Politik Indonesia

Ironi Pendeta Jahat yang Cabuli Anak-anak: Korban Trauma, Pelaku Bebas

Berita Internasional > Ironi Pendeta Jahat yang Cabuli Anak-anak: Korban Trauma, Pelaku Bebas
Advertisements

Insiden terbaru salah satu sekolah swasta di Medan telah menghidupkan kembali seruan untuk meningkatkan perlindungan bagi anak-anak dari pelecehan seksual oleh para pemimpin agama.

Insiden pelecehan seksual terhadap anak di Medan, Sumatera Utara, baru-baru ini telah menyoroti perlunya sekolah dan pemerintah daerah di Indonesia untuk lebih melindungi muridnya, terutama bila pelakunya adalah pemimpin agama, kata para ahli.

Di salah satu sekolah swasta di Medan, enam siswi dilaporkan menjadi korban pelecehan seksual oleh kepala sekolah mereka, yang juga seorang pendeta Protestan.

Mira (nama samaran), ibu dari salah satu korban, mengatakan kepada Al Jazeera, putrinya yang berusia 13 tahun telah dibawa ke hotel setempat setidaknya empat kali sejak usia 11 tahun, di mana dia mengalami pelecehan seksual.

“Putri saya mengatakan kepala sekolah memberi tahu staf lain bahwa dia akan membawanya berlatih karate di luar halaman sekolah,” kata Mira.

“Ketika mereka sampai di hotel, dia melepas pakaiannya, menutup matanya dan memaksanya untuk melakukan seks oral. Ketika dia mencoba untuk melawan, dia menjambak rambutnya dan memaksanya melanjutkan.”

Mira mengajukan laporan polisi terhadap terduga pelaku awal bulan ini.

Lima siswi lain juga mengatakan mereka dipanggil ke kantor kepala sekolah untuk “kelas khusus”, termasuk pelajaran bahasa Inggris dan balet, tetapi mereka dipaksa untuk duduk di pangkuan kepala sekolah itu kemudian dia melakukan pelecehan seksual terhadap mereka.

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia diguncang oleh sejumlah kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak. Komnas Perempuan mencatat lebih dari 38.000 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak pada 2020, tertinggi yang pernah ada.

Pada 2020, pemimpin pondok pesantren di Provinsi Aceh dijatuhi hukuman 15 tahun penjara karena melecehkan 15 santri. Tahun ini, pastor Katolik Lukas Lucky Ngalngola atau “Bruder Angelo” ditangkap karena dicurigai melakukan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur di panti asuhannya.

Namun banyak kasus seperti itu yang sengaja disembunyikan dari publik.

“Ketika kekerasan seksual dilakukan oleh para pemuka agama, prosesnya sangat sulit, karena masyarakat percaya pelakunya tidak mungkin melakukan kekerasan, karena para pemimpin ini dianggap sebagai sosok yang suci, berwibawa, dan mengayomi. Banyak korban yang akhirnya dituduh merayu pelaku oleh masyarakat setempat,” kata Ermelina Singereta, pengacara di Dike Nomia Law Firm di Jakarta, yang mewakili korban dalam kasus “Bruder Angelo”, dikutip dari Al Jazeera.

“Banyak kasus yang diselesaikan melalui ormas agama, karena minimnya edukasi atau informasi di masyarakat,” ujarnya. “Terkadang organisasi keagamaan menyelesaikan masalah kekerasan terhadap perempuan atau anak dengan mekanisme internal meskipun mereka memiliki tanggung jawab melalui mekanisme hukum negara.”

Hukuman bagi terpidana pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur dapat berkisar antara lima hingga 15 tahun penjara, meskipun amandemen baru diusulkan oleh DPR pada 2016 menyusul pemerkosaan dan pembunuhan beramai-ramai terhadap remaja berusia 14 tahun di Bengkulu.

Salah satu usulan perubahan RUU 2016 memungkinkan pengebirian kimiawi terhadap terpidana pedofil. Presiden Indonesia Joko Widodo menandatangani penggunaan kebiri kimia itu mulai Januari 2021, meskipun hukuman itu belum pernah dilakukan.

Ketakutan dan rasa malu

Suster Eustochia Monika Nata, biarawati Katolik yang membantu korban pelecehan seksual anak sebagai bagian dari Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRUK-F) di Flores, mengatakan kepada Al Jazeera, di Kota Maumere saja, yang berpenduduk dari sekitar 90.000 orang, dia menerima laporan sekitar 30 kasus baru kekerasan seksual terhadap anak-anak dan anak di bawah umur setiap tahun.

“Itu adalah kasus-kasus yang dilaporkan kepada kami di TRUK-F, jadi tentunya masih banyak lagi yang tidak dilaporkan,” tambahnya.

“Beberapa korban hamil karena pelecehan seksual, dan mereka tidak mau melaporkan apa yang terjadi pada mereka karena merasa malu atau karena mereka merasa tidak akan didukung oleh otoritas penyidik.”

Ranto Sibarani, pengacara hak asasi manusia yang mewakili enam korban pelecehan di sekolah swasta Medan, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa proses hukum bisa panjang dan berat bagi korban kekerasan seksual dan lebih banyak lagi yang harus dilakukan untuk mendukung korban dan mendorong mereka untuk mengambil tindakan.

“Di Indonesia, perempuan dan anak-anak seringkali berada pada posisi paling lemah untuk membela hak-hak mereka, jadi penting bagi kita untuk memberdayakan mereka,” tuturnya.

“Di banyak daerah, mereka dianggap sebagai warga negara kelas dua karena dominasi patriarki dalam masyarakat Indonesia.”

Dia juga mengatakan ada kebutuhan untuk memberlakukan pengamanan yang lebih ketat dan mendesak pemerintah dan Kementerian Pendidikan agar mengambil langkah-langkah untuk memantau staf pendidikan dan agama lebih dekat.

“Saya akan meminta pemerintah untuk mengevaluasi kembali bagaimana guru dan pemimpin agama direkrut dan bagaimana mereka bisa mendapatkan pekerjaan mengajar di sekolah tanpa pemeriksaan latar belakang yang memadai dan evaluasi psikologis yang akan membantu menjaga keamanan siswa,” kata pengacara itu. “Kasus pelecehan seksual terhadap anak lebih buruk daripada terorisme karena kami tidak tahu berapa banyak korban yang benar-benar terpengaruh.”

Mira mengatakan dia bangga dengan putrinya yang telah angkat bicara, dan keluarganya merasa harus melaporkan pelecehan tersebut kepada pihak berwenang karena takut korban lain akan terpengaruh di masa depan.

“Jumlah korban yang mengaku mungkin saja lebih sedikit daripada jumlah sebenarnya, jadi dia (kepala sekolah) harus dipecat, kalau tidak dia akan melakukannya lagi,” tegasnya.

“Kami berharap sekolah menjadi tempat teraman bagi para orang tua untuk mendidik anaknya,” tambah Sibarani. “Namun kasus ini menunjukkan bagaimana sekolah, yang mengaku mempromosikan nilai-nilai agama yang kuat, bisa berubah menjadi tempat yang berbahaya.”

 

Penerjemah: Nur Hidayati

Editor: Purnama Ayu Rizky

Keterangan foto utama: Ilustrasi kekerasan seksual oleh pastur di Medan. (Foto: CM Jornal)

Ironi Pendeta Jahat yang Cabuli Anak-anak: Korban Trauma, Pelaku Bebas

BERLANGGANAN

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top