Pengadilan negeri di Jakarta diperkirakan akan segera memutuskan gugatan yang menuduh presiden dan pejabat tinggi gagal mengekang polusi.
Lima tahun lalu, pemindaian paru-paru Istu Prayogi menunjukkan jenis kerusakan akibat merokok. Tapi dalam kasusnya, dia tidak pernah merokok. Sebaliknya, ia menghabiskan berjam-jam sehari dalam kemacetan di Jakarta, salah satu kota paling tercemar di dunia.
Seorang guru ilmu komputer, Istu mulai memakai masker wajah, sesuai anjuran dokternya, tapi itu hanya solusi jangka pendek. Jadi, dia bergabung dengan gugatan warga terhadap pemerintah yang berusaha memaksa presiden Indonesia, Joko Widodo, dan pejabat pemerintah lainnya untuk menangani polusi yang menyebar di kota itu.
“Bagi saya pribadi, ini sangat mendesak,” ujarnya kepada The New York Times, “karena setiap orang membutuhkan udara dan setiap orang membutuhkan kesehatan.”
Panel tiga hakim diperkirakan akan memutuskan pada awal minggu ini apakah presiden, tiga menteri kabinetnya, dan tiga gubernur provinsi telah lalai karena gagal mengekang polusi udara Jakarta.
Gugatan itu meminta pemerintah pusat dan daerah untuk menetapkan standar yang lebih ketat untuk bahan pencemar berbahaya, dan secara aktif memberlakukannya di wilayah Jabodetabek, yang berpenduduk lebih dari 29 juta orang.
Sejak gugatan diajukan dua tahun lalu, beberapa lembaga pemerintah telah berupaya untuk memperketat standar mereka dan meningkatkan penegakan hukum. Di pengadilan, mereka berargumen bahwa upaya pemerintah sudah memadai dan memenuhi tanggung jawabnya di bawah hukum.
Tetapi bahkan pengacara pemerintah mengakui selama persidangan, polusi udara kota mempengaruhi mereka dan keluarga mereka, sebuah rekaman video dari salah satu sidang menunjukkan.
Gubernur Jakarta Anies Baswedan terbuka untuk bekerja sama dengan penggugat dalam kasus ini, untuk mencoba menyelesaikan masalah pencemaran kota dan meningkatkan kualitas udara, ungkap seorang penasihat, Irvan Pulungan.
“Gubernur tidak melihat gugatan ini sebagai gangguan terhadap pekerjaan pemerintah, tetapi sebagai sarana untuk kolaborasi,” dikutip The New York Times.
Pemandangan ibu kota Jakarta dengan kabut kelabu yang menyelimutinya, pada 4 Juli 2019. (Foto: Reuters/Willy Kurniawan)
Jakarta, dengan hampir 11 juta penduduk, adalah yang terbesar di Jabodetabek yang terbentang di tiga provinsi. Daerah yang luas ini memiliki jalan raya yang tidak memadai, kemacetan lalu lintas yang sangat parah, dan sedikit ruang hijau. Ini juga merupakan wilayah dataran rendah dan rawan banjir.
Para pemerhati lingkungan yang mengajukan gugatan mengatakan, banyak dari sumber polusi terburuk berada di luar batas kota Jakarta, dan bahwa kepemimpinan presiden dan upaya daerah sangat penting untuk mengatasi masalah tersebut.
Sebulan setelah gugatan diajukan, Presiden Jokowi mengusulkan pemindahan ibu kota ke kota baru yang akan dibangun di pulau Kalimantan, meninggalkan masalah polusi Jakarta.
Sebuah studi yang dirilis minggu lalu oleh perusahaan konsultan Inggris Verisk Maplecroft menemukan, Jakarta adalah kota yang paling berisiko akibat faktor lingkungan dari 576 kota yang dianalisis. Studi tersebut mencatat, Jakarta “dilanda polusi udara yang parah” dan menghadapi ancaman dari aktivitas seismik dan banjir.
Salah satu dari 32 penggugat dalam gugatan tersebut adalah Yuyun Ismawati, salah satu pendiri kelompok lingkungan, Nexus3 Foundation, dan penerima Penghargaan Lingkungan Goldman 2009.
Dia menunjukkan, standar polusi udara Indonesia jauh lebih longgar daripada tingkat yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Tetapi bahkan standar ini tidak ditegakkan secara memadai, katanya, dan akibatnya, banyak orang menderita asma dan penyakit pernapasan lainnya.
Anak-anak sangat rentan terhadap penyakit yang disebabkan oleh polusi, karena tubuh mereka masih berkembang, katanya. “Saya khawatir dengan masa depan anak muda di Indonesia,” tuturnya kepada The New York Times.
Penelitian menunjukkan, paparan polusi udara dalam jangka panjang dapat memperburuk efek COVID-19. Indonesia (negara terbesar keempat di dunia) telah melaporkan lebih dari 1,7 juta kasus, jumlah terbesar di Asia Tenggara.
Studi menunjukkan, emisi kendaraan merupakan sumber polusi udara terbesar di Jabodetabek, diikuti oleh pembangkit listrik tenaga batu bara. Inspeksi kendaraan, jika terjadi, tidak memadai, ungkap Yuyun, dan pembangkit listrik tidak memiliki filter yang memadai.
Sumber utama lainnya adalah kegiatan industri skala kecil yang seringkali mengandalkan metode primitif yang tidak memiliki perlindungan lingkungan, seperti peleburan dan daur ulang baterai timbal, dan pembakaran kayu, plastik, atau ban untuk menghasilkan panas. Ini seringkali tidak diatur.
“Setiap orang berhak untuk hidup di lingkungan yang sehat,” tegas Yuyun.
Gugatan yang diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu menyebutkan nama presiden, Kementerian Kesehatan, Lingkungan, dan Dalam Negeri, serta gubernur di tiga provinsi, Jakarta, Jawa Barat, dan Banten.
Dalam laporan singkat yang diajukan untuk mendukung gugatan tersebut, Pelapor Khusus PBB untuk hak asasi manusia dan lingkungan, David R. Boyd, menunjukkan, polusi udara adalah masalah lingkungan paling mematikan di dunia, dan bertanggung jawab atas ratusan ribu kematian dini setiap tahunnya di Indonesia.
Kematian ini terjadi meskipun solusinya sudah diketahui dengan baik, dan pemerintah memiliki tanggung jawab untuk melaksanakannya, katanya.
“Melindungi hak asasi manusia dari efek berbahaya polusi udara merupakan kewajiban konstitusional dan legislatif bagi pemerintah di Indonesia, bukan pilihan,” tulisnya, dilansir dari The New York Times.
Aditho Harinugroho (36 tahun), mulai mengendarai sepedanya di jalanan Jakarta yang padat, setelah kematian mendadak seorang teman empat tahun lalu mendorongnya untuk mengubah gaya hidupnya dan berusaha tetap bugar. Seorang videografer lepas, terkadang dia berkendara sejauh 40 mil dalam sehari.
Sekarang, dia menjadi penggugat dalam gugatan tersebut. Meski memakai masker kain karena polusi, terjebak kemacetan bisa menyebabkan batuk, katanya. Dan setelah bersepeda, kulitnya menghitam karena polusi di udara.
“Saat saya melewati titik macet pasti saya batuk setelah itu,” ujar Aditho. “Saat saya menyeka wajah saya, warnanya hitam dan saya membayangkan itulah yang masuk ke paru-paru saya. Tidak mungkin untuk tidak batuk. ”
Presiden Jokowi telah menjadikan pembangunan ekonomi Indonesia sebagai prioritas utama. Tetapi Aditho mengatakan, pemerintah fokus pada membantu orang kaya, bukan meningkatkan kehidupan orang biasa.
“Pemerintah kita sama sekali tidak peduli dengan polusi atau kualitas udara Jakarta,” ujarnya kepada The New York Times. “Kita bisa melihat itu dari kebijakan mereka.”
Penerjemah dan editor: Aziza Larasati
Keterangan foto utama: Tampak atas gedung-gedung pencakar langit di Jakarta dengan polusi udara parah tanggal 24 April 2019. (Foto: Shutterstock)
Digugat ke Pengadilan atas Parahnya Polusi, Pemerintah Cuek Bebek?