kawasan. Upaya itu akan membutuhkan pergerakan menjauh dari sekadar mengandalkan norma atau aturan yang mengatur perilaku politik yang diputuskan di Eropa atau AS.

Sudah ada tanda-tanda samar tapi jelas hal ini tengah terjadi.

Indonesia selama beberapa tahun terakhir menyelenggarakan forum demokrasi di Bali yang menyatukan para pemimpin dari negara-negara demokrasi berkembang. Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi menginginkan negara ini untuk membantu negara-negara yang dilanda konflik seperti Afghanistan mengembangkan pemerintahan demokratis yang tangguh, toleran, dan inklusif. AS, sebaliknya, telah menandatangani kesepakatan kontroversial dengan Taliban yang mengabaikan ancaman terhadap pemerintahan nasional yang stabil dan berfokus pada penarikan pasukannya.

Dihadapkan dengan minat yang kurang bersemangat dari negara-negara Barat, para aktivis muda Asia semakin mendapatkan inspirasi dari tokoh-tokoh politik inovatif di kawasan tersebut. Misalnya saja, mereka terinspirasi oleh pengacara HAM Park Won-Soon yang terpilih sebagai wali kota Seoul pada 2011 atau Audrey Tang, menteri urusan digital dari Taiwan, daripada para pemimpin dari negara yang dulu disebut sebagai “dunia bebas”.

Sementara itu, para pemimpin politik di Eropa dan AS berjuang melawan rasisme dan intoleransi yang meningkat dan menutup mata terhadap perlakuan represif dan tidak manusiawi terhadap para pengungsi, membuat mereka menjadi panutan yang kurang sempurna.

Pihak-pihak yang khawatir akan tergelincirnya nilai-nilai Asia yang mungkin melemahkan semangat hak asasi manusia dan kebebasan demokratis perlu memahami sejauh mana tatanan dunia lama, yang dibangun di atas Piagam PBB dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, sedang berjatuhan di negara-negara di dunia lama dan baru. Michael Vatikiotis dari South China Morning Post menyimpulkan, negara-negara Barat seperti Amerika Serikat dan Inggris yang pernah dengan bangga mendukung perjuangan untuk menegakkan norma dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sekarang menghadapi pertanyaan di dalam negeri tentang seberapa penting nilai-nilai tersebut sebenarnya.

 

Penerjemah: Fadhila Eka Ratnasari

Editor: Purnama Ayu Rizky

Keterangan foto utama: Presiden China Xi Jinping berbicara dalam sebuah acara untuk memperingati 40 tahun “Message to Compatriots in Taiwan” di Aula Besar Rakyat di Beijing, China, 2 Januari 2019. (Foto: Getty Images/Mark Schiefelbein)

Demokrasi Barat di Asia Meredup, Haruskah Wujudkan Masa Depan Sendiri?

BERLANGGANAN

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top