
Memperingati Hari Kebangkitan Nasional pada 20 Mei 2019 lalu, seorang profesor sejarah asal Australia, Hans Pols, mengulik bagaimana dokter-dokter pribumi memicu gerakan kebangkitan Indonesia melawan kolonial Belanda. Dokter-dokter pribumi ini kemudian mendirikan Budi Utomo, yang pertama dari banyak organisasi nasionalis di Hindia Belanda. Para pendiri Budi Utomo yakin bahwa ilmu sains, teknologi, dan kedokteran modern dapat mengubah kehidupan semua rakyat Jawa.
Oleh: Hans Pols (The Conversation)
Baca Juga: Polisi Indonesia Berhasil Gagalkan Rencana Serangan Bom Wi-Fi 22 Mei
Para sejarawan kedokteran telah menyelidiki penemuan-penemuan dalam dunia kedokteran dan pengaruhnya terhadap kehidupan sehari-hari, organisasi perawatan medis, dan profesi medis. Selama tiga dekade terakhir, mereka telah menyelidiki praktik kedokteran di wilayah bekas jajahan negara-negara Eropa. Mereka telah mengategorikan kedokteran kolonial sebagai sarana kekuasaan kerajaan.
Sebagai contoh, di wilayah yang diperintah oleh perusahaan Hindia Belanda, sekarang menjadi negara Indonesia, para dokter Belanda diutamakan hanya merawat tentara dan pegawai kolonial. Setelah pergantian abad ke-20, mereka menerapkan program kesehatan untuk buruh kontrak di perkebunan. Pekerja yang sehat menjadi lebih produktif dan dapat menghasilkan lebih banyak keuntungan. Pemerintah kolonial mendanai pendidikan medis dengan mendirikan sekolah kedokteran di Batavia (sekarang Jakarta) dan Surabaya, karena peran penting mereka dalam ekonomi kolonial.
Sebagai seorang sejarawan sains, Hans Pols telah meneliti sejarah kedokteran di Hindia Belanda. Dalam tulisan kali ini, Hans Pols menemukan hubungan antara kedokteran dan perjuangan dekolonisasi.
Hans Pols menerbitkan penelitiannya dalam sebuah buku, Nurturing Indonesia: Medicine and Decolonization in the Dutch East Indies, yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan tajuk “Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan Pada Dokter Indonesia” yang diluncurkan tanggal 12 November 2018 di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jakarta.
Di Hindia Belanda, mahasiswa kedokteran mengerahkan pemuda Indonesia untuk mengambil bagian dalam kegiatan politik. Mahasiswa kedokteran mendorong para pemuda pribumi untuk mengamati situasi di negara jajahan. Para pemuda juga didorong untuk membayangkan bagaimana mereka dapat meningkatkan kehidupan penduduk pribumi di Nusantara.
Budi Utomo
Tanggal 20 Mei 1908, Sutomo dan beberapa mahasiswa kedokteran di Sekolah Pendidikan Dokter Hindia (STOVIA), bersama dengan pensiunan dokter Wahidin Sudirohusodo, mendirikan sebuah asosiasi bernama Budi Utomo. Asosiasi ini memperjuangkan peningkatan kesempatan pendidikan bagi pria dan wanita muda di Jawa.
Para pendiri Budi Utomo yakin bahwa ilmu sains, teknologi, dan kedokteran modern dapat mengubah kehidupan semua rakyat Jawa. Mereka percaya bahwa pendidikan merupakan kunci bagi dunia yang lebih baik. Banyak siswa di Jawa tertarik pada cita-cita Budi Utomo dan bergabung menjadi anggota.
Indonesia hingga kini memperingati pendirian organisasi Budi Utomo tanggal 20 Mei setiap tahun sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Gedung Sekolah Pendidikan Dokter Hindia STOVIA di Jakarta sekarang menjadi Museum Kebangkitan Nasional.
Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo memulai kampanye Pilpres 2014 di museum tersebut, menjanjikan bahwa kebangkitan nasional baru akan berlanjut begitu ia terpilih.
Sejumlah komentator mengatakan bahwa Budi Utomo adalah yang pertama dari banyak organisasi nasionalis di Hindia Belanda. Semua organisasi pegerakan lain segera bangkit mengikuti Budi Utomo. Ki Hadjar Dewantara dan Wurjaningrat membuat klaim ini dalam sebuah buku yang diterbitkan oleh Kementerian Informasi Indonesia tahun 1950. Meski mungkin berlebihan, pendirian organisasi Budi Utomo menunjukkan bahwa dokter dan mahasiswa kedokteran Indonesia sangat tertarik dengan masalah sosial dan politik setelah pergantian abad ke-20.
Mahasiswa kedokteran Indonesia telah memobilisasi sejumlah besar siswa di seluruh Nusantara di era kolonial Belanda. Mereka mendirikan organisasi seperti Jong Java, Jong Sumatra, Jong Minahasa di Sulawesi, dan Jong Ambon di Maluku. Berbagai organisasi pemuda tersebut kemudian bersatu untuk menjadi Jong Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, melahirkan sebuah identitas nasional.
Para dokter Indonesia turut aktif dalam gerakan nasionalis Indonesia. Mereka terlibat dalam berbagai organisasi dan partai politik, selain juga menjadi penulis dan aktivis.
Sejak tahun 1918 hingga 1942, misalnya, setidaknya satu dokter menjadi anggota parlemen kolonial atau Volksraad. Di beberapa titik, ada tiga. Dokter Sutomo dan Tjipto Mangunkusumo adalah contoh paling terkenal dari dokter-politisi.
Wartawan Tirto Adi Suryo dan pendiri sekolah Taman Siswa Ki Hadjar Dewantara (ketika masih bernama R.M. Suwardi Suryaningrat) sama-sama menempuh pendidikan di STOVIA.
Baca Juga: Indonesia Kehabisan Penjara, Lapas di Seantero Negeri Kepenuhan
Kritis terhadap pemerintah kolonial Belanda
Para dokter dan mahasiswa kedokteran Indonesia termotivasi untuk berpartisipasi dalam berbagai organisasi sosial, budaya, dan politik karena pelatihan medis yang mereka dapatkan.
Setelah penemuan tentang bakteri tahun 1870-an dan parasit tahun 1890-an, wawasan baru tentang penyebab dan penularan penyakit menjanjikan bahwa penyakit dapat disembuhkan, nyawa dapat diselamatkan, dan penderitaan dapat diringankan. Para dokter dan mahasiswa kedokteran Indonesia termotivasi oleh keyakinan mendalam akan kapasitas ilmu kedokteran modern.
Melalui pendidikan mereka, para dokter tersebut juga menjadi terkait dengan profesi medis kosmopolitan. Terlepas dari pelatihan dan keterampilan medis mereka, mereka menghadapi diskriminasi dalam pekerjaan profesional mereka dibandingkan dengan rekan-rekan dokter yang berpendidikan Eropa.
Banyak dokter pribumi yang menjadi sangat kritis terhadap pemerintahan kolonial Belanda kemudian bergabung dengan gerakan nasionalis Indonesia. Beberapa dokter bahkan turut mengadvokasi perjuangan kemerdekaan.
Dalam dunia sains dan kedokteran, setiap individu dinilai berdasarkan pencapaian pendidikan, kemampuan, keterampilan, dan prestasi. Ras, etnis, dan status seseorang sebagai subjek jajahan di bawah pemerintah kolonial Belanda pada prinsipnya tidak relevan.
Karena hubungan mereka dengan profesi medis kosmopolitan, para dokter Indonesia dapat membangun hubungan di luar batas Hindia Belanda. Dengan membaca literatur medis dan melakukan eksperimen medis, mereka turut berpartisipasi dalam dunia sains internasional.
Beberapa dokter pribumi bahkan mengkritik pemerintahan kolonial Belanda karena komitmen mereka yang terbatas terhadap kesehatan dan obat-obatan dibandingkan dengan pemerintahan kolonial lainnya. Sejumlah dokter lain mendirikan rumah sakit dan klinik atau mulai memberikan pendidikan kesehatan masyarakat. Beberapa dokter bergabung dengan dewan kota yang mengadvokasi penyediaan selokan dan air minum bersih yang dikenal dapat mengurangi penyakit dan meningkatkan kualitas kesehatan.
Ketika para dokter Indonesia mengambil posisi dalam pelayanan kesehatan kolonial, mereka segera menyadari bahwa gelar kedokteran dari perguruan tinggi medis kolonial di Batavia (STOVIA) dan Surabaya (NIAS) dianggap lebih rendah daripada gelar yang diberikan oleh sekolah-sekolah kedokteran yang berafiliasi dengan universitas-universitas Eropa. Dokter Indonesia seringkali menduduki posisi yang paling tidak diinginkan dalam pelayanan kesehatan dan menerima gaji yang jauh lebih rendah daripada rekan-rekan dokter di Eropa.
Hal ini telah menyebabkan sedikit kebencian. Banyak dokter pribumi yang terlibat dalam politik setelah mengakui bahwa status profesional mereka yang lebih rendah terkait dengan perbedaan antara ras dan kelompok etnis dalam masyarakat kolonial.
Generasi pertama dokter Indonesia yang terlibat dengan politik ingin memperbaiki kondisi di dalam kolonial Belanda sambil mempertahankan struktur fundamentalnya. Namun, banyak wakil generasi kedua berjuang untuk mewujudkan kemerdekaan.
Para dokter Indonesia tersebut, yang terdiri dari kelompok profesional yang paling dekat dengan Belanda dalam hal pelatihan, pendidikan, dan keterampilan, percaya bahwa kemerdekaan merupakan satu-satunya cara untuk meningkatkan nasib penduduk pribumi.
Setelah kemerdekaan, kebanyakan dari mereka menjadi pegawai negeri dan berfokus secara eksklusif pada pengembangan sekolah kedokteran dan infrastruktur kesehatan. Akibatnya, keterlibatan politik mereka pun surut. Namun, keterlibatan politis para dokter selama era kolonial masih dapat menjadi contoh yang menginspirasi para dokter Indonesia saat ini.
Penerjemah: Fadhila Eka Ratnasari
Editor: Aziza Larasati
Hans Pols adalah Asisten Profesor Sejarah dan Filsafat Ilmu Pengetahuan di Universitas Sydney.
Keterangan foto utama: Mahasiswa kedokteran di sekolah pendidikan dokter pribumi Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS) di Surabaya tahun 1930-an. (Foto: Hans Pols)
