
Mengapa para petani ini kukuh menolak penambangan PT Semen Indonesia? Pertimbangan utamanya adalah karena faktor lingkungan. Koordinator JMPPK Gunretno mengatakan, aksi protes beruntun mereka didorong keinginan untuk tak merusak masa depan anak-cucu yang terwarisi lingkungan rusak.
Pada Agustus 2016, delapan petani perempuan asal Kendeng, Jawa Tengah mendadak jadi perhatian di ibu kota. Mereka datang ke depan Istana Negara dan menyemen kaki sendiri sebagai protes atas pembangunan pabrik Semen Indonesia di tempat tinggalnya. Hasilnya, Presiden Jokowi berdialog dengan para ‘Kartini Kendeng’—demikian julukan para perempuan Kendeng—dan menghasilkan kesepakatan untuk dilakukan kajian lingkungan hidup strategis di Pegunungan Kendeng selama setahun.
Beberapa bulan berselang, tepatnya pada Maret 2017, para petani Petani Kendeng kembali menyemen kaki mereka di depan Istana. Aksi ini terpaksa dilakukan setelah Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengeluarkan izin lingkungan baru pendirian pabrik semen. Dengan izin anyar itu, penambangan karst PT Semen Indonesia di Rembang tetap berlangsung. Padahal, Mahkamah Agung sudah memenangkan gugatan Peninjauan Kembali para petani pada November 2016 silam.
Baca Juga: Bukan Langgengkan Dinasti, Pencalonan Gibran Adalah Hak Politik
Dua aksi ‘unik’ yang dilakukan para petani ini sebenarnya hanya satu dari sekian banyak protes yang telah mereka layangkan pada Pabrik Semen Indonesia dan pemerintah. Sejak dikabarkan bahwa pabrik itu bakal melakukan kegiatan penambangan di Rembang, para petani memadati jalan dan melakukan demonstrasi. Lalu pada 2015, mereka juga mendirikan tenda-tenda di sekitar area pintu masuk pabrik. Ini belum termasuk pula dengan audiensi dengan para elit pemerintah, mulai dari DPRD setempat, Gubernur Jateng, hingga Jokowi. Mereka tak gentar kendati terus mendapat intimidasi dari pihak yang diduga dikerahkan oleh PT Semen Indonesia.
Pada November 2019, para petani dari Rembang dan Pati yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) menggelar aksi yang kesekian kali di depan Istana hari ini. Para petani juga menyobek sertifikat tanah sebagai bentuk kekecewaan mereka atas gagalnya program reforma agraria.
“Jadi ketidakpercayaan dengan adanya reforma agraria. Yang selama ini kan Jokowi kan punya program tentang bagi-bagi lahan berjuta-juta hektare itu kan. Jadi (aksi menyobek sertifikat) bentuk kekecewaan warga gitu, karena selama ini nggak berjalan,” kata perwakilan JMPPK Bambang Suteknyo saat ditemui Detik di lokasi aksi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.
Petani di Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah, telah bertahun-tahun memperjuangkan tanah mereka dan melawan pabrik semen yang dibangun di sana. Bambang berharap Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendengarkan aspirasi petani.
“Yang jelas, kami sebagai petani ingin ini, kami di Pati selama ini masih berjuang, belum selesai, melawan pabrik semen di Pati dan Rembang ini. Selama ini pabrik semen ini akan mencaplok ribuan hektare tanah warga yang selama ini untuk pertanian,” ujar Bambang kepada sumber serupa.
Pertanyaannya, mengapa para petani ini kukuh menolak penambangan PT Semen Indonesia? Pertimbangan utamanya adalah karena faktor lingkungan. Koordinator JMPPK Gunretno mengatakan, aksi protes beruntun mereka didorong keinginan untuk tak merusak masa depan anak-cucu yang terwarisi lingkungan rusak.
“Pegunungan Kendeng wajib dilestarikan untuk mendukung misi Nawacita Presiden Joko Widodo, yakni terwujudnya kedaulatan pangan,” ujar Gunretno, dilansir Antara.
Jika kawasan karst ini ditambang, dikhawatirkan keseimbangan ekosistem rusak, sumber air dan sungai bawah tanah yang selama ini digunakan warga untuk pertanian, ternak, dan kebutuhan hidup sehari-hari juga hilang.
Selain itu, aksi protes warga juga demi mempertahankan slogan Kabupaten Pati sebagai Bumi Mina Tani. Dengan slogan tersebut, imbuhnya, Pemerintah Daerah mestinya berpihak pada para kaum tani yang membuat daerah tersebut menjadi lumbung pangan selama ini. Alih-alih berpihak kepada industri pertambangan yang akan merusak sumber air untuk pengairan irigasi dan kehidupan warga.
Sementara itu, laporan KBR menyebutkan, Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) menilai pemerintah cenderung terbuka terhadap korporasi dan mengabaikan hak-hak masyarakat dalam pendirian pabrik semen PT Semen Indonesia di Rembang, Jawa Tengah.
Koordinator Kontras, Yati Andriyani kepada media ini mengatakan, ekspresi warga dan petani yang menyampaikan pendapat secara damai justru dibalas dengan kriminalisasi, teror, dan kekerasan.
“Kasus Rembang ini menunjukan betapa institusi hukum tidak berdaya. Presiden tidak berdaya, Pemerintah daerah tidak berdaya terhadap korporasi. Seharusnya yang pertama didengar adalah masyarakat setempat yang terdampak dari pendirian pabrik semen,” kata Yati di Jakarta.
Baca Juga: Langgengkan Dinasti Politik, Pencalonan Gibran Laik Dikritik
“Ketika sudah ada kajian yang menyebutkan bahwa itu merusak mata air, ketika masyarakat keberatan seharusnya Negara punya jawaban untuk memfasilitasi mereka,” tambahnya kepada KBR.
Menurut Yati, temuan sejumlah organisasi lingkungan hidup menunjukan, perilaku PT Semen Indonesia tidak menerapkan prinsip-prinsip bisnis dan HAM. Tuntutan untuk melindungi sumber mata air, pegunungan dan kawasan karst guna keseimbangan alam juga tidak diperhatikan oleh pemerintah setempat dan pusat.
“Saat ini kita berhadapan dengan sesuatu yang ada, namun tidak terlihat. Korporasinya ada, tapi pemerintah seperti kebingungan,” ujar Yati lagi.
Perlawanan terhadap PT Semen Indonesia, menurut Yati, merupakan bukti sektor bisnis Indonesia masih belum jamak menyentuh isu-isu kolektif, termasuk perlindungan HAM. Menurutnya, peta pembangunan di era Presiden Joko Widodo harus bisa memberikan dampak kolektif untuk pembangunan yang adil dan berkelanjutan di Indonesia.
Baca Juga: 4 Alasan Pentingnya Legalisasi Arak Bali
Baca Juga: Pengamat: Jangan Ada Legalisasi Arak Jika Ekosistem Belum Jelas
Penulis dan editor: Purnama Ayu Rizky
Keterangan foto utama: Pasungan kaki dan pesan tuntutan para petani Kendeng dalam aksi mengecor kaki di depan Istana Merdeka. (Foto: Tirto.id/Arimacs Wilander)
