
Peringatan Hari Pahlawan sering dianggap sebagai momentum pas untuk merayakan nasionalisme, baik lewat seremoni atau laku sehari-hari. Asal jangan sampai mabuk (nasionalisme) saja.
Saat Veronica Koman, aktivis perjuangan Papua merdeka terpaksa “mengungsi” ke luar negeri akibat tekanan aparat, respons warganet beragam. Dandhy Dwi Laksono, pendiri Watchdog menyebut, pemerintah berupaya mengaburkan persoalan ketimpangan dan pelanggaran HAM dengan mencari kambing hitam. Jurnalis Zulfikar Akbar tak sepakat, sebab Veronica hanya sibuk memancing kerusuhan agar Papua tak bisa damai.
Zulfikar dan warganet lainnya yang kontra Papua merdeka, tidak secara khusus menjadikan nasionalisme atau rasa cinta pada Tanah Air sebagai dasar argumen. Namun, dari pantauan redaksi Mata Mata Politik, argumen warganet hampir selalu berkelindan dengan persoalan nasionalisme. Bahwa “kawinnya” Papua dan Indonesia dulu dicapai dengan berdarah-darah, sehingga sudah wajar jika NKRI jadi harga mati.
Hari Pahlawan lagi-lagi dipandang sebagai waktu yang tepat untuk merayakan seremoni nasionalisme tersebut. Dalam konteks Papua pun, sudah sepatutnya bagi mereka yang nasionalis, mendorong upaya rujuk Papua dan Indonesia. Lepas dari faktor sejarah, referendum Papua 1969 dari mula sudah lancung, demikian halnya dengan jumlah jiwa yang direnggut akibat tarik-menarik ini, atas nama nasionalisme, Papua harus bertahan dengan Indonesia.
Namun, apakah nasionalisme hanya selesai di situ?
Sebuah analisis menarik diungkapkan penulis buku Identitas dan Kenikmatan Ariel Heryanto. Menurutnya, menyitir pernyataan Tamrin di harian Kompas, 14 Februari 2005, saat Indonesia sudah nyaris habis dikapling-kapling, banyak orang masih termabuk-mabuk propaganda nasionalisme dan secara fanatik sibuk mengagung-agungkan kesatuan Indonesia—yakni Indonesia dalam versi yang ada hanya dalam khayalan atau pidato pejabat dan bukan yang nyata di bumi ini.
Padahal saat orang Indonesia sibuk “mabuk nasionalisme”, bukit-bukit Timika mulai habis dipreteli Freeport, Lhok Seumawe untuk ExxonMobil, beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan untuk Monsanto, Buyat-Minahasa dan Sumbawa untuk Newmont International, Teluk Bintun di Papua Barat untuk British Petroleum, Kalimantan Timur untuk PT Kaltim Prima Coal, hutan Papua untuk sejumlah jenderal pensiunan.
Karena itulah Ariel mengusulkan, nasionalisme mestinya ditujukan untuk memuliakan hak setiap bangsa menentukan nasib sendiri, setara bangsa lain sedunia. Nasionalisme bukan sikap anti aseng-asing lalu membenarkan segala kebijakan penguasa di negeri sendiri. Nasionalisme pada akhirnya jadi proyek bersama yang melampaui kecintaan pada Tanah Air, tapi juga upaya mengabadikan integritas, identitas, kemakmuran, dan lainnya.

Seorang aktivis Papua mengecat wajahnya dengan bendera separatis Bintang Kejora, meneriakkan slogan-slogan selama aksi protes baru-baru ini. (Foto: AP)
Mari kita kembali pada kasus Papua. Apakah tujuan mulia dari semangat nasionalisme itu sudah dicapai di provinsi paling timur Indonesia itu? Bernarda Meteray, penulis buku “Nasionalisme Ganda Orang Papua” menerangkan, konsepsi nasionalisme yang ada dalam pandangan pemerintah pusat dan orang Papua sangat berbeda. Faktanya, pemerintah kita memaksakan nasionalisme versinya sebagai kesadaran nasional warga Papua.
Dalam bukunya, ia menulis, guru zending dari Belanda IS Kijne pada 1920-an ingin orang Papua kelak bisa bertanggung jawab atas diri mereka sendiri. Masalahnya, kesadaran etnis Papua belum bersifat politis kala itu.
Bahkan, saat di mana tentara sekutu yang didominasi orang Amerika Serikat datang ke sana pun, masyarakat Papua belum juga merumuskan identitas keindonesiaan. Hanya sedikit orang Papua yang tahu soal Indonesia, tapi hanya kenangat pahit opresi militer dan musim penyiksaan saja yang barangkali membekas banyak. Pun, termasuk saat Papua resmi diserahkan oleh PBB pada Indonesia, kebingungan itu terus tersemai. Apalagi didukung dengan sejumlah pelanggaran HAM yang tak tuntas diusut sampai sekarang.
Berangkat dari situlah, masyarakat kita harus mengaji ulang definisi nasionalisme. Sebab, nasionalisme bisa bermakna berbeda di setiap warganya. Jangan-jangan ketika kita memaksakan Papua agar tetap bergabung dengan NKRI, itu sama saja dengan melanggar nasionalisme versi mereka.
Orang seperti ini rentan terjungkal sebagai chauvinis, atau orang yang berlebihan mencintai Tanah Air. Sikap menolak asing dan mengupayakan persatuan tanpa koma adalah salah dua indikasinya. Tujuannya adalah demi menciptakan identitas kolektif bersama sebagai orang Indonesia.
Padahal, Mengutip Benedict Anderson, nasionalisme adalah sesuatu yang terus menerus perlu diperbarui dari masa ke masa. Ia jadi proyek bersama, bukan warisan masa lampau dari para pendahulu yang dapat digunakan di semua zaman. Nasionalisme adalah untuk masa kini dan masa depan, bukan masa lalu.
Jadi, kamu termasuk mabuk nasionalisme atau tidak?
Penulis dan editor: Purnama Ayu Rizky
Keterangan foto: Presiden Indonesia Joko Widodo—terlihat di sini mengenakan seragam untuk memperingati Hari Pahlawan dan menyapa masyarakat di Bandung bulan lalu—akan terlibat dalam persaingan pemilihan presiden tingkat tinggi dengan saingan lamanya, mantan jendral Prabowo Subianto, ketika masyarakat Indonesia pergi ke tempat pemungutan suara pada tanggal 17 April. (Foto: Antara Foto)
