Asia

Minyak Hingga Geopolitik: Duduk Perkara Konflik Armenia-Azerbaijan

Berita Internasional > Minyak Hingga Geopolitik: Duduk Perkara Konflik Armenia-Azerbaijan

Terdapat sejumlah alasan yang mendasari pergolakan di wilayah sengketa Nagorno-Karabakh antara Armenia dan Azerbaijan, mulai dari sumber daya energi, peta geopolitik kawasan, hingga peran tentara bayaran asing.

Riak-riak konflik di Kaukasia Selatan, yang mendidih dengan api kecil selama berbulan-bulan terakhir, akhirnya meletus pada 27 September 2020 ketika pertempuran pecah antara Armenia dan Azerbaijan di Nagorno-Karabakh. Terdapat lebih dari 2 ribu korban jiwa dan 5 ribu korban yang menderita luka-luka di kedua belah pihak. Sebagai tanda peningkatan eskalasi, konfrontasi militer telah melibatkan pengerahan pesawat tempur, tank, artileri berat, roket, dan drone bersenjata. Siklus kekerasan yang berulang ini menimbulkan pertanyaan terkait sifat kepentingan geo-strategis yang dimainkan di Kaukasia Selatan dan dampaknya terhadap perdamaian dan stabilitas kawasan.

Awal mula konflik yang sedang berlangsung

Sengketa wilayah Nagorno-Karabakh antara Armenia dan Azerbaijan adalah salah satu dari beberapa “konflik beku” pasca-Uni Soviet, menurut analisis Deepak Kumar di Eurasia Review. Provinsi Nagorno-Karabakh berpenduduk mayoritas Kristen Armenia, tetapi menjadi milik Azerbaijan selama masa Soviet. Ini adalah kebijakan yang dibuat dengan hati-hati oleh pemimpin Soviet Joseph Stalin untuk menjerat penduduk guna menghalangi aspirasi etnis.

Nagorno-Karabakh dipisahkan dari Armenia dan diberikan ke Azerbaijan pada medio 1920-an. Populasi Armenia yang signifikan kemudian didorong ke wilayah tersebut oleh Stalin, dengan demikian mengubahnya menjadi wilayah mayoritas Kristen Armenia di Azerbaijan yang mayoritas Muslim.

Dengan bubarnya bekas Uni Soviet pada 1991, perekat yang menjaga perdamaian dan harmoni di kawasan itu pun runtuh. Hal ini memberikan kondisi yang tepat bagi kedua negara yang baru merdeka untuk berperang dalam perang identitas antara 1991 dan 1994 atas wilayah pegunungan yang terkurung daratan ini, yang mengakibatkan ribuan korban jiwa. Perang juga menyebabkan sekitar 20 persen Provinsi Nagorno-Karabakh di Azerbaijan berada di bawah kendali Armenia. Situasi “tanpa perang tanpa perdamaian” telah terjadi antara kedua negara sejak saat itu, meskipun diselingi dengan pelanggaran gencatan senjata secara berkala.

Geopolitik regional

Tampaknya sebagian besar negara kawasan mendukung salah satu dari dua pihak yang bertikai. Turki, negara mayoritas Muslim Sunni, memproklamirkan kedekatan budaya dan bahasa dengan Azerbaijan yang mayoritas penduduknya Syiah. Faktanya, Turki adalah mitra militer dan ekonomi utama Azerbaijan. Hal ini membuat Turki menolak memberikan pengakuan diplomatik kepada Armenia. Turki telah menjatuhkan sanksi ekonomi pada Armenia dan menutup perbatasan bersama mereka. Demikian pula, Israel mendukung Azerbaijan dan memasoknya dengan perangkat keras militer, meskipun mempertahankan hubungan diplomatik dengan Armenia.

Di sisi lain, mayoritas Muslim Syiah Iran mendukung Armenia melalui Rusia. Menariknya, Iran juga mendukung Azerbaijan karena keterkaitan sejarah, budaya, dan agama. Iran juga tidak ingin Azerbaijan sepenuhnya ditarik ke dalam pengaruh Turki. Ini terutama terjadi karena Azerbaijan merupakan kelompok etnis minoritas terbesar di Iran. Sementara itu, Rusia menganggap wilayah Kaukasia Selatan sebagai “wilayah pengaruhnya” karena tetap menjadi kekuatan dominan di banyak negara bekas Uni Soviet.

Azerbaijan kaya akan minyak dan gas, serta merupakan ekonomi terbesar di kawasan itu. Azerbaijan juga merupakan sekutu utama Barat. Negra itu telah mengadopsi kebijakan luar negeri multi-vektor yang berusaha membangun hubungan baik dengan Rusia dan Amerika Serikat. Azerbaijan tidak bergabung dengan Organisasi Perjanjian Keamanan Kolektif (CSTO) yang didukung Rusia dan Uni Ekonomi Eurasia (EAEU) atau Organisasi Perjanjian Atlantik Utara (NATO) yang didukung AS dan Uni Eropa (UE).

Armenia, di sisi lain, memiliki hubungan dekat dengan Rusia yang juga merupakan mitra keamanan utamanya. Armenia adalah anggota CSTO, yang telah menyebabkan Rusia mengerahkan 5 ribu tentara di negara itu, yang secara signifikan meningkatkan pencegahan keamanan Armenia. Dalam konteks ini, peran Rusia di kawasan tersebut telah diarahkan untuk secara diplomatis “mengelola” konflik di Kaukasia Selatan. Tampaknya Rusia tidak ingin terlihat memihak di antara dua bekas republiknya. Rusia juga tidak ingin pihak-pihak yang bertikai mengarahkan Ukraina menuju NATO. Semua ini telah membuat Rusia memasok perangkat keras militer tidak hanya ke Armenia dan Azerbaijan, tetapi juga ke Turki dan Iran.

Peran bungkam Amerika Serikat dalam konflik tersebut, meskipun membingungkan, menurut analisis Deepak Kumar di Eurasia Review, dapat dikaitkan dengan gangguan yang disebabkan oleh Pilpres AS 2020 yang akan datang maupun pandemi COVID-19 global dan penanganan wabah did alam negeri oleh Presiden AS Donald Trump.

Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan bertemu dengan kepemimpinan militer negara itu di Yerevan, Armenia, 27 September 2020 setelah bentrokan dengan angkatan bersenjata Azerbaijan di wilayah Nagorno-Karabakh yang memisahkan diri. (Foto: Kantor Pers Pemerintah Armenia/Handout/Reuters)

Peran sumber daya energi

Energi adalah roda penggerak penting dalam geopolitik kawasan. Turki selaku pengimpor energi bersih melakukan eksplorasi minyak dan gas yang signifikan di Mediterania. Jaringan pipa energi Turki dari Laut Kaspia melalui Azerbaijan tidak hanya memasok energi, tetapi juga memungkinkan Turki menjadi pusat transit untuk ekspor energi ke Eropa. Beberapa jalur pipa migas strategis yang penting bagi Azerbaijan dan Turki serta Amerika Serikat melewati Azerbaijan. Jalur Pipa Kaukasia Selatan (SCP) dialihkan melalui Azerbaijan, Georgia, Turki, dan Eropa Selatan bertujuan untuk mengirimkan gas Azerbaijan ke Eropa dengan menghubungkan ke Trans Anatolian Pipeline (TANAP) dan Trans Adriatic Pipeline (TAP).

SCP memungkinkan pengurangan ketergantungan Eropa pada gas Rusia karena Rusia akan sepenuhnya diloloskan untuk pengangkutan gas alam ke Eropa. Saluran pipa paralel yakni pipa Baku-Tblisi-Ceyhan melintasi wilayah Tovuz dan Georgia Selatan untuk berakhir di pelabuhan Mediterania Turki di Ceyhan. Dari sini, energi diekspor ke pasar dunia.

Penemuan gas baru-baru ini di Laut Hitam juga penting karena akan memberi Turki alternatif untuk gas mahal yang diimpornya dari Iran melalui pipa Iran-Turki. Campur tangan dengan rute energi atau pasokan oleh kekuatan negara-negara saingan, secara langsung atau melalui pihak lain, dapat menimbulkan potensi konfrontasi di kawasan tersebut. Jika Azerbaijan, dengan dukungan aktif Turki, menang dalam konflik kali ini, Azerbaijan akan mendorong Turki ke peran kepemimpinan dalam geopolitik energi di kawasan itu dengan mengorbankan Rusia dan Iran.

Peran tentara bayaran

Para pengamat dan komentator telah menyoroti pergerakan tentara bayaran dari Suriah dan Libia untuk berperang mendukung Azerbaijan, dengan demikian memperburuk situasi di lapangan. Namun, hal ini telah dibantah oleh Azerbaijan dan Turki, meskipun terdapat fakta bahwa Turki secara diam-diam telah mendukung milisi pejuang dalam perang saudara Libia.

Ada laporan yang berasal dari juru bicara Artsakh (Republik Nagorno-Karabakh) bahwa Turki memiliki kesepakatan dengan Gulbudin Hekmatyar, teroris yang masuk daftar hitam PBB, karena mengirim tentara bayaran Afghanistan ke Azerbaijan. Ada juga laporan teroris yang belum diverifikasi dari perbatasan Afghanistan-Pakistan, Iran, dan Suriah dibayar dalam jumlah besar untuk memerangi umat KristenArmenia. Meskipun informasi ini belum dapat diverifikasi, partisipasi tentara bayaran akan mengkhawatirkan Rusia dan Iran. Tentara bayaran dapat menggunakan Azerbaijan sebagai landasan peluncuran untuk memasuki Iran, yang memiliki kelompok etnis Azerbaijan Turki terbesar. Sementara itu, Rusia khawatir akan unsur-unsur radikal yang menyusup ke wilayah bergejolaknya di Kaukasia Utara.

Ada juga laporan di media tentang para pejuang Pakistan, yang pada dasarnya pensiunan tentara dan tentara bayaran, bertempur bersama pasukan Azerbaijan. Wakil Menteri Luar Negeri Armenia Avet Adonts telah dikutip secara luas mengatakan bahwa dia “tidak dapat mengesampingkan kemungkinan” pejuang Pakistan bertempur bersama tentara bayaran lainnya.

Bagaimanapun, ada preseden untuk kehadiran pejuang Pakistan di Nagorno-Karabakh selama konfrontasi militer antara Armenia dan Azerbaijan pada awal 1990-an. Namun, Menteri Luar Negeri Pakistan membantah laporan tersebut. Meskipun demikian, bukan kebetulan bahwa Duta Besar Azerbaijan untuk Pakistan Ali Adizada bertemu dengan Jenderal Nadeem Raza, Ketua Kepala Staf Gabungan Pakistan, seperti yang dilaporkan oleh Inter Services Public Relations (ISPR) Pakistan. Panglima Angkatan Darat Pakistan Jenderal Qamar Bajwa juga dilaporkan mengatakan awal bulan ini bahwa pasukannya mendukung penuh posisi Azerbaijan di Nagorno-Karabakh

Posisi India

Menurut analisis Deepak Kumar di Eurasia Review, Kaukasia Selatan berada dalam posisi yang lebih rendah dalam hierarki jangkauan strategis India. Perdagangan bilateral India dengan kawasan itu juga tetap rendah. Perdagangan tahunan India dengan Azerbaijan bernilai lebih dari US$1 miliar, sedangkan dengan Armenia kurang dari US$65 juta.

India menandatangani perjanjian persahabatan dan kerja sama dengan Armenia pada 1995 dan telah menerima tiga kepala negara dari negara tersebut, tetapi tidak satupun dari Azerbaijan. India baru-baru ini memenangkan kontrak senilai US $ 40 juta untuk memasok 4 Swati Weapon Locating Radars ke Armenia. Sementara itu, perusahaan India seperti Perusahaan Minyak dan Gas Alam (ONGC), ONGC Videsh Limited (OVL), dan Gas Authority of India Limited (GAIL) telah melakukan investasi dalam proyek minyak dan gas di Azerbaijan.

Namun, minat keseluruhan India di kawasan tersebut tetap kurang. Armenia mendukung India atas Kashmir, sedangkan Azerbaijan mendukung tandem Turki-Pakistan. Upaya Turki untuk membangun blok yang terdiri dari Pakistan, Malaysia, dan Iran sebagai lawan dari pengaruh India tidak ditanggapi dengan baik oleh pemerintah India. Sikap baru Iran terhadap proyek Chahbahar juga telah menyebabkan kekacauan di negara itu. Oleh karena itu, India telah mengambil sikap yang seimbang dan netral dengan mengungkapkan kekhawatiran sambil menyerukan pengekangan dan penghentian segera permusuhan dan penyelesaian konflik melalui negosiasi diplomatik.

Kesimpulan

Deepak Kumar menyimpulkan di Eurasia Review, situasi di Kaukasia Selatan berada pada putaran yang berbahaya karena adanya berbagai konflik kepentingan dan manuver geopolitik. Kesepakatan gencatan senjata kemanusiaan yang lemah yang dinegosiasikan oleh Rusia tampak kacau dan telah dinodai oleh pelanggaran berulang. Perselisihan teritorial memberikan umpan untuk seringnya keterlibatan kinetik lokal.

Hal ini semakin diperparah oleh kepentingan geostrategis dari para pelaku regional dan ekstra-regional utama. Khususnya, Organisasi Keamanan dan Kerja Sama di Eropa (OSCE) Minsk Group belum berhasil menengahi konflik terutama karena kehadiran diaspora Armenia yang signifikan di Rusia, AS, dan Prancis, tiga anggota inti kelompok tersebut. Sementara itu, PBB yang kerap melakukan pendekatan dengan negara-negara anggota Dewan Keamanan PBB (Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Rusia, dan China) tampaknya memiliki peluang untuk memperbaiki kesalahannya sendiri, termasuk dari persepsi kelambanannya dalam menanggulangi pandemi global COVID-19. Tampaknya PBB dapat menengahi perdamaian yang berkelanjutan di kawasan itu dan tidak membiarkan kepentingan pribadi memperburuk perpecahan sejarah melalui intrik geopolitik dan politik energi.

 

Penerjemah: Anastacia Patricia

Editor: Fadhila Eka Ratnasari

Keterangan foto utama: Moncong artileri Armenia terlihat di dekat perbatasan Nagorno-Karabakh pada 8 April 2016. (Foto: Reuters)

Minyak Hingga Geopolitik: Duduk Perkara Konflik Armenia-Azerbaijan

BERLANGGANAN

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top