Islamisasi Kebijakan Luar Negeri Indonesia
Berita Politik Indonesia Hari Ini

Islamisasi Kebijakan Luar Negeri Indonesia

Berita Internasional > Islamisasi Kebijakan Luar Negeri Indonesia

Organisasi Muslim Tanah Air menanggapi kerusuhan yang menolak Undang-Undang Amandemen Kewarganegaraan (CAA) dengan protes besar baru-baru ini. Pemanggilan terhadap Duta Besar India untuk Indonesia Pradeep Rawat atas kerusuhan Delhi menunjukkan tren politik identitas yang lebih mendalam.

Pada 28 Februari 2020, Kementerian Luar Negeri Indonesia memanggil Duta Besar India untuk Indonesia Pradeep Rawat “untuk membahas kerusuhan yang telah merenggut puluhan nyawa” di ibu kota India, New Delhi. Kekerasan di Delhi dimulai karena Undang-Undang Amandemen Kewarganegaraan (CAA) yang kontroversial, pertama kali diperkenalkan oleh pemerintah Partai Bharatiya Janata (BJP) pada 2016, dan disahkan di parlemen federal pada Desember 2019. Amandemen itu memberikan kewarganegaraan kepada enam minoritas agama yang dianiaya dari tiga negara, yakni Pakistan, Afghanistan, dan Bangladesh, tidak termasuk umat Muslim.

Sifat diskriminatif dari undang-undang tersebut telah menyebabkan protes besar-besaran dan kekerasan di seluruh negeri selama beberapa bulan terakhir. Kerusuhan India baru-baru ini terjadi dengan latar belakang keresahan atas UU itu serta kekalahan Partai BJP dalam dewan pemilu di Delhi.

Sementara pengesahan CAA di Parlemen India dan pencabutan Pasal 370 yang memberikan status khusus pada negara bagian Jammu dan Kashmir pada Agustus 2019 menimbulkan reaksi kecaman kuat dari komunitas internasional, Indonesia telah menjadi salah satu negara pertama yang secara publik dan secara diplomatis menyampaikan keprihatinan atas kerusuhan baru-baru ini di Delhi.

Respons pemerintah Indonesia bisa jadi didorong oleh nilai kemanusiaan serta pencarian mitra yang stabil dan demokratis di kawasan. Namun, ada lebih banyak makna terselubung yang harus diperhatikan.

Panggilan Indonesia terhadap Dubes India terjadi di tengah meningkatnya kritik domestik dari dua organisasi Muslim terbesar di negeri ini, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Sementara mengutuk kekerasan yang sedang berlangsung di Delhi, NU mendesak pemerintah Indonesia “untuk mengambil langkah-langkah diplomatik dan terlibat dalam segala upaya untuk menghadirkan perdamaian di India.” Sementara itu, Muhammadiyah mendesak pemerintah Indonesia untuk membawa masalah ini ke Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, di mana Indonesia menjadi anggota tidak tetap.

NU maupun Muhammadiyah, bersama dengan faksi-faksi konservatif lainnya, telah menjadi pengusung utama gerakan Islam di dalam dan luar negeri serta berulang kali menekan pemerintah Indonesia untuk melakukan hal yang sama. Oleh karena itu, panggilan pemerintah terhadap Dubes India baru-baru ini harus dilihat dalam konteks ini.

Meningkatnya penekanan politik identitas Islam

Islamisasi Kebijakan Luar Negeri Indonesia

Kelompok Muslim garis keras memprotes Gubernur Jakarta saat itu, Basuki Tjahaja Purnama. Tanda tersebut bertuliskan: “Tolak Ahok.” (Foto: Reuters/Beawiharta)

Baca Juga: Perubahan Wajah Islam Indonesia Lewat Gerakan Hijrah

Dalam beberapa tahun terakhir, menurut analisis Ashutosh Nagda dari The Diplomat, politik Indonesia telah mengalami penekanan yang lebih besar atas identitas Islam. Dorongan ini muncul kembali dengan Pilkada Jakarta 2017, yang didahului oleh mobilisasi massa sektarian oleh kelompok Islam garis keras terhadap dugaan penistaan agama oleh calon Gubernur Jakarta petahana itu dan sekutu lama Presiden Joko “Jokowi” Widodo, Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama. Mobilisasi ini menghasilkan beberapa demonstrasi terbesar di Indonesia, Gerakan 411 dan 212 yang akhirnya mengarah pada kekalahan Ahok dari Anies Baswedan, kandidat yang diusung Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Prabowo Subianto.

Kemenangan ini mendorong pihak oposisi untuk melanggengkan perpecahan perpecahan politik yang sama atas garis sektarian menjelang Pilpres 2019, menciptakan lingkungan yang menggelisahkan bagi Jokowi.

Ada penekanan yang lebih besar terhadap politik identitas Islam selama Pilpres 2019. Capres petahana saat itu Jokowi bermitra dengan sekutu Islamis yang telah menggulingkan Ahok pada 2017. Jokowi menunjuk Ma’ruf Amin, ulama Islam paling kuat di Indonesia dan kepala NU saat itu sebagai pasangan cawapres mendampinginya, sehingga memastikan dukungan NU untuk pemilihannya kembali. Di sisi lain, kandidat oposisi Prabowo menerima dukungan dari orang-orang dan organisasi yang berafiliasi dengan Muhammadiyah.

Tepat setelah terpilih kembali untuk masa jabatan kedua, Jokowi mulai merangkul faksi oposisi Prabowo dan Muhammadiyah dengan menunjuk mantan saingannya itu sebagai menteri pertahanan di Kabinet Indonesia Maju. Akomodasi ini menggabungkan Jokowi dengan aliansi faksi Islam konservatif dan hanya menyisakan sedikit oposisi di pemerintahan saat ini. Taktik mengakomodasi faksi-faksi oposisi tersebut telah memperkuat posisi Jokowi di dalam negeri tetapi juga membuatnya lebih rentan terhadap pemberontakan yang lebih kuat dari dalam masyarakat.

Efek limpahan

radikal

Ma’ruf Amin berbicara di acara Muslimah Bersatu Untuk Indonesia di Jakarta pada 24 Februari. Ulama senior tersebut, yang sering terlihat menggunakan sarung dan songkok khasnya, mengatakan kepada The Straits Times selama kunjungannya ke Singapura tahun lalu bahwa tujuannya adalah untuk mendukung Presiden Joko Widodo menjelang pemilihan. (Foto: Antara)

Penyelarasan kembali politik domestik Indonesia ke arah Islamisme telah menimbulkan dampak luar biasa pada kebijakan luar negeri. Panggilan terhadap Dubes India baru-baru ini adalah salah satu hasilnya. Asal usul konservatisme yang berkembang ini dan dampaknya dalam kebijakan luar negeri terletak pada demonstrasi massa pada 2016 yang disebut Aksi Bela Islam untuk menjatuhkan Ahok.

Dampak pertama dari demonstrasi ini terhadap kebijakan luar negeri disaksikan selama krisis Rohingya. Indonesia terus-menerus mempraktikkan diplomasi seimbang dengan Myanmar terkait krisis pengungsi Rohingya. Menjaga bantuan kemanusiaan sebagai inti dari diplomasi, pemerintahan Jokowi telah mencoba untuk merangkul keprihatinan kelompok-kelompok Islam domestik sementara tidak mengasingkan Myanmar sama sekali. Hal ini menimbulkan beberapa perubahan setelah kekerasan terhadap Rohingya pada Agustus 2017.

Operasi pembersihan pada Agustus 2017 oleh militer Myanmar di Rakhine utara terjadi tepat setelah demonstrasi Aksi Bela Islam di Indonesia, yang telah memperkuat niat koalisi Islam untuk menjatuhkan pemerintahan Jokowi pada 2019. Koalisi Islam Gerakan 212 mengorganisir serangkaian demonstrasi solidaritas di seluruh negeri yang disebut Aksi Bela Rohingya sehingga mengaitkannya dengan kampanye anti-Ahok.

Sebuah aksi protes diselenggarakan di depan kedutaan Myanmar, demonstrasi solidaritas direncanakan di kompleks candi Buddha besar Borobodur di Jawa Tengah, dan demonstrasi besar lainnya Aksi 169 digelar di Jakarta, yang diikuti beberapa politisi oposisi termasuk Prabowo.

Mengambil isyarat dari demonstrasi anti-Ahok, respons pemerintahan Jokowi terhadap kekerasan Rakhine 2017 dilakukan sebagai wujud antisipasi. Hingga saat itu, Jokowi telah menahan diri untuk tidak langsung mengkritik Myanmar, tetapi kali ini ia langsung bertindak. Hanya beberapa hari sebelum demonstrasi di dalam negeri, Jokowi mengadakan konferensi pers menyerukan diakhirinya kekerasan di negara bagian Rakhine Myanmar dan mengirim menteri luar negerinya untuk mengadakan diskusi dengan pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi. Langkah-langkah Jokowi tersebut dan keberpihakannya dengan faksi-faksi Islam arus utama membatasi efek demonstrasi di dalam negeri, tetapi membayangi kebijakan luar negeri Indonesia.

Namun, efek limpahan ini belum konsisten di seluruh aspek. Pemerintah Indonesia memiliki respons yang sangat lemah terhadap situasi Uighur di Cina, di mana lebih dari satu juta anggota kelompok etnis Muslim telah ditahan atas nama “pendidikan ulang” dan/atau kerja paksa. Pada Desember 2019, pemerintah menyatakan mereka tidak akan “mencampuri urusan dalam negeri China”, karena pemerintah melihat perlakuan terhadap minoritas Uighur sebagai “tanggapan sah terhadap separatisme”. Pada masalah ini, pemerintahan Jokowi tidak menghadapi banyak tekanan dari oposisi atau organisasi Islam. Oposisi yang dipimpin Prabowo dan Islamis anti-Jokowi dengan arus bawah anti-China memang mengorganisasi beberapa demonstrasi tetapi tidak bertahan lama. Pemerintah lantas memanggil duta besar China dan menyampaikan keprihatinannya seperti yang terjadi dalam kasus India, tetapi tidak melangkah lebih jauh.

Respons terbatas pemerintah Indonesia terhadap situasi Uighur sangat terkait dengan fakta, organisasi-organisasi Islam arus utama seperti NU dan Muhammadiyah menerima jaminan China melindungi kebebasan beragama setelah pemerintah China mengadakan kunjungan untuk para pemimpin mereka yang terhormat ke Xinjiang. Hal ini juga menyebabkan laporan dari organisasi-organisasi tersebut telah menerima sumbangan, dukungan keuangan, dan bentuk-bentuk bantuan lainnya dari China sebagai imbalan atas diamnya reaksi mereka terhadap perlakuan China kepada minoritas Uighur, yang ditentang oleh organisasi-organisasi tersebut secara tidak langsung.

Kesimpulan

kekuatan sekuler

Protes di Jakarta yang menuntut pemenjaraan Ahok. (Foto: ABC News/Adam Harvey)

Baca Juga: Selisih Tipis Survei Pilpres 2019 Tunjukkan Krisis Identitas Islam Indonesia

Sifat akomodatif dari politik Jokowi sejak 2016 telah tercermin dalam kebijakan luar negerinya seperti yang terlihat dalam kasus krisis Rohingya di Myanmar, krisis Uighur di wilayah Xinjiang China, dan sekarang kerusuhan Delhi. Dalam semua kasus tersebut, umat Islam telah menjadi target populasi mayoritas. Indonesia, sebagai negara Islam terbesar di dunia, merasa perlu untuk mengambil sikap. Namun, sikapnya tidak konsisten.

Kebijakan pemerintah Indonesia terhadap Myanmar tentang krisis Rohingya sangat menentukan, sementara kebijakannya terhadap China tentang krisis Uighur cenderung moderat. Sementara itu, pendekatannya saat ini kepada India mencerminkan pendekatannya ke China, perbedaannya adalah bahwa India bukan China. Pengaruh bilateral China tampak besar atas setiap kritik dari Indonesia. Agar India dapat melindungi diri dari kritik Indonesia di masa depan, Ashutosh Nagda dari The Diplomat menyimpulkan, sasaran utamanya adalah memperkuat hubungan bilateral ke tingkat di mana politik domestik masing-masing tidak meluas ke hubungan bilateral mereka.

 

Penerjemah: Fadhila Eka Ratnasari

Editor: Purnama Ayu

Keterangan foto utama: Corak politik luar negeri Indonesia disebut-sebut lebih dominan Islam. (Foto: Facebook)

Islamisasi Kebijakan Luar Negeri Indonesia

BERLANGGANAN

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top