Kurangnya kepemimpinan dan kegagalan Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk merespons secara taktis krisis COVID-19 menjadi semakin jelas dalam beberapa minggu terakhir. Indonesia sekarang memiliki tingkat kematian tertinggi akibat virus corona di dunia, menunjukkan bahwa ada ribuan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat.
Tanggapan pemerintah Indonesia terhadap krisis ini telah ditandai dengan penolakan, kepuasan, dan kurangnya transparansi tentang lokasi dan jumlah kasus positif.
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto harus bertanggung jawab atas kegagalan pemerintah dalam merespons cepat terkait COVID-19, tulis Ahmad Syarif Syechbubakr di Indonesia at Melbourne. Dia awalnya menepis kekhawatiran tentang virus corona, menyerang para peneliti Harvard yang memperingatkan bahwa Indonesia kemungkinan memiliki kasus yang tidak terdeteksi, dan mengatakan bahwa Indonesia tetap bebas virus corona karena doa.
Kementerian Kesehatan itu lambat sekali dalam mengimplementasikan rezim pengujian yang tepat, lanjut Ahmad Syarif Syechbubakr. Indonesia baru meluncurkan pengujian massal pada saat transmisi tampaknya telah menyebar luas.
Tingkat pengujian di Indonesia adalah yang terendah di dunia. Pada 23 Maret, Indonesia telah melakukan hanya 2.438 tes, setara dengan hanya 0,02 persen dari 10 juta penduduk Jakarta, atau 0,004 persen dari 49 juta penduduk Jawa Barat, kedua provinsi saat ini mencatat paling banyak kasus COVID-19.
Setidaknya enam profesional medis kini telah meninggal karena virus corona, yang berkontribusi terhadap kekhawatiran bahwa sistem kesehatan masyarakat yang membentang di negara itu akan segera kewalahan.
Terawan adalah pilihan yang mengerikan sebagai Menteri Kesehatan bahkan sebelum dia dihadapkan dengan krisis kesehatan masyarakat yang luar biasa ini, tutur Ahmad Syarif Syechbubakr.
Pertanyaan telah lama diajukan tentang dokter tersebut, yang merupakan favorit elit militer, dan terapi “cuci otak” kontroversial yang telah dikritik oleh para ilmuwan medis karena gagal memenuhi standar klinis.
Namun Terawan bukan penasihat tunggal presiden. Mengamati perkembangan global, para menteri urusan luar negeri, urusan sosial, keuangan, dan banyak lainnya dapat memberi tahu presiden bahwa krisis kesehatan dan ekonomi sudah dekat. Apakah mereka tidak melakukannya? Apakah ada kegagalan proses kabinet? Atau apakah presiden tidak mengindahkan peringatan menterinya?
Di awal masa jabatan keduanya, Jokowi menyebutkan bahwa tidak akan ada agenda menteri, hanya agenda presiden dan wakil presiden. Para menteri diharapkan untuk mengikuti kepemimpinan presiden dan wakil presidennya.
Jokowi mendaftar beberapa prioritas untuk masa jabatan keduanya: meloloskan serangkaian undang-undang “omnibus” untuk mendorong investasi dan pertumbuhan ekonomi, memindahkan ibu kota ke Kalimantan Timur, berinvestasi dalam sumber daya manusia, reformasi birokrasi yang berkelanjutan, dan investasi berkelanjutan dalam infrastruktur.
Dua prioritas pertama ini telah banyak menarik perhatian Jokowi, dan dia memerintahkan kabinetnya untuk fokus pada masalah-masalah ini juga. Mengingat respons awal terhadap wabah itu, tampaknya fokusnya yang terpusat pada ekonomi membuatnya mengabaikan keseriusan ancaman virus corona.
Investasi dulu, kesehatan masyarakat kemudian
Jokowi memiliki rencana ambisius untuk meningkatkan investasi dan pertumbuhan ekonomi di masa jabatan keduanya. Pemerintah mempromosikan undang-undang omnibus “ramah investor” yang kontroversial untuk mereformasi undang-undang perburuhan dan merevisi sistem pajak, serta beberapa reformasi kontroversial lainnya, seperti revisi Undang-Undang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi.
Bahkan ketika virus corona menyerang China pada Januari, perhatian utama Jokowi masih pada ekonomi. Jokowi memimpin rapat kabinet pada 4 Februari di Bogor, Jawa Barat, di mana ia mencatat bahwa seiring ekonomi China melambat akibat dampak virus corona, Indonesia harus mencoba memanfaatkan situasi dan meningkatkan ekspor ke negara-negara yang biasanya tergantung pada barang-barang China.
Presiden Joko Widodo (kiri) didampingi Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menyampaikan konferensi pers terkait virus corona di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (2/3/2020). Presiden menyatakan 2 orang WNI yaitu seorang ibu dan anak di Indonesia telah positif terkena corona setelah berinteraksi dengan Warga Negara Jepang yang berkunjung ke Indonesia. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/foc.
Dia juga mencatat bahwa karena banyak wisatawan menghindari China, itu bisa menjadi peluang bagi pariwisata Indonesia. Pada pertengahan Februari, Jokowi mengumumkan bahwa pemerintah berencana untuk menawarkan diskon hingga 30 persen untuk menarik wisatawan domestik dan asing.
Yang semakin memicu kemarahan banyak orang secara online, pemerintah bahkan mengumumkan telah mengalokasikan Rp72 miliar untuk “influencer” untuk mempromosikan pariwisata Indonesia dan mendorong lebih banyak orang asing untuk mengunjungi negara ini.
Perlu dicatat bahwa rapat kabinet Februari ini terjadi pada saat banyak negara lain menutup atau mempertimbangkan untuk menutup perbatasan mereka. Jokowi bahkan menyebut COVID-19 dalam konteks pertemuan itu, tetapi seolah-olah itu adalah masalah yang harus dihadapi negara lain. Seperti biasa, fokus utamanya adalah investasi dan ekonomi, Ahmad Syarif Syechbubakr memaparkan.
Stabilitas politik atas transparansi
Masalah utama lainnya dengan manajemen krisis COVID-19 pemerintah adalah kurangnya transparansi. Presiden dan Menteri Kesehatan telah menolak untuk mengungkap lokasi pasien virus corona yang dikonfirmasi, meskipun hal itu dapat membantu masyarakat melacak titik-titik potensial pemaparan.
Jokowi telah mengakui bahwa pemerintah sengaja menyembunyikan beberapa informasi tentang COVID-19 untuk menghindari kepanikan publik. Hal ini tampaknya telah dimotivasi oleh upaya sesat untuk mencegah kerusuhan sosial, yang tidak diragukan lagi dipercaya Jokowi akan berdampak buruk bagi ekonomi dan investasi, ungkap Ahmad Syarif Syechbubakr.
Kurangnya transparansi pemerintah telah menciptakan ketegangan dengan Gubernur Jakarta Anies Baswedan dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, yang keduanya memberikan informasi tentang lokasi kasus-kasus positif corona. Keduanya jauh lebih responsif dan mengatakan mereka akan mempertimbangkan lockdown jika diperlukan.
Namun, sebagai tanggapan, Jokowi menginstruksikan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian untuk bertemu dengan Anies dan Ridwan Kamil dan mengingatkan mereka bahwa lockdown adalah wewenang pemerintah pusat, dan bahwa pemerintah daerah tidak boleh berkontribusi mendorong kepanikan.
Pada saat seluruh negara harus fokus pada pengelolaan krisis kesehatan publik ini, Jokowi dan lingkaran dalamnya tampak lebih khawatir tentang Anies dan Ridwan Kamil mengambil keuntungan dari situasi ini untuk meningkatkan profil mereka menjelang Pemilihan Presiden 2024. Tidak ada dari keduanya yang disukai sebagai penerus oleh Presiden Jokowi atau partai politiknya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Apa selanjutnya?
Jokowi dan timnya telah membuat langkah penting untuk memperbaiki kesalahan awal mereka. Jokowi telah mengumumkan program pengujian cepat massal (rapid test) dan dia telah meningkatkan koordinasi dengan pemerintah daerah. Pemerintahnya juga mengubah wisma atlet Asian Games 2018 menjadi rumah sakit darurat untuk menangani meningkatnya pasien virus corona.
Namun ada hal-hal lain yang masih perlu dilakukan pemerintah, Ahmad Syarif Syechbubakr menerangkan.
Pertama, Jokowi harus menunda, setidaknya satu tahun, rencananya untuk undang-undang omnibus, dan fokus pada bencana kesehatan masyarakat yang akan datang.
Kedua, pemerintah harus sangat meningkatkan transparansi. Pengalaman beberapa negara lain menunjukkan bahwa transparansi adalah salah satu faktor kunci dalam berhasilnya penanggulangan virus corona.
Terakhir, Indonesia membutuhkan menteri kesehatan yang baru, yang memperhatikan kesehatan masyarakat dengan serius. Terawan merupakan kesalahan, bahkan sebelum COVID-19. Usahanya selama beberapa bulan terakhir menunjukkan bahwa ia tidak mampu memimpin sistem kesehatan Indonesia melalui ujian terbesar yang pernah dihadapi.
Jokowi perlu menyadari bahwa investor dan komunitas bisnis khawatir tentang kurangnya kepemimpinannya, dan menteri yang tidak kompeten seperti Terawan.
Dengan memprioritaskan kesehatan masyarakat daripada keuntungan ekonomi jangka pendek, Jokowi sebenarnya akan meyakinkan komunitas investasi bahwa Indonesia berada di tangan yang tepat, Ahmad Syarif Syechbubakr menyimpulkan.
Penerjemah dan editor: Aziza Fanny Larasati
Keterangan foto utama: Presiden Joko Widodo. (Foto: AFP)
Investasi atau Kesehatan Rakyat, Mana yang Lebih Penting bagi Jokowi?