Meskipun pemerintah Indonesia telah menyalurkan dana otonomi khusus setiap tahun ke Provinsi Papua dan Papua Barat selama dua dekade terakhir, hanya ada perbedaan yang relatif kecil yang dihasilkan bagi kehidupan rakyat Papua. (Foto: Reuters)
Separatis Papua yang ingin memisahkan diri dari Indonesia mengklaim, otonomi khusus tidak membantu rakyat Papua, sementara para ahli menyerukan dialog.
Unjuk rasa menentang perpanjangan otonomi khusus untuk Papua telah muncul di provinsi paling timur Indonesia tersebut, serta kota besar lainnya, Makassar di provinsi Sulawesi Selatan, sejak pekan lalu.
Para pengunjuk rasa telah menolak rencana untuk memperpanjang undang-undang otonomi khusus, yang menurut mereka tidak membantu rakyat Papua. Berdasarkan undang-undang tersebut, Otonomi Khusus untuk provinsi Papua dan Papua Barat akan berakhir pada 2021, Anadolu Agency melaporkan.
Sebuah kelompok bersenjata di wilayah tersebut juga menyatakan akan menolak perpanjangan otonomi khusus untuk Papua dan Papua Barat.
Sebby Sambom, juru bicara Organisasi Papua Merdeka (OPM), mengatakan status khusus itu bukan yang diinginkan rakyat Papua, seraya menegaskan bahwa kelompok tersebut mengupayakan kemerdekaan dan pemisahan dari Indonesia.
“Kami peringatkan Anda untuk segera berhenti,” ujar Sebby kepada Gubernur Papua Lukas Enembe dan pemerintah pusat dalam keterangan tertulis yang dirilis pada Senin (28/9), disadur dari Anadolu Agency.
Seperti Aceh (provinsi lain di Indonesia yang juga menikmati otonomi khusus), Papua dan Papua Barat menerima dana dari pemerintah pusat untuk statusnya.
Para pengunjuk rasa berkumpul di bawah bendera Bintang Kejora Papua Barat yang terlarang di Kota Fakfak. (Foto: AFP)
Karena pendanaan otonomi khusus akan berakhir tahun depan, pemerintah dan anggota parlemen telah menambahkan revisinya ke dalam daftar prioritas legislatif 2020.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo sudah meminta evaluasi dana otonomi khusus untuk Papua dan Papua Barat.
Dalam upaya mereformasi dana tersebut, dia menginginkan evaluasi komprehensif terhadap efektivitasnya, serta tata kelola, termasuk transparansi dan akuntabilitas.
Sejauh ini, dana tersebut telah memberikan total Rp94,24 triliun kepada pemerintah Papua dan Papua Barat dari 2002 hingga 2020, lapor Anadolu Agency.
Pekan lalu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, undang-undang tersebut tidak perlu diperpanjang agar tetap berlaku.
Mahfud mengatakan, pemerintah hanya akan merevisi beberapa pasal tentang perpanjangan dana otonomi khusus, bukan statusnya sendiri.
Pemerintah juga berencana merevisi pemekaran Papua menjadi lima subkawasan, bukan dua subkawasan seperti sebelumnya.
Meningkatkan tata kelola dan dialog
Tokoh terkemuka di bidang pendidikan di Papua, Samuel Tabuni mengatakan, konflik masih ada dan pelanggaran hak asasi manusia masih marak di Papua di bawah otonomi khusus, sementara penduduk setempat masih minoritas di tanah mereka sendiri.
“Jika pemerintah ingin melanjutkan otonomi khusus tanpa memperhatikan ketiga hal tersebut, maka tidak ada gunanya dan konflik akan terus terjadi,” ungkap Samuel kepada Anadolu Agency.
Ia menambahkan, pemerintah pusat dan masyarakat Papua harus duduk bersama dan merencanakan masa depan Papua.
Namun, lanjutnya, pemerintah pusat tidak melibatkan aktor konflik dalam penyelesaian masalah Papua.
Akibatnya, hanya konflik yang terjadi selama dua dekade terakhir. Meski ada pembangunan, lebih banyak orang yang meninggal akibat konflik, imbuh Samuel.
Sementara itu, Samuel berpendapat, dengan membagi Papua menjadi lima wilayah, pemerintah berupaya membangun lebih banyak kekuatan di wilayah tersebut.
“Selama tidak ada regulasi teknis yang melindungi masyarakat adat Papua, maka tidak ada kebijakan yang menguntungkan masyarakat Papua,” ujarnya.
“Penduduk Papua hanya sekitar dua juta jiwa. Kita harus memperkuat dua juta orang ini dan melindungi hak-haknya agar pemekaran tetap terlindungi,” tambah Samuel.
Dialog antar-perwakilan
Cahyo Pamungkas, Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), mengatakan, otonomi khusus akan efektif jika ada dialog antara pemerintah pusat dengan perwakilan masyarakat Papua.
Bisa perwakilan masyarakat adat Papua, lembaga agama, atau kelompok politik Papua yang menginginkan pemisahan dari Indonesia, jelasnya.
Otonomi khusus yang diperpanjang tanpa dialog tidak akan efektif, terutama sebagai alat resolusi di Papua, tutur Cahyo.
Sumber anggaran pemerintah daerah terbesar
Sementara itu, Djohermansyah Djohan, pengamat otonomi daerah, menilai jika dana otonomi khusus Papua tidak diperpanjang, akan berdampak pada anggaran pemerintah daerah karena dana tersebut menyumbang sekitar 60 persen dari anggaran provinsi.
“Jika tidak diperpanjang, akan terjadi penurunan pelayanan publik dan upaya penanggulangan kemiskinan,” terang mantan Dirjen Otonomi Daerah itu kepada Anadolu Agency, Senin (28/9).
Diakui Djohermansyah, dalam dua dekade terakhir ini banyak persoalan yang terjadi, terutama terkait efektivitas dana.
Oleh karena itu, peningkatan kesejahteraan, pendidikan, dan kesehatan masyarakat adat Papua masih ambigu.
Tingkat kemiskinan masih tinggi di Papua, di mana banyak yang mengaitkan hal ini dengan salah urus dana otonomi khusus.
“Oleh karena itu, harus ada pembenahan dalam model transfer dana, serta pengawasan dan akuntabilitasnya.”
Penerjemah: Desi Widiastuti
Editor: Aziza Larasati
Keterangan foto utama: Meskipun pemerintah Indonesia telah menyalurkan dana otonomi khusus setiap tahun ke Provinsi Papua dan Papua Barat selama dua dekade terakhir, hanya ada perbedaan yang relatif kecil yang dihasilkan bagi kehidupan rakyat Papua. (Foto: Reuters)