Tembok Laut Raksasa Diperlukan, untuk Cegah Jakarta Tenggelam
Berita Politik Indonesia Hari Ini

Ibu Kota Pindah, Warga Khawatir Masalah Jakarta Diabaikan

Berita Internasional > Ibu Kota Pindah, Warga Khawatir Masalah Jakarta Diabaikan

Rencana pemindahan ibu kota Indonesia dari Jakarta telah banyak menimbulkan pro dan kontra tersendiri. Banyak pihak yang mengkhawatirkan bahwa dengan adanya ibu kota baru kelak, sejumlah masalah Jakarta, termasuk banjir dan tanah yang terus tenggelam, lantas akan diabaikan begitu saja.

Oleh: Nivell Rayda (Channel News Asia)

Terakhir kali masjid Waladuna di daerah Muara Baru, Jakarta Utara, digunakan untuk beribadah, air laut telah membanjiri beranda saat air pasang, menenggelamkan jalan setapak menuju masjid itu dengan air setinggi lutut.

Itu 18 tahun yang lalu, warga mengatakan kepada CNA. Tidak lama kemudian, orang-orang tidak lagi sholat di masjid itu, yang dibangun pada 1980-an ketika seluruh area masih duduk jauh di atas permukaan laut.

Selama bertahun-tahun, tanah di bawah masjid, dan daerah Muara Baru lainnya, semakin tenggelam.

Baca Juga: Monarki Terakhir Indonesia: Kontroversi Sultan Perempuan Yogyakarta

Penduduk setempat mengatakan banjir besar yang melanda Jakarta pada 2007, yang disebabkan oleh kombinasi hujan deras yang terus-menerus dan gelombang pasang, memaksa pemerintah untuk membangun tembok untuk menyelamatkan daerah tersebut.

Masjid itu dianggap tidak dapat diselamatkan, dan tanggul setinggi 6 meter dari permukaan laut dibangun di sekitarnya.

Saat ini, masjid Waladuna, yang telah menjadi simbol tidak resmi dari masalah penurunan tanah kronis Jakarta, berdiri miring dan setengah terendam air sedalam 1 meter di siang hari.

Sebuah koloni lumut dan kerang menutupi dinding masjid, membentang sampai ke atapnya yang bobrok, memberikan petunjuk sampai mana permukaan laut mencapai ketika air pasang berada di puncaknya.

Di belakang tanggul, gudang dan pabrik telah memindahkan operasinya ke tempat lain, meninggalkan sebidang tanah kosong yang berada 3 meter di bawah permukaan laut.

Air laut terus-menerus merembes melalui celah-celah pada tanggul, kata penduduk setempat Asmadi Widianto kepada CNA, membasahi daerah sekitar tanggul dan mengubah tanah menjadi lumpur dan rawa.

“Itu sebabnya pabrik dan gudang pindah. Truk akan terjebak di lumpur dan jika daerah itu banjir selama musim hujan, isi gudang akan rusak,” katanya.

Gudang yang masih berdiri sekarang sebagian besar kosong, dan Asmadi memperkirakan bahwa tidak lama lagi bangunan itu akan dibuldoser.

Jakarta adalah salah satu kota besar yang paling cepat tenggelam di dunia karena ekstraksi air tanah yang berlebihan untuk minum dan keperluan sehari-hari lainnya oleh 10 juta penduduk kota.

Enam puluh persen dari permintaan air Jakarta dipenuhi oleh ekstraksi air tanah, yang memadatkan tanah di sekitar akuifer dan menyebabkan tanah di atas mereka ambles.

Warga mengatakan kepada CNA bahwa mereka khawatir masalah itu akan diabaikan dengan relokasi ibu kota Indonesia ke Kalimantan Timur.

Namun, pemerintah pusat meyakinkan warga bahwa mereka akan terus membantu pemerintah Jakarta untuk mengatasi masalah-masalahnya, termasuk penurunan tanah.

Penduduk Muara Baru, Iwan Setiawan mengatakan, butuh waktu hingga enam bulan agar air benar-benar kering setelah banjir.

“Air tidak bisa meresap lagi karena daerah itu sekarang di bawah permukaan laut,” katanya kepada CNA.

Ketika Iwan Setiawan pertama kali datang ke Muara Baru pada tahun 1967, seluruh daerah itu berada 3 meter di atas permukaan laut.

Daerah itu mulai tenggelam pada 1970-an, dia menceritakan, dan pada awal 2000-an, daerah itu setinggi permukaan laut. Setelah itu, laju penurunan tanah tampaknya semakin cepat, katanya.

Penurunan rata-rata tanah yang memengaruhi Jakarta adalah 1,15 cm per tahun, dengan beberapa bagian kota itu tenggelam hingga 25 cm per tahun, termasuk Muara Baru.

Menurut model yang dilakukan oleh Institut Teknologi Bandung (ITB) di Indonesia, 95 persen wilayah pesisir di Jakarta dapat seluruhnya tenggelam di bawah permukaan laut pada tahun 2050.

Muara Baru, yang saat ini duduk 2 hingga 3 meter di bawah permukaan laut, bisa tenggelam hingga lebih dari 5 meter di bawah permukaan laut selama 30 tahun ke depan.

Dengan Jakarta menghadapi penurunan tanah yang kronis, naiknya permukaan laut dari pemanasan global, ancaman banjir besar serta kemacetan lalu lintas yang melumpuhkan, pemerintah Indonesia mengumumkan pada bulan Agustus bahwa mereka akan memindahkan ibu kota ke Kalimantan Timur pada awal 2024.

Di daerah Batang, Jakarta Utara, jalan dan gang dipenuhi oleh rumah-rumah dan toko-toko yang berjarak 0,5 hingga 1 meter di bawah permukaan jalan.

Untuk mengimbangi tenggelamnya, warga telah menambahkan undakan untuk masuk ke rumah mereka, sementara beberapa warga telah meninggalkan lantai dasar dan membangun lantai dua.

“Kami harus memperbaiki retaknya tembok di rumah kami setiap saat karena pergeseran lahan,” kata Emmy Lestari, yang permukaan tanah rumahnya sekarang berada 2 meter di bawah permukaan laut.

“Saya membangun lantai dua di rumah saya sekitar lima tahun yang lalu karena air laut akan masuk melalui celah-celah tanggul dan membanjiri daerah ini.

“Saya berharap pemerintah pusat akan menyelesaikan masalah ini sepenuhnya sebelum mereka pindah. Kalau tidak, suatu hari saya mungkin harus membangun lantai tiga.”

penurunan tanah di Jakarta

Kawasan Jakarta Utara tenggelam sebanyak 25 cm setiap tahunnya. (Foto: BBC)

Baca Juga: Prabowo Jadi Menteri Pertahanan Indonesia, Haruskah China Khawatir?

Praktik ekstraksi air yang meluas

Sementara itu, ekstraksi air tanah terus menjadi masalah tanpa akhir.

Sejak 1998, jumlah rumah tangga yang dilayani oleh sistem distribusi air pipa Jakarta hanya tumbuh dari 44,5 persen menjadi 59,4 persen pada 2018, menurut data dari pemerintah Jakarta.

“Jika Jakarta bisa berhenti mengekstraksi air tanah, penurunan tanah bisa berhenti. Ini karena 70 persen penurunan tanah di Jakarta disebabkan oleh ekstraksi air tanah,” Peter Letitre, pakar pengelolaan air tanah dari lembaga ahli Deltares yang berbasis di Belanda mengatakan kepada CNA.

Pakar itu mengatakan, Tokyo pernah mengalami masalah serupa sebelum kota itu berhenti mengambil air tanah pada 1970-an.

“Memang benar bahwa kementerian dan kantor-kantor pemerintah yang pindah akan meringankan beberapa tekanan yang dihadapi akuifer Jakarta.

“Tetapi pemerintah lemah terhadap orang-orang yang terus mengekstraksi air tanah,” katanya.

Saat ini, tidak ada peraturan untuk menghentikan siapa pun, dari pemilik rumah individu hingga operator pusat perbelanjaan besar, untuk melakukan ekstraksi air tanah mereka sendiri.

“Bahkan kantor pemerintah menggunakan air tanah,” kata Letitre, menambahkan bahwa dia sangat optimis bahwa pemerintah pusat akan terus memperhatikan masalah ini bahkan ketika mereka pindah dari Jakarta.

“Semua perusahaan besar bermarkas di Jakarta. Jakarta akan terus menjadi pusat bisnis dan ekonomi Indonesia, sehingga pemerintah tidak punya pilihan selain menyelamatkan Jakarta sebelum tenggelam.”

Sementara itu, di beberapa daerah yang dilayani oleh sistem air ledeng, warga mengeluhkan bahwa pasokan air kadang-kadang tidak dapat diandalkan.

Warga Cilincing, Nur Hidayati, mengatakan dia juga ragu dengan kualitas air.

“Kami tidak akan minum air dari keran. Seringkali berwarna putih dan berbau seperti klorin. Selama musim hujan, air keran berwarna coklat atau kuning karena tercampur dengan tanah dan lumpur,” katanya kepada CNA.

“Kadang-kadang air hanya mengalir di malam hari atau kadang-kadang di pagi hari seperti jam 2 pagi atau 3 pagi.”

Tembok Laut Raksasa

Anak-anak bermain di dekat masjid yang ditinggalkan di Muara Baru bulan April 2019. Jakarta adalah salah satu kota yang paling cepat tenggelam di dunia. Tembok sepanjang 8 kilometer sedang dibangun dari Pelabuhan Muara Baru hingga Pelabuhan Sunda Kelapa untuk membantu mencegah masuknya air laut. (Foto: ST Photo/Ariffin Jamar)

Dengan adanya ibu kota baru, akankah Jakarta diabaikan?

Dr Heri Andreas, ahli geologi di ITB yang telah mempelajari penurunan tanah Jakarta selama 20 tahun terakhir, khawatir bahwa memindahkan ibu kota akan berarti mengabaikan masalah ini.

“Seperti saat istri sakit tapi suami malah mencari istri lain. Tentu saja perhatian untuk istri tua yang sakit akan berkurang,” katanya kepada CNA.

Pakar itu mengatakan meski pemerintah pusat saat ini masih ada di Jakarta, tidak banyak kemajuan yang telah dilakukan untuk mengatasi penurunan tanah kota.

Pemerintah telah merencanakan untuk membangun tembok laut raksasa sepanjang 32 kilometer untuk melindungi wilayah pesisir, tetapi bertahun-tahun sejak proyek ini diluncurkan pada tahun 2014, para pejabat masih belum menyetujui desain tersebut.

“Jakarta membutuhkan Rp500 triliun untuk pembangunan infrastruktur untuk mengurangi banjir dan kemacetan lalu lintas. Sementara pembangunan ibu kota baru akan membutuhkan biaya Rp466 triliun,” kata Dr Andreas.

“Apakah ada kemauan politik yang cukup untuk menyisihkan Rp200 triliun untuk membangun tembok laut raksasa yang hanya akan berfungsi sebagai obat alih-alih solusi? Itu masih harus dilihat nantinya.”

Seorang pria mengendarai sepeda motor melalui genangan air laut yang membanjiri jalanan di Jakarta. (Foto: Reuters/Beawiharta)

Perhatian pemerintah Jakarta akan terus dilanjutkan

Gubernur Jakarta Anies Baswedan juga telah menyatakan kekhawatirannya.

“Bagi kami di Jakarta, kami berharap rencana untuk memindahkan ibu kota datang dengan komitmen berkelanjutan untuk mengatasi masalah Jakarta,” katanya kepada wartawan bulan lalu.

“Ada masalah yang membutuhkan kolaborasi dengan provinsi lain, seperti menemukan sumber air untuk menghentikan ekstraksi air tanah, dan pemerintah pusat telah berperan dalam memediasi kerja sama antara Jakarta dan provinsi sekitarnya.

“Lalu ada masalah mengurangi efek penurunan tanah yang membutuhkan banyak uang.”

Anies mengatakan pemprov Jakarta berencana untuk mengeluarkan izin dan pajak untuk penggunaan air tanah di daerah yang belum dilayani oleh sistem air pipa.

“Jika setiap pemilik rumah mengambil air tanah tanpa izin, mereka dapat didenda. Untuk manajemen gedung, mereka dapat dicabut sertifikat bangunannya,” katanya.

Ketika dihubungi, Rudy Prawiradinata, Wakil Menteri Pembangunan Daerah di Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional mengatakan pemerintah pusat akan terus membantu Jakarta untuk mengatasi masalah-masalahnya, termasuk masalah penurunan tanah.

“Ada beberapa proyek yang sedang dalam proses. Kami akan terus membiayai mereka atau membantu Jakarta mencari pinjaman dari negara lain, ”katanya.

“Memindahkan ibu kota akan mengurangi beberapa masalah yang dihadapi Jakarta. Lebih sedikit orang berarti lebih sedikit lalu lintas dan lebih banyak akses ke air bersih. Intinya adalah, Jakarta akan tetap menjadi pusat bisnis dan ekonomi Indonesia. Jakarta akan terus menjadi bagian penting dari negara ini,” katanya.

Keterangan foto utama: Presiden Indonesia Joko Widodo tersenyum saat ia berbicara dengan The Associated Press dalam kunjungannya ke Kanal Kali Besar yang baru diperbarui di Kota Tua, Jakarta, Indonesia, Jumat, 26 Juli 2019. (Foto: AP/Dita Alangkara)

Ibu Kota Pindah, Warga Khawatir Masalah Jakarta Diabaikan

BERLANGGANAN

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top