Boomer, kita tak lagi perlu kehadiran fisik untuk terlibat dalam perang dagang. Ekonomi digital sebagian besar bahkan cukup kebal terhadap sanksi perdagangan tradisional.
Sementara AS telah berfokus pada gejolak politik presiden dan perselisihan sanksi perang dagang dengan China, perang perdagangan digital diam-diam mulai terjadi. Melansir Forbes, saya sepakat dampak dari virus corona akan menyulap perang dagang dalam makna tradisional menjadi sangat berbeda. Pasalnya, di tengah wabah semacam ini, orang-orang cenderung lebih banyak mengisolasi atau mengkarantina diri di rumah, sehingga tabuh perang bergeser lokasi di jagat maya.
Tsunami yang didorong oleh teknologi membanjiri Barat dengan pelbagai inovasi. Teknologi paling canggih tidak lagi dibuat, dibayangkan, diciptakan, dikirim, dimiliki, atau didominasi oleh penguasa internet macam Alibaba atau TikTok. Perang perdagangan yang sebenarnya tengah berlangsung, didorong oleh segala hal yang lebih sederhana, dari meme hingga layanan keuangan digital.
Di China misalnya, perdagangan dan bisnis bergerak secepat kilat melalui kekuatan koneksi luar biasa di balik Tembok Besar mereka. Dari balik tembok itu, evolusi teknologi berkecambah dan tumbuh masif sampai ke sektor perdagangan di setiap dan industri. Boomer, kita tak lagi perlu kehadiran fisik untuk berperang. Ekonomi digital sebagian besar bahkan cukup kebal terhadap sanksi perdagangan tradisional.
Bicara dalam konteks hari ini, hampir seluruh lini kehidupan sudah terdigitalisasi. Transportasi yang dulunya harus diakses dengan datang langsung ke pangkalan moda bus, ojek, kini sudah bersalin wajah di ponsel masing-masing. Tinggal duduk manis memesan Gojek atau Grab, moda itulah yang justru mendatangi kita. Singkatnya, ekonomi terhubung tanpa perlu uang fisik atau kartu kredit plastik. Pun, kita juga tak harus mengeluarkan energi berlebih untuk bertemu atau bertransaksi bisnis.
Dari Shanghai ke Mumbai, Singapura ke Bangalore, evolusi jelas mengarah pada ekonomi digital. Yang menarik adalah, perangkat seluler di tangan orang jauh melampaui kemampuan bank di Amerika Utara dan sebagian besar Eropa. Keuangan, produksi, penjualan, pengiriman, dan pembayaran semuanya terhubung melalui aplikasi seluler. Alur proses dan data tidak dapat diblokir oleh larangan perjalanan atau tarif. Aplikasi ini melacak dan melayani segalanya, mulai dari pengiriman hingga pembayaran, melalui miliaran kode QR unik. Negara asal dapat berada di mana saja di dunia. Data digital dapat dengan mudah memodifikasi tempat asal dan terlibat dalam pengiriman dan penjualan skala besar, dari sumber ke rak digital seperti Amazon dan Alibaba.
Tim Vasco, bos BlockCerts, platform token transaksi semacam PayPal membandingkan kemajuan di Timur dengan Barat dalam perkara ekonomi digital. Ia bercerita di Forbes, saat sedang berada di sebuah bar mie di Shanghai, ia menarik Platinum AMEX dari dompetnya. Ia kebingungan lantaran gagal menemukan alat pembayaran kuno. Ia kemudian berasumsi, restoran itu bisa bertransaksi lewat HSBC MasterCard. Faktanya, ia keliru. Sebab, satu per satu, perangkat seluler dari semua merek, bentuk dan ukuran terbang di depan menu. Kode QR menangani semua aspek pemesanan dan pembayaran. Satu-satunya kertas adalah kuitansi yang diserahkan ke server dari pelanggan, yang diantar ke kursi di meja yang penuh sesak.
Aplikasi seluler memindai kode QR yang ditampilkan pada mesin kasir. “WeChat” dan “Alipay” melintas berulang kali di kertas, kode QR yang ditempel di register. Akhirnya, ia melihat seseorang yang mengeluarkan uang kertas. Dengan enggan, manajer restoran menerima uang tunai dan menyerahkan slip makanan.
Setelah 30 menit, ia menemukan terminal yang hampir punah di China yang dikenal sebagai ATM. Kehabisan uang tunai, dan didorong rasa lapar, ia pun mengambil uang dari situ, disertai tatapan aneh orang-orang setempat.
Jika di China saja, kemajuan sudah demikian pesat, bagaimana dengan dunia Barat? Di belahan negara-negara Barat, sebagian besar masih terikat pada sistem, institusi, dan kerangka kerja peraturan yang membuat ekonomi kita tinggal dalam debu terminal kartu kredit. Di Timur, dunia didorong oleh pembayaran seluler, digital, dan tokenisasi terbaru yang berkembang pesat.
Kekuatan ekonomi digital melampaui kecepatan dan efisiensi. Perdagangan di mana-mana di seluruh dunia melalui jaringan memungkinkan barang dan jasa untuk mengalir dari seluruh penjuru bumi. Namun, pelacakan data, terutama di Tembok Besar China, hampir tidak mungkin.
Masa depan perdagangan, dari sumber ke penjualan, produk hingga pembayaran, membutuhkan solusi untuk memungkinkan keaslian untuk mengukur dan menyeimbangkan perdagangan. Itu tidak lagi dapat diukur melalui standar bagaimana perhitungan PDB produk domestik bruto selama abad yang lalu.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping berjabat tangan setelah membuat pernyataan bersama di Aula Besar Rakyat di Beijing, China, 9 November 2017. (Foto: Reuters/Damir Sagolj)
Solusinya adalah mengirimkan data yang diautentikasi. Pengetahuan tentang produk, orang-orang, tempat asal, rantai tahanan, dan pembayaran digital menyertai setiap tautan dalam rantai pasokan. Melansir Forbes, kerangka kerja yang muncul untuk menyelesaikan jejak data terverifikasi yang mendorong perdagangan global disebut blockchain.
Teknologi buku besar digital mampu memberikan otentikasi data dari pengiriman pasokan, sumber ke penjualan, semudah dan secepat pembayaran menggunakan kode QR dan perangkat seluler. Upaya pemerintah untuk menerapkan tarif dan mengendalikan ekonomi dengan taktik berusia seabad hampir sama efektifnya dengan mencoba menggunakan kartu kredit untuk membeli mi di China.
Selain itu, pembelajaran mesin, analitik, dan kecerdasan buatan adalah bentuk lain dari teknologi saat ini yang dapat dimodelkan untuk mendorong pendekatan yang lebih logis bagi industri dan pemerintah agar ekonomi lebih terukur dan efisien.
Rupanya teknologi telah mengubah cara perdagangan terjadi. Tak mustahil, perang dagang pun bisa dimulai dari sebuah bar mi di China.
Penulis dan editor: Purnama Ayu Rizky
Keterangan foto utama: Logo Amazon, Apple, Facebook, dan Google dalam kombinasi foto Reuters. (Foto: Reuters)
Hai Boomer, Perang Dagang Masa Depan adalah Digital!