Anti-Muslim
Global

Sejarah yang Terlupakan di Balik Islamofobia dan Terorisme Anti-Muslim

Muhammad Ali bersama putri-putrinya Laila dan Hanna, 19 Desember 1978. (Foto: Evening Standard/Getty Images/Frank Tewkesbury)
Berita Internasional > Sejarah yang Terlupakan di Balik Islamofobia dan Terorisme Anti-Muslim

Islamofobia dan terorisme anti-Muslim muncul dari anggapan bahwa Muslim bukanlah bagian dari Barat. Itu salah. Jika menilik sejarah, kontribusi umat Islam untuk pembangunan negara-negara Barat modern sangatlah penting, dan itu perlu dipelajari dan diulangi untuk melawan kebohongan bahwa Muslim bukan bagian dari Barat. Ketika Muslim gagal mengingat asal-usul keragaman Muslim di Barat, maka Muslim ikut membantu teroris kulit putih untuk menghapus sejarah Muslim sendiri.

Baca juga: Peneliti: Konten Anti-Muslim di Facebook Jauh Lebih Mengerikan dari yang Dibayangkan

Selain rasisme anti-kulit hitam dan anti-Semitisme, salah satu pilar gerakan terorisme putih global kontemporer adalah kebencian anti-Muslim.

Kebencian itu dibangun di atas semacam taktik ‘melupakan’; sebuah penghapusan sejarah, menurut Edward E. Curtis IV di Rewire.News.

Penghapusan sejarah ini dapat dilihat dalam ideologi Anders Breivik—teroris Norwegia yang membunuh 77 orang pada tahun 2011—dan Brent Tarrant, tersangka dalam pembunuhan 50 Muslim di Christchurch, Selandia Baru.

Penghapusan sejarah ini adalah hasil dari asumsi bahwa umat Islam asing bagi Barat. Pelupaan seperti itu mengarah pada kegilaan yang sama yang mengilhami Don Quixote untuk bertarung dengan kincir angin (yang dia bayangkan sebagai sesosok raksasa) di era Spanyol Katolik pasca-Reconquista, di mana semua orang bersumpah bahwa pengaruh budaya Yahudi dan Muslim telah dihilangkan.

Ini bukan untuk menampik bahwa sejumlah besar orang percaya bahwa imigran menimbulkan ancaman bagi budaya Barat. Imigrasi kaum Muslim dan kelompok-kelompok agama minoritas lainnya ke negara-negara kulit putih—negara mayoritas Kristen seperti Selandia Baru, Belanda, dan Amerika Serikat (AS)—jelas telah menimbulkan reaksi negatif dan sering menimbulkan nostalgia yang merindukan masyarakat homogen.

Tetapi ketika perasaan itu menjadi cikal bakal seorang penganut supremasi kulit putih—narasi imperial tentang sejarah Barat—kita merampas masa lalu yang dapat membantu kita membayangkan kembali masa kini.

Sebenarnya, Edward E. Curtis IV mengatakan, Barat seperti yang kita tahu tidak akan ada tanpa kontribusi Muslim. Sudah waktunya untuk kembali bercermin agar kita yang tinggal di Barat dapat melihat diri kita secara lebih akurat.

Muslim Diserang di Berbagai Negara: Sebuah Pandemi Global?

Dua anak laki-laki menunjukkan poster-poster selama protes terhadap Islamofobia di Brussels, Minggu, 26 Oktober 2014. (Foto: AP/Yves Logghe)

Muslim telah menjadi bagian dari sejarah Barat sejak 711 Masehi, ketika umat Islam mendirikan negara di Andalusia. Memang benar—seperti yang ingin ditunjukkan oleh para aktivis anti-Muslim—bahwa tentara yang dipimpin Muslim kadang-kadang menyerang tentara yang dipimpin Kristen di Eropa abad pertengahan.

Tetapi apa yang mungkin dengan sengaja mereka hilangkan adalah fakta bahwa orang Muslim kemungkinan besar akan berjuang untuk dan bersama dengan militer Eropa yang dipimpin oleh orang Kristen, sama seperti mereka berjuang menentang militer Kristen.

Sejarah militer Eropa abad pertengahan dan modern mengenai konflik Muslim-Kristen sama banyaknya dengan kisah kerja sama antara Muslim-Kristen.

Misalnya, dalam periode Taifa dari sejarah Spanyol dari abad ke-11 hingga abad ke-13—ketika ada beberapa kerajaan kecil yang bersaing untuk memperebutkan kontrol politik Semenanjung Iberia—orang-orang Kristen sering bertugas dalam pasukan Muslim dan sebaliknya.

Agama bukan halangan bagi dinas militer.

Meskipun Kekaisaran Ottoman Muslim (Kekhilafahan Turki Utsmani) dengan jelas berusaha memperluas wilayahnya di Eropa—di mana ia menjadi salah satu dari beberapa kekuatan Eropa yang memperebutkan wilayah itu—namun ia juga mencari sekutu Kristen.

Pada tahun 1453, misalnya, laksamana Utsmani Barbarossa, seorang Albania, membantu Raja Prancis Francois mengepung pasukan Kaisar Romawi Suci Charles V di Nice. Ribuan Muslim Tatar membantu beperang untuk Polandia dalam Pertempuran Warsawa pada 1656, dan pada 1791, Konstitusi Polandia memberi mereka perwakilan di parlemen, dilansir dari Rewire.News.

Pada tahun 1853, umat Islam berjuang untuk negara mereka masing-masing dalam Perang Krimea, dan mereka melanjutkan membantu sekutu dalam Perang Dunia I dan Perang Dunia II—hingga ratusan ribu orang.

Tetapi umat Islam berbuat lebih banyak untuk membangun Barat daripada membantu angkatan bersenjatanya.

Kemajuan ilmiah Eropa Abad Pertengahan dalam bidang optik, farmakologi, kimia, kedokteran, aljabar, astronomi, trigonometri, semuanya tergantung pada penemuan kaum Muslim Barat dan kaum Muslim lainnya. Penelitian medis Al-Razi (Rhazes) dan Ibnu Sina (Avicenna), penulis The Book of Healing, digunakan untuk mengajar mahasiswa kedokteran di Eropa selama berabad-abad.

Baca juga: Bagaimana Kelompok Anti-Muslim Amerika Dorong Masyarakat untuk Memata-matai Muslim

Teologi Kristen Abad Pertengahan lahir dalam percakapan dengan para teolog Muslim seperti Al-Farabi, Avicenna, dan Ibn Rusyd (Averroes).

Averroisme dikecam di Universitas Paris pada tahun 1270, namun ia menyangkal penjelasan tentang asal-usul dunia dan sifat jiwa manusia seperti pada teologi Santo Thomas Aquinas.

Orang-orang Eropa Utara berbondong-bondong datang ke perpustakaan-perpustakaan Eropa Selatan untuk membaca ratusan ribu volume di perpustakaan-perpustakaan seperti Cordoba dari abad ke-9. Puisi rakyat diilhami oleh bahasa Arab, bahasa yang digunakan bersama oleh orang Yahudi, Kristen, dan Muslim, yang juga menjadi bahasa pengadilan resmi Raja Norman Sisilia, Roger II, pada tahun 1100-an.

Ulama Garis Keras Australia

Para pengunjuk rasa dalam pawai Reclaim Australia menentang ekstremisme agama di Sydney pada April 2015. (Foto: AFP/Getty Images/Peter Parks)

Bahkan setelah tahun 1492, ketika Ferdinand dan Isabella menaklukkan Granada—kerajaan Muslim terakhir yang tersisa di Iberia—penjajah Spanyol membawa arsitektur Spanyol Muslim ke Amerika. Mulai dari Karibia hingga wilayah pantai California, pola ubin dan halaman terbuka persegi panjang adalah warisan Muslim yang dibawa ke Barat.

Kontribusi umat Islam untuk pembangunan negara-negara Barat modern seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis sama pentingnya.

Para penulis dan pemikir Muslim AS seperti Mahommah Baquaqua dan Mohammed Ali ben Said—yang juga bertugas di Infanteri ke-55 Massachusetts (Colored) selama Perang Sipil—memberi para pembaca Amerika beberapa catatan akurat pertama tentang budaya Afrika.

Baca juga: Menginspirasi Kekerasan dan Islamofobia, PUBG Mobile Harus Dilarang

Penulis North Carolina Omar ibn Said, menulis memoar literatur Amerika berbahasa Arab yang masih ada pada tahun 1831, sebuah dokumen yang baru-baru ini didigitalkan oleh Library of Congress.

Ketiga penulis ini termasuk di antara puluhan ribu pria dan wanita Muslim kelahiran Afrika yang diperbudak yang benar-benar membantu membangun Amerika Serikat dari tahun 1776 hingga 1865, ketika perbudakan secara resmi berakhir.

Abad ke-20 begitu penuh dengan kontribusi Muslim pada sastra, musik, seni, olahraga, politik, dan bisnis Barat—setiap bidang kehidupan di Barat.

Di bidang jazz, Ahmad Jamal, Art Blakey, Dakota Staton. Di bidang olahraga, Muhammad Ali, Kareem Abdul-Jabbar, Zinedine Zidane, Ibtihaj Muhammad. Di bidang arsitektur, Fazlur Rahman Khan. Di bidang kimia, Ahmed Zewail. Di bidang pendidikan tinggi, Amina Wadud, Leila Ahmed, Saba Mahmood, dan banyak lainnya.

Nama-nama seperti itu perlu dipelajari dan diulangi untuk melawan kebohongan bahwa Muslim bukan bagian dari Barat.

Ketika kita gagal mengingat asal-usul kolektif kita di Barat, kita membantu teroris kulit putih menghapus sejarah kita sendiri. Komentar naif tentang “pembaruan” Muslim di Barat perlu dihentikan. Sekarang juga. Setiap orang yang menambah—bukannya melawan—penghapusan sejarah ini, harus mempelajari kembali sejarah Barat.

Edward E. Curtis IV menyimpulkan, ini adalah masalah hidup dan mati. Bukan hanya untuk Muslim di Barat, tetapi untuk semua orang yang menghargai kebenaran.

Penerjemah dan editor: Aziza Fanny Larasati

Keterangan foto utama: Muhammad Ali bersama putri-putrinya Laila dan Hanna, 19 Desember 1978. (Foto: Evening Standard/Getty Images/Frank Tewkesbury)

Sejarah yang Terlupakan di Balik Islamofobia dan Terorisme Anti-Muslim

BERLANGGANAN

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top