Anggaran 2020
Berita Politik Indonesia Hari Ini

Jelang Pelantikan, Jokowi Dipandang Lemah dan Hadapi Banyak Masalah

Berita Internasional > Jelang Pelantikan, Jokowi Dipandang Lemah dan Hadapi Banyak Masalah

Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo menghadapi banyak tantangan jelang pelantikan masa jabatan kedua sebagai presiden pada Minggu, 20 Oktober 2019. Sementara itu, statusnya sebagai pemimpin reformis dan pemimpin rakyat yang berasal dari luar lingkaran elit mulai dipertanyakan ketika kekuasaannya tampak lemah dan digerogoti partai.

Oleh: Kate Mayberry

Ketika Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo dilantik untuk masa jabatan pertama tahun 2014, puluhan ribu rakyat keluar untuk menyambutnya di jalanan ibu kota di Jakarta dalam sebuah perayaan penuh sukacita.

Tetapi ketika Jokowi siap mengambil sumpah jabatan atau jelang pelantikan periode kedua pada Minggu (20/10), tidak akan ada parade yang digelar untuk menandai momen tersebut. Jokowi, 58 tahun, presiden pertama di Indonesia yang berasal dari luar elit tradisional, memutuskan tidak menginginkan perayaan mewah, menurut media setempat. Jokowi bukan satu-satunya orang di Indonesia yang merasa kurang tepat untuk menggelar perayaan.

Baca Juga: Apa yang Akan Jokowi Korbankan demi Capai Agendanya?

Mahasiswa Indonesia, yang turun ke jalan dalam gelombang demonstrasi bulan September 2019 dalam menentang sejumlah undang-undang baru, termasuk Revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasa Korupsi yang akan melemahkan KPK, telah mengancam untuk melangsungkan protes di sekitar pelantikan Jokowi.

“Tahun 2014, dia memimpin dengan awal yang bersih,” kata Johanes Sulaiman, dosen dan analis politik di Universitas Jenderal Achmad Yani di Bandung.

Mantan gubernur Jakarta itu belum diuji dengan keputusan kebijakan utama ketika ia pertama kali menjadi presiden, kata Sulaiman, sehingga memungkinkan para pendukungnya yang liberal membayangkan bahwa ia mungkin merupakan seorang reformis dan mengabaikan sosoknya yang sebenarnya.

“Orang-orang memproyeksikan apa yang mereka inginkan kepadanya dan mereka kini kecewa. Dia (Jokowi) hanyalah politisi biasa.”

Dalam Pilpres 2019, Jokowi berkampanye untuk melanjutkan kebijakan andalannya tentang pembangunan infrastruktur besar-besaran dan inisiatif pro-kaum miskin, lantas menang dengan perolehan 55,5 persen suara.

Jokowi, yang bertekad menciptakan “10 Bali baru” dan mengawasi penyelesaian jalur metro pertama Jakarta MRT dalam lima tahun pertamanya menjabat, kini memiliki rencana senilai US$33 miliar yang ambisius untuk membangun ibu kota baru di Pulau Kalimantan serta kian mengembangkan jaringan transportasi dan komunikasi yang penting bagi Nusantara.

Banyak Tantangan Baru Jelang Pelantikan

Terlepas dari skala kemenangan pemilihan Jokowi, hasilnya telah memicu demonstrasi di jalanan Jakarta dan gugatan hukum yang gagal dari saingannya, capres oposisi Prabowo Subianto, jenderal purnawirawan dengan rekam jejak pelanggaran hak asasi manusia.

Jokowi pekan ini tampak berdamai dengan Prabowo, pria yang ia gambarkan kepada 25,7 juta pengikutnya di Instagram sebagai “teman baik.” Jokowi juga meningkatkan upaya untuk membangun aliansi dengan para politisi oposisi lainnya. Namun, dia menghadapi tantangan yang signifikan menjelang pengambilan sumpah untuk masa jabatan kedua pada Minggu (20/10).

Di Papua, pemberontakan tingkat rendah pecah menjadi kekerasan bulan Agustus 2019, dengan puluhan orang dilaporkan tewas atau terluka sementara ribuan orang terpaksa mengungsi dari rumah mereka. Kerusuhan itu menyusul tindakan keras militer Indonesia bulan Desember 2018 setelah kalangan pemberontak menewaskan 31 pekerja proyek Jalan Trans Papua.

Sementara itu, kebakaran hutan dan lahan baru-baru ini melanda sebagian Kalimantan dan Sumatra. Di sisi lain, rakyat Indonesia yang berhaluan liberal merasa khawatir kan komitmen Jokowi terhadap tata pemerintahan yang baik, hak asasi manusia, dan persekusi yang dialami kelompok minoritas di Indonesia.

“Ada banyak masalah yang dihadapi Jokowi,” kata Johanes.

Masa jabatan pertama Jokowi ditandai dengan kebangkitan Islam konservatif dan politik identitas. Gejala yang paling terkenal muncul selama Pilkada Jakarta 2017 ketika cagub petahana Basuki Tjahaja Purnama dinyatakan bersalah atas kasus penistaan agama dan dipenjara selama dua tahun. mantan Gubernur Jakarta dengan latar belakang Kristen dan etnis Tionghoa adalah mantan wakil Jokowi ketika ia menjabat sebagai Gubernur Jakarta sebelum memenangkan Pilpres 2014.

Dalam Pilpres 2019, mungkin dalam upaya untuk menangkis tuduhan bahwa ia tidak cukup religius, Jokowi memilih Ma’ruf Amin sebagai cawapres mendampinginya, ulama Muslim senior yang sebelumnya memimpin Majelis Ulama Indonesia dan Nahdlatul Ulama, organisasi Muslim independen terbesar di dunia.

Tetapi bahkan ketika ia mencoba untuk menangani isu konservatisme agama, Jokowi tetap harus bersaing dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang semakin asertif.

Presiden yang Lemah

“Jokowi selalu menjadi presiden yang lemah,” kata Muhammad Sinatra, analis politik di Institute of Strategic and International Studies di ibu kota Malaysia, Kuala Lumpur.

“Tentu saja, dia mendapat mandat dari rakyat, tetapi apakah itu berarti dia memiliki kepercayaan dari partai politik? Dia bahkan bukan pemimpin PDI-P. Anda bisa melihat selama lima tahun terakhir dia telah mengalami kesulitan untuk mengonsolidasikan pijakannya sebagai pemimpin politik.”

Dikutip dari Al Jazeera, Minggu (20/10), pimpinan PDI-P adalah Megawati Soekarnoputri, presiden kelima Indonesia dan putri bapak pendiri bangsa Sukarno. Putrinya, Puan Maharani, baru saja terpilih sebagai Ketua DPR.

Sementara Jokowi dipandang sebagai “pemimpin rakyat,” banyak anggota dewan berasal dari elit politik-bisnis-militer tradisional yang telah mengendalikan Indonesia selama 32 tahun Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto, yang mengundurkan diri pasca demonstrasi pro-Reformasi tahun 1998.

Tindakan para anggta dewan tersebut diputuskan bukan oleh ideologi tetapi oleh patronase partai, jelas Aaron Connelly, pimpinan program perubahan politik Asia Tenggara di International Institute for Strategic Studies di Singapura.

Setelah melemahkan KPK, PDI-P dan partai-partai lainnya yang berkuasa di parlemen, dengan beberapa partai di antaranya menjadi tersangka penyelidikan korupsi, kini berencana mengembalikan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang merupakan ciri khas era Suharto, memaksa Jokowi untuk mematuhi mereka.

“Partai-partai tersebut secara efektif merupakan kartel,” kata Connelly. “Ada jaringan patronase di dalam mereka. Jika mereka tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan, mereka tidak akan mendukung pemerintah. Ada orang-orang di partai Jokowi sendiri yang akan mencoba melemahkan dirinya.”

Anggaran Tahun 2020

Presiden Joko Widodo dan calon wakil presidennya Ma’ruf Amin berjalan untuk menyapa para wartawan di rumah Ma’ruf Amin di Jakarta, di hari pengumuman putusan sidang MK terkait gugatan hasil Pilpres 2019, 27 Juni 2019. (Foto: Reuters/Willy Kurniawan)

Penyusutan Kubu Oposisi

Di tengah manuver politik, kabinet kedua Jokowi diprediksi akan memberikan indikasi jelas ke mana arah Indonesia selama lima tahun ke depan. Pertemuan presiden dengan Prabowo, mantan menantu Suharto, telah meningkatkan harapan bahwa partainya, Gerindra, akan bergabung dengan pemerintah. Beberapa partai atau politisi oposisi lain mungkin akan turut bergabung dengan pemerintahan.

Hari Kamis (17/10), Jokowi mengatakan bahwa ia telah memutuskan jajaran menteri dalam kabinet barunya dan akan membagikan nama-nama tersebut pada hari yang sama dengan pelantikan atau keesokan harinya.

Deasy Simandjuntak, asisten peneliti di ISEAS-Yusof Ishak Institute di Singapura, mengatakan jika ketiga partai oposisi akhirnya bergabung dengan pemerintahan Jokowi, demokrasi Indonesia akan menjadi korban. “Penyusutan oposisi yang begitu signifikan menimbulkan tantangan bagi mekanisme pengawasan dan keseimbangan yang sangat penting bagi demokrasi,” katanya melalui email.

Ketakutan bagi banyak orang adalah bahwa ketika Jokowi memasuki masa jabatan keduanya, pemimpin yang pernah dipandang sebagai pembaharu demokrasi liberal itu mungkin sebenarnya adalah orang yang membiarkan politiknya kembali ke masa lalu.

“Jokowi adalah presiden pertama sejak Suharto yang bukan merupakan bekas pemain politik di bawah Orde Baru,” tulis Tim Lindsey, Direktur Centre for Indonesian Law, Islam, and Society di Universitas Melbourne, di The Conversation minggu lalu. “Dia pertama kali terpilih karena dia dipandang sebagai orang luar yang tidak memiliki rekam jejak buruk dan tidak dirusak oleh politik elit. Namun Jokowi kini juga telah membiarkan KPK dilemahkan. Hal itu menjelaskan banyak hal tentang posisi Indonesia saat ini.”

 

Jelang Pelantikan, Jokowi Dipandang Lemah dan Hadapi Banyak Masalah

BERLANGGANAN

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top