Di bawah pemerintahan Perdana Menteri Pakistan Imran Khan, Islamabad terus mengabaikan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh Beijing.
Pada 28 Oktober, Perdana Menteri Pakistan Imran Khan men-tweet sepucuk surat kepada sesama pemimpin Muslim, yang mendesak tindakan dalam menghadapi “ejekan dan hinaan” terhadap Nabi Muhammad dan “meningkatnya Islamofobia di negara-negara Eropa di mana populasi Muslim yang cukup besar tinggal.”
Yang menjadi masalah adalah kemarahan populis di Prancis, di mana Presiden Emmanuel Macron membela ‘kebebasan berekspresi’ Prancis. Macron membela kebebasan itu setelah pemenggalan kepala terhadap guru sekolah Samuel Paty oleh seorang imigran Chechnya yang marah, setelah berita menyebar secara online bahwa Paty telah menunjukkan karikatur Muhammad dalam pelajaran tentang kebebasan berbicara.
Surat Khan terus meratapi penderitaan Muslim “dari Bosnia hingga Irak hingga Afghanistan (dan) ke Kashmir.” Dia terus membandingkan keinginan Muslim religius untuk melarang ekspresi yang mengkritik atau mengejek Nabi Muhammad dengan hukum Eropa yang melarang penyangkalan Holocaust, lapor The National Interest.
Namun, kemunafikan Khan sangat mencolok, dan pada akhirnya mengurangi keseriusan komunitas internasional terhadap Pakistan. Untuk semua kebenciannya terhadap penghinaan nabi Muhammad dan upayanya untuk menganalogikan batasan berbicara yang dia samakan dengan hukum Eropa terhadap penolakan Holocaust, Khan mengabaikan tidak hanya keterlibatan China dalam episode pembersihan etnis terbesar sejak Holocaust, tetapi juga bahwa dia dan pemerintahnya mengaktifkannya.
Perdana Menteri Pakistan Imran Khan (kiri) dan Perdana Menteri China Li Keqiang di Beijing. China adalah sekutu lama Pakistan dan banyak berinvestasi di sana. (Foto: AP)
Hanya beberapa ratus mil melintasi perbatasan Pakistan-China terletak Kashgar, yang pernah menjadi ibu kota budaya Muslim Uighur. Departemen Luar Negeri AS memperkirakan bahwa China telah memenjarakan tiga juta Muslim, beberapa di kamp-kamp yang terlihat di pegunungan Pakistan utara.
Dokter China secara paksa mensterilkan wanita Uighur, memperkosa yang lainnya, dan menjual rambut yang dicukur paksa dari orang Uighur untuk membuat wig dan produk lainnya, beberapa di antaranya kemudian diangkut melalui Koridor Ekonomi China-Pakistan ke pasar luar.
Jika Imran Khan benar-benar peduli tentang Muslim dan kehormatan Islam, dia akan mengutuk rezim komunis China karena kampanye genosida budaya yang berkelanjutan, The National Interest mencatat. Namun dia tidak.
Mungkin para diplomat bisa memaafkan diamnya Pakistan atas pemberantasan komunitas Muslim berusia berabad-abad. Tapi Khan telah melangkah lebih jauh dari itu dan benar-benar mendukung penahanan massal China terhadap Uighur.
Namun, kemunafikan Khan bahkan lebih dalam, lanjut The National Interest. Dia menyesali perasaan Muslim yang tinggal di Eropa, tetapi memimpin sistem yang menghancurkan masjid milik sekte Ahmadi, membunuh orang-orang Kristen karena tuduhan penistaan terhadap Islam, dan merayakan pembunuhan minoritas di gedung pengadilan.
Kemunafikannya meluas, hingga kecamannya atas tindakan India untuk mengakhiri status khusus Kashmir di India. Lagipula, Khan telah memimpin langkah serupa sehubungan dengan Gilgit-Baltistan. Namun, yang membedakan gerakan India dan Pakistan adalah motifnya.
India menanggapi setelah kampanye teror bersama yang berfokus pada Kashmir. Motif Khan untuk melemahkan otonomi Gilgit tampaknya lebih didorong oleh keinginannya untuk menenangkan China. Jika status Gilgit-Baltistan (yang secara historis merupakan bagian dari Kashmir) tidak diputuskan, maka hal tersebut dapat mengganggu Koridor Ekonomi China-Pakistan yang harus melewati jantung unit administrasi Gilgit-Baltistan.
Jika Pakistan justru menegaskan kontrol langsung, ia dapat melakukan tawar-menawar atas nama kawasan itu, seiring ia mengejar hubungannya sendiri dengan China. Karenanya, Khan tidak hanya mengabaikan genosida terhadap Muslim, tetapi dia juga telah menundukkan komunitas Muslim di Pakistan untuk memenuhi keinginan Beijing, tulis The National Interest.
Khan (seorang pemain kriket terkenal) dapat berusaha untuk mengikuti acara-acara yang berjarak hampir 4.000 mil untuk menggalang umat Islam. Namun, jika Khan adalah pemimpin sejati, dia akan menyadari bahwa cara terbaik untuk melawan apa yang disebut Islamofobia adalah mengutuk teror yang dilakukan atas nama agama, baik di luar Paris atau di Nice atau di ruang sidang Pakistan.
Dia mungkin juga menyadari bahwa ancaman terbesar bagi Islam bukanlah dalam panggilan seorang pemimpin seperti Macron yang menuntut bahwa semua warga negara (apa pun agamanya) harus menghormati hukum negara saat mereka menjalankan agama mereka dengan bebas.
Sebaliknya, Khan harus menyadari bahwa ancaman terbesar adalah dalam kampanye genosida terhadap seluruh komunitas Muslim yang dipimpin oleh Presiden China Xi Jinping. Tentu saja, jika Imran Khan benar-benar ingin melawan Islamofobia, dia mungkin melihat ke cermin, menyadari perilakunya sendiri membahayakan Islam jauh lebih dari yang dilakukan oleh pemimpin Eropa mana pun, dinukil dari The National Interest.
Penerjemah: Desi Widiastuti
Editor: Aziza Larasati
Keterangan foto utama: Perdana Menteri Pakistan Imran Khan. (Foto: Bloomberg/Asad Zaidi)
Kemunafikan Islamofobia Imran Khan: Kecam Prancis, Bela China