Terorisme semakin menjamur di dunia. Pembunuhan terhadap orang-orang tidak berdosa, seringkali dilakukan atas nama agama atau ideologi. Namun terorisme sebenarnya sudah ada sejak lama, di mana para teroris sering mengklaim mereka melaksanakan kehendak Tuhan. Terdapat pula terorisme sekuler atau non-agama, yang dilakukan atas dasar nasionalisme. Artikel ini akan memaparkan contoh-contoh historis terorisme.
Malak Umer Hayat dalam The Nation menulis, terorisme tentu bukan hal baru. Bahkan, terorisme sangat tertanam dalam sejarah. Orang Zelot, misalnya, adalah sekte Yahudi yang muncul pada 6 M, dan membunuh para pejabat pemerintah setempat dalam upaya untuk memicu pemberontakan dan mengusir orang-orang Romawi keluar dari Palestina.
Timur Tengah menelurkan para Assassin (1090-1275)—Muslim yang membunuh lawan-lawan politik penguasa. Eropa Kristen juga memiliki pengalaman dengan teror selama Inkuisisi Spanyol abad ke-15, yang menggabungkan kekuatan gereja dan negara dalam pengadilan, dan pembakaran terhadap para terduga penyihir—sebuah fenomena yang bahkan menyentuh Dunia Baru, terutama di Salem, Massachusetts, tempat para penyihir digantung pada 1690-an.
Secara historis, sebagian besar terorisme dalam masyarakat tradisional telah terinspirasi oleh agama; memang, para teroris sering mengklaim, mereka melaksanakan kehendak Tuhan. Contoh-contoh historis ini adalah pengingat yang baik, terorisme yang diilhami oleh agama—yang menjadi suatu kekhawatiran kontemporer—tentu saja bukan hal baru.
Namun Revolusi Prancis pada 1789-lah yang mempopulerkan istilah terorisme. Selama periode ini, terorisme dikaitkan dengan negara, di mana guillotine digunakan untuk memenggal secara terbuka orang-orang yang dinyatakan sebagai musuh negara. Pada tahun-tahun berikutnya, bentuk terorisme negara yang lebih berkembang dipraktikkan oleh Stalinis Uni Soviet dan Jerman Nazi pada 1930-an dan 1940-an.
“Ketukan di pintu” oleh otoritas negara, penyalahgunaan persidangan dan eksekusi mati, serta pembantaian sejumlah besar orang, digunakan oleh rezim-rezim ini untuk menanamkan rasa takut di antara populasi domestik, dengan demikian memastikan kepatuhan yang lebih besar terhadap perintah negara. Taktik semacam itu juga digunakan oleh Saddam Hussein dari Irak, serta negara-negara dan masyarakat lain baik di sayap kiri atau kanan, sekuler atau religius.
Abad ke-19 menyaksikan kebangkitan terorisme sekuler atau non-agama dari kelompok-kelompok yang menentang pemerintah tertentu. Selama 1800-an, dampak dari revolusi ilmiah dan revolusi industri menjadi jelas di Eropa dan Amerika Utara. Kekayaan besar tercipta, begitu juga kemiskinan besar.
Para pelayat berkumpul di luar Perpustakaan Negara Bagian Victoria di Melbourne, Australia, setelah seorang pria kelahiran Australia berusia 28 tahun, Brenton Tarrant, muncul di Pengadilan Distrik Christchurch pada Sabtu (16/3) dengan tuduhan melakukan pembunuhan terhadap 49 orang di masjid-masjid di Christchurch, Selandia Baru. Serangan itu adalah penembakan massal terburuk dalam sejarah Selandia Baru. (Foto: Getty Images/Jaimi Chisholm)
Kelahiran kota modern selamanya mengubah cara hidup pedesaan. Manusia tumbuh lebih percaya diri dalam kemampuannya untuk menguasai alam dan untuk merancang dan menciptakan masyarakat yang sempurna. Karl Marx (1820–1872) dan komunis lainnya menunjukkan keyakinan yang demikian dalam visi mereka tentang surga pekerja, yang didirikan setelah kemenangan kelas tertindas atas penindas kapitalis mereka.
Akan tetapi, kaum kiri lainnya tidak sabar dengan lambatnya sejarah dan ingin mempercepat proses revolusioner. Secara kolektif dikenal sebagai anarkis, mereka melakukan pertunjukan teroris besar-besaran. Pada 1890-an saja, korban anarkis termasuk Presiden Prancis dan Italia, raja-raja Portugal dan Italia, Perdana Menteri Spanyol, dan permaisuri Austria.
Kaum anarkis juga berusaha membunuh kaisar dan kanselir Jerman. Namun, yang membedakan mereka dari teroris modern adalah korban mereka hampir selalu pejabat pemerintah, bukan warga sipil yang tidak bersalah.
Kelompok anarkis Rusia yang dikenal sebagai People’s Will, misalnya, jarang menempatkan bom di tempat-tempat umum dan tidak pernah menculik anak sekolah atau menembak orang di lutut untuk melumpuhkan mereka seumur hidup. Dengan runtuhnya monarki di Rusia, Jerman, dan Kekaisaran Austro-Hungaria setelah Perang Dunia I (1914–1918), kekerasan etnis dan terorisme muncul ke permukaan. Dengan menyuarakan penentuan nasib sendiri secara nasional, kekerasan teroris khususnya disuarakan di Eropa Timur dan Tengah.
Proses yang agak mirip mulai terungkap dalam apa yang disebut “negara berkembang” selama dan terutama setelah Perang Dunia II. Setelah melawan Nazi Jerman, Fasis Italia, dan Jepang untuk membela kebebasan, para pemimpin Eropa Barat merasa sulit untuk menjawab para pemimpin nasionalis di negara-negara kolonial, yang bertanya mengapa negara mereka tidak boleh bebas dari kontrol luar. Keengganan Eropa untuk mengakhiri pemerintahan kolonial memimpin gerakan nasionalis—seringkali dengan sayap teroris—untuk melawan dominasi Inggris, Prancis, Belgia, dan Portugis.
Pada 1960-an pemerintahan kolonial Eropa secara efektif berakhir di sebagian besar wilayah dunia. Perang Dingin antara Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet serta sekutu dan pendukungnya masing-masing, bagaimanapun, memberikan dorongan ideologis bagi banyak aksi terorisme, yang dilakukan sejak akhir 1940-an hingga akhir 1980-an.
Terlepas dari kenyataan Karl Marx sendiri percaya terorisme bisa kalah, namun ajaran Marxis-Leninis tentang revolusi membantu menginspirasi dan membenarkan gerakan-gerakan revolusioner di seluruh dunia, dan membenarkan—setidaknya bagi mereka—penggunaan terorisme mereka.
Gerakan-gerakan ini termasuk Fraksi Tentara Merah di Jerman, Brigade Merah di Italia, 17 November di Yunani, Angkatan Bersenjata Revolusioner Kolombia, Jalan Bersinar Peru, Tentara Merah Jepang, dan Tentara Rakyat Baru Filipina.
Khususnya di Eropa, terorisme menjadi strategi dasar organisasi, yang berarti itu adalah ciri khas kelompok tersebut. Akan tetapi, di negara berkembang, terorisme pada umumnya merupakan taktik dari organisasi pemberontak, yang berarti itu hanyalah salah satu aspek dari strategi revolusioner yang lebih besar, yang mencakup serangan paramiliter terhadap pasukan pemerintah, pembebasan wilayah, dan penggunaan propaganda yang ekstensif.
Seorang anggota Pasukan Demokratik Suriah yang didukung-AS menurunkan bendera ISIS yang compang-camping di Tabqa, Suriah, pada April 2017. (Foto: AFP/Getty Images/Delil Souleiman)
Sepanjang Perang Dingin, organisasi pemberontak sering menggabungkan Marxisme-Leninisme dengan seruan nasionalis kuno. Memang, semua revolusi yang berhasil—termasuk Lenin di Rusia dan Mao di China—telah bergantung secara luas pada seruan seperti itu. Namun, dengan berakhirnya Perang Dingin, kebanyakan orang Rusia mengakui visi Marxis-Leninis mereka untuk masyarakat telah runtuh.
Selain itu, terlepas dari pernyataan sosialisnya, China mengalami ledakan ekonomi ketika negara itu mendorong pengembangan pasar bebas. Kebijakan-kebijakan kedua negara yang berkaitan erat dengan ide-ide Marxis-Leninis mengenai revolusi internasional, menyebabkan krisis kepercayaan diri yang dapat diprediksi untuk gerakan-gerakan revolusioner di seluruh dunia.
Beberapa gerakan—seperti Jalan Bersinar Peru—mengecam Rusia dan China karena mengalami kemunduran, sementara gerakan yang lain, seperti Tentara Rakyat Baru, mengalami perpecahan internal yang pahit yang melemahkan mereka.
Sekarang mengingat tidak lagi memiliki justifikasi ideologis transnasional untuk kampanye kekerasan mereka, kelompok-kelompok lain seperti Partai Pekerja Kurdistan (PKK) mengalihkan perhatian mereka dari ideologi Marxis ke seruan yang lebih nasionalis.
Nasionalisme selalu menyediakan dinamisme seperti yang dimiliki berbagai organisasi Palestina yang terkait dengan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Terlepas dari agenda mereka dalam istilah Islam, bahkan organisasi seperti Hizbullah (Partai Allah) di Lebanon dan Hamas di Tepi Barat Sungai Yordan di Palestina dan di Jalur Gaza, juga sebagian didorong oleh sentimen nasionalis.
Israel—terlepas dari hubungan historisnya dengan kawasan itu—dipandang sebagai pos terdepan dari kepentingan dan nilai-nilai Barat. Bagi beberapa pengamat di Barat, bentrokan ideologis demokrasi dan komunisme selama Perang Dingin, telah digantikan oleh benturan peradaban Timur dan Barat.
Jika bukan benturan peradaban, orang lain melihat konflik-konflik ini didorong oleh perbedaan antar-komunal dan budaya yang memecah belah di banyak bagian dunia. Rusia, misalnya, menderita sejumlah pengeboman bunuh diri yang mematikan, terkait dengan konflik etnis yang sedang berlangsung di wilayah Kaukasus.
Penerjemah: Aziza Larasaty
Editor: Purnama Ayu Rizky
Keterangan foto utama: Anggota polisi anti-teror Densus 88 tiba untuk mengawal tahanan teror Aman Abdurrahman, 25 Mei 2018. (Foto: AP Photo/Tatan Syuflana)