Liga Arab dibentuk untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut, menyelesaikan perselisihan di antara anggotanya, dan mengoordinasikan tujuan politik.
Perwakilan dari Mesir, Suriah, Lebanon, Transyordania, Arab Saudi, Irak, dan Yaman bertemu di Kairo untuk mendirikan Liga Arab, organisasi regional negara-negara Arab. Tujuan liga pada tahun 1945 adalah untuk memperkuat dan mengkoordinasikan program politik, budaya, ekonomi, dan sosial para anggotanya dan untuk menengahi perselisihan di antara mereka atau antara mereka dan pihak ketiga. Penandatanganan kesepakatan kerjasama pertahanan dan ekonomi pada 13 April 1950 juga mengikat para penandatangan untuk koordinasi langkah-langkah pertahanan militer.
Anggota Liga Arab membentuk sebuah dewan, dengan masing-masing negara bagian menerima satu suara. Lima belas negara Arab lainnya akhirnya bergabung dengan organisasi tersebut. Anggota lainnya adalah Libya (1953); Sudan (1956); Tunisia dan Maroko (1958); Kuwait (1961); Aljazair (1962); Bahrain, Oman, Qatar, dan Uni Emirat Arab (1971); Mauritania (1973); Somalia (1974); Organisasi Pembebasan Palestina (PLO; 1976); Djibouti (1977); dan Komoro (1993). Negara-negara ini akhirnya mendirikan pasar bersama pada 1965.
Mengutip dari catatan Britannica, pada tahun-tahun awalnya, Liga Arab berkonsentrasi terutama pada program ekonomi, budaya, dan sosial. Pada 1959, mereka mengadakan kongres perminyakan Arab pertama dan pada 1964 mendirikan Organisasi Pendidikan, Kebudayaan dan Ilmiah Liga Arab (ALECSO). Juga pada 1964, meskipun ada keberatan dari Yordania, liga tersebut memberikan status pengamat untuk PLO, sebagai perwakilan dari semua orang Palestina. Status ini ditingkatkan menjadi keanggotaan penuh pada 1976.
Di bawah kepemimpinan Mahmoud Riad, sekretaris jenderal ketiga (1972–79), aktivitas politik meningkat. Liga tersebut, bagaimanapun, dilemahkan oleh perselisihan internal tentang masalah politik, terutama yang menyangkut Israel dan Palestina. Setelah Mesir menandatangani perjanjian damai dengan Israel pada 26 Maret 1979, anggota Liga Arab lainnya memilih untuk menangguhkan keanggotaan Mesir dan memindahkan markas liga dari Kairo ke Tunis. Mesir dipulihkan kembali sebagai anggota Liga Arab pada 1989, dan markas liga kembali ke Kairo pada 1990.
Invasi Irak ke Kuwait pada 1990 dan keterlibatan selanjutnya, atas permintaan Arab Saudi, negara-negara Barat (terutama Amerika Serikat) dalam membersihkan Kuwait dari kehadiran Irak, menyebabkan perpecahan yang mendalam di liga, catat Britannica. Arab Saudi, Mesir, Suriah, Maroko, Qatar, Bahrain, Kuwait, Uni Emirat Arab, Lebanon, Djibouti, dan Somalia mendukung kehadiran pasukan asing di Arab Saudi, dan semua kecuali tiga yang terakhir memiliki beberapa derajat (betapapun kecilnya) keterlibatan militer dalam perang itu.
Liga Arab terpaksa beradaptasi dengan perubahan mendadak di dunia Arab ketika protes populer yang dikenal sebagai Arab Spring pecah di beberapa negara di Timur Tengah dan Afrika Utara pada akhir 2010 dan awal 2011. Pada Februari 2011, Liga Arab menangguhkan partisipasi Libia di liga di tengah respon kekerasan rezimnya terhadap pemberontak Libya, dan pada Maret mendukung pemberlakuan zona larangan terbang untuk melindungi musuh pemimpin Libya, Muammar al-Qaddafi, dari serangan udara oleh pasukan loyalis.
Partisipasi Libya di Liga Arab dipulihkan pada Agustus di bawah perwakilan Dewan Nasional Transisi, atau Transitional National Council (TNC), setelah Qaddafi digulingkan. Sementara itu, ketika pemberontakan tahun 2011 di Suriah semakin memanas, Liga Arab mencapai kesepakatan dengan pemerintah Suriah pada November akan mengakhiri kampanye berdarah selama 10 bulan melawan pengunjuk rasa damai di Suriah. Kurang dari dua minggu kemudian, di tengah laporan bahwa pasukan Suriah terus membunuh pengunjuk rasa meskipun ada kesepakatan, Liga Arab memutuskan untuk menangguhkan partisipasi Suriah.
Penerjemah: Nur Hidayati
Editor: Purnama Ayu Rizky
Keterangan foto utama: Para Menteri Luar Negeri Liga Arab mengadakan sebuah pertemuan darurat di Kairo, setelah keputusan Donald Trump untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. (Foto: Reuters/Mohamed Abd El Ghany)