Berita Politik Indonesia Hari Ini

Dinasti Politik, Normal Baru Indonesia

Berita Internasional > Dinasti Politik, Normal Baru Indonesia

Politik dinasti adalah normal baru dalam demokrasi Indonesia.

Transfer kekuasaan dari pemegang jabatan terpilih kepada anggota keluarga mereka sendiri, telah tumbuh secara dramatis selama 15 tahun terakhir. Terlepas dari sifat fana dari banyak dinasti politik Indonesia, tren ini kemungkinan besar akan berlanjut di masa mendatang, kecuali reformasi pemilu yang signifikan terjadi dengan cepat, tulis Yoes C Kenawas dalam analisisnya di Indonesia at Melbourne.

Faktanya, Indonesia belum pernah menyaksikan begitu banyak anggota keluarga elit politik bersaing dalam pemilihan daerah. Dari 2015 hingga 2018, 117 politisi dinasti memenangkan pemilihan langsung untuk posisi kepemimpinan daerah (pilkada), sementara 85 lainnya kalah. Ini merupakan peningkatan tajam dari 39 politisi dinasti yang menduduki kantor eksekutif subnasional pada akhir 2013.

Baca Juga: Bahas Papua, Seteru Vanuatu-Indonesia Tak Ada Habisnya

Pilkada tidak hanya melibatkan dinasti lokal, tetapi juga menarik anggota keluarga elit nasional. Putra dan menantu Presiden Joko “Jokowi” Widodo kini bersaing untuk mendapatkan kursi wali kota di Solo (Jawa Tengah) dan Medan (Sumatra Utara). Lainnya yang mencari jabatan di tingkat daerah termasuk anggota keluarga Wakil Presiden Ma’ruf Amin dan beberapa menteri Jokowi, serta anggota keluarga mantan atau petahana gubernur, bupati, wali kota, wakilnya, dan anggota legislatif.

Berdasarkan perhitungan Yoes C Kenawas, 146 politisi dinasti sudah menyatakan keinginannya untuk bersaing dalam Pilkada serentak 2020. Untuk mencalonkan diri, mereka perlu mengamankan pencalonan partai politik mereka dan kebanyakan dari mereka telah melakukannya.

Pemerintah pekan lalu bersikeras pilkada akan dilanjutkan pada 9 Desember, meskipun ada lonjakan kasus COVID-19 baru-baru ini di seluruh negeri.

Oleh karena itu, Indonesia kemungkinan akan menyaksikan peningkatan besar politisi dinasti lainnya, dari 52 orang yang berkompetisi dalam Pilkada 2015, menjadi lebih dari 100 orang pada Pilkada 2020.

Para ahli telah menyalahkan kelembagaan partai yang lemah sebagai penyebab utama berkembangnya dinasti politik, lanjut Yoes C Kenawas. Politisi yang menduduki jabatan terpilih seringkali juga memegang posisi kunci dalam struktur organisasi partai politik mereka, di tingkat nasional atau subnasional.

Menduduki posisi strategis ini dalam struktur partai politik memungkinkan mereka dengan mudah mempromosikan dan mencalonkan anggota keluarga dalam pemilihan legislatif atau eksekutif, terutama ketika mekanisme promosi dan pencalonan internal tidak jelas atau tidak ditegakkan secara ketat.

Bahkan ketika mereka tidak dapat mencalonkan anggota keluarganya melalui partai politik mereka sendiri, uang dan jaringan mereka membuat mereka seringkali dapat memperoleh pencalonan anggota keluarga mereka dari partai politik lain.

Lebih lanjut, ada hubungan simbiosis yang saling menguntungkan antara politisi dinasti dan partai politik. Politisi dinasti membutuhkan dukungan partai untuk maju dalam pemilu daerah atau legislatif. Mencalonkan diri sebagai calon partai politik jauh lebih sederhana daripada mencalonkan diri sebagai calon independen.

Begitu pula, parpol kerap mencari dukungan politisi dinasti dalam pemilu legislatif. Politisi dinasti terbukti menjadi pengambil suara yang efektif. Berkat koneksi keluarga mereka, mereka juga memiliki sumber daya (uang dan jaringan) untuk menjalankan kampanye mereka secara efektif. Partai politik juga mengharapkan politisi dinasti untuk berkontribusi pada pundi-pundi partai, dan mendanai operasional partai sehari-hari di daerah, Yoes C Kenawas menjelaskan.

Namun, gambaran tersebut lebih rumit dari sekadar lemahnya kelembagaan partai dan hubungan simbiosis yang saling menguntungkan antara politisi dinasti dan partai politik.

Putra-putra Susilo Bambang Yudhoyono beserta istri-istri mereka mengunjungi Ketua PDI-P Megawati saat Idulfitri, yang oleh banyak pihak dianggap sebagai kemungkinan awal rekonsiliasi. (Foto: Twitter)

Baca Juga: Pemerintah Indonesia: Bansos COVID-19 Meningkat, Bantu Perekonomian

Wawancara Yoes C Kenawas dengan pejabat partai menunjukkan, partai tidak secara otomatis mencalonkan sembarang anggota keluarga dari dinasti politik. Pimpinan partai di tingkat nasional juga memperhatikan keterpilihan para calon, terlepas dari hubungan kekeluargaan mereka dengan elit partai.

Jika pimpinan partai berpendapat seorang calon memiliki peluang menang yang rendah, maka partai tersebut akan mencalonkan orang lain, meskipun orang tersebut tidak terkait dengan elit partai yang berpengaruh.

Partai politik juga sering lebih memilih kader setia mereka sendiri daripada pendatang baru dalam proses pencalonan, terutama ketika kader setia itu memiliki rekam jejak yang terbukti dan komitmen untuk memajukan tujuan partai. Namun, dalam beberapa kasus, partai politik “dipaksa” untuk mencalonkan anggota keluarga dari elit politik, dengan mengorbankan pembangunan kelembagaan partai yang kuat.

Contoh paling nyata dari hal ini adalah pencalonan putra Jokowi Gibran Rakabuming Raka sebagai Wali Kota Solo. Awalnya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) lebih memilih Wakil Wali Kota Solo saat ini Achmad Purnomo, yang dicalonkan oleh PDI-P cabang lokal di Solo.

Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri mengirimkan sinyal kuat, Gibran harus bersabar dan menunggu giliran jika ingin mencalonkan diri di Solo (basis tradisional PDI-P dan kampung halaman Jokowi). Gibran, bagaimanapun, bersikeras.

Situasi ini menimbulkan dilema bagi PDI-P. Di satu sisi, pencalonan Achmad akan memberi sinyal positif kepada partai di tingkat subnasional bahwa pimpinan nasional menghormati proses pencalonan dari bawah ke atas.

Di sisi lain, Gibran, sebagai putra presiden, sudah sangat populer di kalangan pemilih di Solo, terutama karena kota tersebut menjadi tumpuan karier politik Jokowi. Terlebih lagi, jika PDI-P tidak mencalonkan Gibran, maka partai politik lain akan dengan senang hati melakukannya, meskipun Gibran bersikeras dia hanya akan mencalonkan diri sebagai kandidat PDI-P.

Jika Gibran dicalonkan oleh partai lain, PDI-P akan menghadapi masalah besar, Yoes C Kenawas menjelaskan. Hal itu dapat membahayakan perolehan suara PDI-P di Solo dan Jawa Tengah pada 2024, dan tentunya akan merenggangkan hubungan antara PDI-P dan Jokowi.

Partai lain juga mungkin berusaha memanfaatkan potensi konflik dan menjilat presiden, mendorongnya untuk memenuhi kepentingan mereka daripada kepentingan PDI-P. Bagaimanapun, Istana Kepresidenan masih menjadi patronase penting bagi parpol, termasuk PDI-P.

Menghadapi situasi sulit ini, PDI-P memilih Gibran.

Seperti yang telah Yoes C Kenawas kemukakan di tempat lain, perkembangan dinasti politik di Indonesia adalah gejala dari masalah kelembagaan yang lebih besar dalam demokrasi negara saat ini. Kisah pencalonan Gibran menunjukkan bagaimana rezim pemilu yang ada dapat menghalangi partai politik untuk membangun kelembagaan partai yang kuat. Bagaimanapun, baik politisi maupun partai politik adalah aktor rasional yang bertindak berdasarkan struktur insentif yang mereka hadapi.

Membendung pertumbuhan dinasti politik akan membutuhkan perubahan sistem pemilu. Memperkenalkan ketentuan anti-dinasti dalam undang-undang pemilihan daerah bukanlah pilihan. Oleh karena itu, hambatan masuk bagi politisi dinasti harus diangkat dengan cara konstitusional lain.

Meningkatkan durasi minimum keanggotaan partai sebelum memenuhi syarat untuk jabatan terpilih melalui saluran partai politik, akan mencegah pencalonan politisi dinasti secara instan, tulis Yoes C Kenawas.

Persyaratan untuk mencalonkan kandidat melalui konvensi internal partai bisa menambah hambatan lain. Alternatif lain, menurunkan hambatan masuk calon lain dapat meningkatkan daya saing pilkada. Hal ini dapat dilakukan dengan, misalnya, mengurangi ambang batas pencalonan partai atau menurunkan persyaratan calon independen untuk mengikuti pemilu.

Strategi lain, termasuk edukasi politik yang lebih banyak dan penguatan kapasitas Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), juga penting.

Namun, sulit untuk menghindari kesimpulan, strategi ini pun tidak akan cukup untuk mengekang pertumbuhan dinasti politik, jika hubungan patronase antara politisi dinasti dan partai politik juga tidak berubah, dan tidak ada tanda-tanda hal tersebut mungkin terjadi, pungkas Yoes C Kenawas.

 

Penerjemah: Aziza Larasati

Editor: Purnama Ayu Rizky

Keterangan foto utama: Keluarga Jokowi. Dari kiri: Kahiyang Ayu, Kaesang Pangarep, Joko Widodo, Iriana Joko Widodo, dan Gibran Rakabuming. (Foto: Wikimedia)

Dinasti Politik, Normal Baru Indonesia

BERLANGGANAN

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top